Media sosial yang menjadi pilihan pengrajin batik bakaran tersebut, yakni Facebook yang dinilai lebih familier di kalangan masyarakat dibandingkan dengan media sosial lainnya.
Ketertarikan pengrajin turut memasarkan produknya lewat media sosial, salah satunya karena gratis dan peluang dibaca juga besar karena banyak penggunanya.
Wiwik (32), salah satu pengrajin batik bakaran di Pati, Rabu, mengatakan bahwa dirinya mencoba peruntungan dengan mempromosikan setiap motif batik yang baru lewat Facebook.
Pemanfaatan media sosial tersebut, kata dia, berawal dari adiknya yang masih duduk di bangku SLTA memiliki akun Facebook dan memiliki banyak teman.
Akhirnya, lanjut dia, adiknya yang saat ini juga turut terlibat dalam usaha batik milik orang tuanya itu sebagai desainer mencoba memasarkannya lewat media sosial tersebut.
Ia mengakui order yang diterima memang belum banyak. Namun, pemesannya ternyata tidak hanya dari masyarakat lokal Pati dan sekitarnya, misalnya dari Kecamatan Tayu, Pati, Semarang, tetapi juga dari luar Jateng, seperti Jakarta.
Penjualannya selama ini, kata dia, masih menggandalkan pedagang pakaian yang sering kulakan batik khas Pati.
Pedagang yang sering kulakan di tempatnya, kata dia, tidak hanya dari Kabupaten Pati, tetapi juga ada yang berasal dari Jakarta, Sumatera, dan Semarang.
Jumlah batik yang dibeli oleh setiap pedagang, katanya, bervariasi karena ada yang mencapai 100 potong dengan motif bervariasi.
Motif batik yang banyak diminati, katanya, motif batik klasik dan motif batik yang didominasi warna cerah, seperti merah, kuning, dan hijau.
Harga jualnya berkisar antara Rp100 ribu dan Rp300 ribu per potong sesuai dengan kombinasi warna serta tingkat kesulitan dalam pembatikannya.
Agar pemasaran batik khas Pati makin meningkat, kata dia, memang dibutuhkan peran pemerintah, terutama pembinaan dalam hal teknik pemasarannya.
"Kami akui selama puluhan tahun menggeluti batik dan saat ini sudah generasi ketiga, pemasarannya masih biasa, sedangkan pemanfaatkan media sosial juga belum lama," ujarnya.
Pengrajin batik lainnya, Darmi yang memiliki tempat usaha "Batik Wates" mengakui masih terkendala pemasaran karena selama ini masih bergantung pada pedagang yang membeli produknya untuk dijual kembali ke sejumlah daerah.
Hanya saja, kata dia, hal itu belum cukup membantu untuk bisa mengembangkan usahanya agar lebih maju dan dibutuh strategi pemasaran yang lebih baik.
"Saya juga berupaya mencontoh pembatik lainnya yang mencoba memasarkannya lewat Facebook. Hanya saja, hingga kini belum dilakukan meskipun sudah tersedia laptop dan modem," ujarnya.
Ia mengakui membutuhkan tenaga yang ahli di bidang teknologi informasi, sedangkan dirinya sudah terlanjur tua dan sulit untuk belajar mengoperasikan laptop, termasuk menggunakan Facebook.
Meski demikian, kata dia, keinginannya memasarkan produk batik buatannya lewat Facebook cukup kuat karena sebagian penghasilannya juga sudah dibelikan laptop dan modem.
"Harapannya, anak saya yang duduk di bangku SLTA segera belajar untuk turut serta memasarkannya lewat media sosial yang tidak perlu mengeluarkan biaya yang mahal," ujarnya.
Ia mengakui produk batik buatannya sudah dipasarkan ke berbagai daerah di Tanah Air lewat sejumlah pedagang pakaian yang sering kulakan di tempatnya.
Selain faktor pemasaran, dia mengakui, terkendala tenaga desainer untuk membuat desain batik baru.
"Selama ini masih mengandalkan motif batik di pasaran untuk ditiru dengan beberapa modifikasi desain serta kombinasi pewarnaannya," ujarnya.
Pengelolaan Masih Sederhana
Berdasarkan hasil pengamatan di sentra batik bakaran yang ada di Desa Bakaran Kulon dan Bakaran Wetan, Kecamatan Juwana, Pati, tempat usaha yang dikelola sejak puluhan tahun tersebut masih tergolong sederhana dan memanfaatkan tempat seadanya, termasuk pencucian maupun proses lainnya juga belum tersedia tempat yang representatif.
Darmi mengakui dirinya belum mampu membuat tempat pembuatan batik yang lebih bagus karena terkendala permodalan.
"Dari 15 pekerja, sebagian di antaranya mengerjakan di rumahnya masing-masing," ujarnya.
Meski demikian, dia mengaku pernah dipercaya oleh Pemkab Pati untuk membuat seragam batik tulis khas Pati sebanyak 1.365 potong yang dikerjakan selama enam bulan.
Melihat lokasi pengrajin batik yang cukup berdekatan dengan pengrajin yang lainnya, seharusnya bisa ditawarkan kepada wisatawan sebagai objek wisata batik khas Pati.
Hanya saja, terbatasnya sarana dan prasarana pendukung tentunya daya tariknya masih kurang karena tempat usaha para pengrajin belum ada penataan yang baik dan terkesan seadanya.
Ruang pamer batik khas Pati tersebut juga belum terlihat di sentra batik bakaran.
Namun, saat memasuki sentra batik khas Pati sudah terpampang peta Desa Wisata Batik lengkap dengan denah lokasi dan jalannya dan nama tempat usaha masing-masing pengrajin batik yang berjumlah 21 tempat usaha.
Bagi pengunjung tentunya dimudahkan untuk memilih salah satu pengrajin batik karena tertera nama tempat usaha serta denah lokasinya.