"Kecurangan yang dilakukan yaitu terjadi kredit fiktif dan kredit 'topengan' artinya uang pinjaman diberikan tetapi bukan kepada orang yang berhak," jelasnya di Semarang, Senin.
Menurutnya dari tahun 2005 lalu ada 60 bank yang ditutup, jumlah tersebut terdiri dari 1 bank umum dan sisanya merupakan BPR, sedangkan tiga BPR yang ditutup pada awal hingga pertengahan tahun ini satu di antaranya berada di Jateng.
Jumlah tersebut didominasi oleh BPR karena karakter BPR umumnya menggunakan sistem manual sehingga rentan menimbulkan ketidaksesuaian data.
"BPR yang ditutup selama ini karena ketidaksehatan manajemen bukan karena persaingan atau situasi ekonomi," katanya.
Samsu mengatakan dari tahun ke tahun jumlah penutupan BPR tersebut fluktuatif, sebagai gambaran pada tahun 2011 lalu total ada 16 BPR yang ditutup sedangkan tahun berikutnya ada satu BPR, selanjutnya di tahun 2013 ada 6 BPR.
Dari total tersebut jumlah penjamin yang disalurkan yaitu Rp755 miliar, sedangkan khusus penyaluran untuk tiga BPR pada semester pertama tahun ini ada Rp10 miliar total dana penjaminan yang diberikan.
Samsu mengatakan dari ribuan nasabah yang ada 25 persen atau Rp260 miliar di antaranya tidak layak bayar.
"Ada beberapa syarat dimana nasabah tersebut layak bayar di antaranya harus tercatat dan besaran bunga yang diperoleh harus sesuai dengan standar LPS, jika tidak sesuai artinya nasabah tersebut tidak layak bayar," katanya.
Di Jawa Tengah sendiri LPS telah melikuidasi beberapa BPR di antaranya BPR Sumber Hiobaja dan BPR Kencana Artha Mandiri di Solo, BPR Anugrah Artha Niaga Pati, dan BPR Mranggen Mitra Niaga Demak.
Sementara itu saat ini pihaknya terus berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia untuk melakukan pemantauan terhadap kesehatan perbankan termasuk BPR di Jateng.
"Bertindak sebagai kepala pemeriksaan tetap OJK tetapi LPS diperkenankan ikut supaya kami dapat informasi lebih cepat dan dini tentang suatu bank, apalagi jika bank tersebut bermasalah," katanya.