Sekitar 1.300 RSBI mulai dari SD/MI, SMP/MTs, hingga SMA/SMK yang tersebar di berbagai kabupaten/kota di Indonesia, harus segera mencopot label RSBI.
MK menilai RSBI menimbulkan diskriminasi dan kastanisasi antara RSBI dengan non-RSBI. Biaya yang mahal dan penggunaan bahasa asing dalam RSBI juga dikhwatirkan menggerus keberadaan bahasa Indonesia sehingga bertentangan dengan UUD 1945.
Sejak awal kehadirannya, RSBI memang menyulut kontroversi. Kekhawatiran bahwa RSBI akan jadi ajang komersialisasi di sekolah negeri ternyata tidak sepenuhnya salah. Alokasi 20 persen untuk siswa dari keluarga miskin nyaris tidak pernah terpenuhi.
Meski sekolah RSBI setiap tahun dapat stimulus anggaran khusus dari pemerintah, besaran SPP-nya rata-rata dua kali lipat dari sekolah negeri non-RSBI untuk jenjang SMA/SMK. Untuk SD dan SMP, tentu saja sekolah negeri non-RSBI gratis, sedangkan sumbangan setiap siswa sekolah RSBI mencapai ratusan ribu rupiah per bulan.
Biayanya kian menggunung bila ditambahkan dengan uang masuk yang bisa mencapai Rp4 juta- Rp10 juta, bahkan lebih. Karena itu, banyak orang tua enggan menyekolahkan anaknya di RSBI karena biayanya mahal meskipun anaknya bisa menembus seleksi ketat RSBI. Karena itu, tidak terlalu salah bila ada tudingan bahwa RSBI secara sistemik telah menciptakan kastanisasi.
Pengamatan di sejumlah RSBI di Kota Semarang menunjukkan bahwa kuota 20 persen untuk siswa dari keluarga miskin tidak pernah terpenuhi. Sisa kuota itulah yang akhirnya kembali diisi oleh anak-anak dari keluarga mampu. Walhasil, sekolah RSBI hanya dihuni anak-anak pintar dari keluarga berada.
Kalau mau jujur, sebenarnya sebagian besar sekolah yang menyandang RSBI sekarang ini merupakan sekolah-sekolah yang memiliki reputasi dan prestasi akademik sangat baik. Sekadar contoh, siapa bisa membantah bila SMAN 3 dan SMPN 2 Kota Semarang Kota Semarang sekolah unggul.
Sangat wajar bila dua sekolah itu memiliki banyak siswa pintar dan berprestasi. Dua sekolah menengah ini selalu mendapatkan input terbaik dari sekolah di jenjang di bawahnya. Dukungan orang tua kepada anak-anaknya juga optimal.
Seluruh fasilitas pendidikan akan dipenuhi orang tua, termasuk les pelajaran di luar sekolah. Kompetisi antarsiswa di sekolah ini terpelihara sehingga setiap anak berjuang meraih hasil terbaik.
Satu lagi, guru-guru sarat pengalaman dan fasilitas lengkap sekolah kian memuluskan sekolah favorit tersebut dalam menghasilkan lulusan terbaik.
Jadi, tanpa menyandang label RSBI pun, sekolah-sekolah tersebut memang punya prestasi memuaskan. Salah satu indikatornya, alumni sekolah-sekolah tersebut mendominasi seleksi masuk sekolah favorit pada jenjang lanjutan. Secara substansial sebenarnya penghapusan RSBI tidak terlalu banyak berpengaruh pada sekolah yang secara historis memang punya jejak rekam akademik bagus.
Soal penggunaan dwibahasa (Inggris dan Indonesia) di RSBI, harus diakui masih banyak guru mata pelajaran yang tidak memiliki kemampuan bahasa Inggris memadai. Ini masalah serius dan banyak dihadapi sekolah RSBI.
Bagi sekolah dengan jejak rekam prestasi bagus yang saat ini berstatus RSBI, keputusan Mahkamah Konstitusi itu sesungguhnya tidak memiliki implikasi serius. Tradisi akademik yang menjunjung pencapaian prestasi disertai disiplin tetap akan melekat di sekolah-sekolah itu meski tanpa label RSBI.
Yang membedakan, pengelola sekolah mantan RSBI nanti sudah tidak bisa leluasa memungut sumbangan pendidikan seenaknya sendiri dengan alasan untuk meningkatkan mutu. Paling tidak, di eks SD dan SMP RSBI sudah tidak ada pungutan apa pun.