Solo (ANTARA) - Pakar Teknik Sipil dari Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Assoc. Prof. Zilhardi Idris, Ir., M.T., DR. menyatakan untuk merealisasikan zero over dimension over loading (ODOL) 2025, komitmen negara menjadi kunci utama.
SulbaPenegakan zero ODOL bukan merupakan aturan baru. Aturan tersebut sebenarnya telah tertuang pada UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) yang mengatur tentang kendaraan ODOL.
Dosen Teknik Sipil Fakultas Teknik (FT) UMS tersebut menyebut demo penolakan zero ODOL membesar karena penegakan pelaksanaan dilakukan tahun 2025 ini dan apabila melanggar akan dikenai sanksi pidana. Menurut Zilhardi, demo ini menjadi salah satu cara untuk menolak atau negosiasi terhadap perundang-undangan.
Pemerintah sendiri telah bertahun-tahun menunda implementasi kebijakan zero ODOL. Sepanjang Juni 2025, pemerintah terus melakukan sosialisasi kepada pemangku kepentingan.
“Jadi melihat dari substansi dari ODOL itu sebetulnya dari sisi negatifnya itu memang banyak terutama di dalam masalah kerusakan infrastruktur jalan karena di undang-undang jalan telah diatur,” katanya.
Komisi V DPR RI memperkirakan kerugian biaya pemeliharaan jalan akibat dilintasi truk dengan muatan berlebih mencapai sekitar Rp40 triliun setiap tahunnya. Zilhardi memandang anggaran untuk perbaikan jalan bisa ditekan untuk dialihkan ke bidang lain seperti pendidikan dan kesehatan.
Kerusakan jalan bisa terjadi karena ketidakpatuhan angkutan barang dengan UU LLAJ Nomor 22 Tahun 2009. Zilhardi menyebut overloading menjadi penyebab mayoritas kerusakan jalan, di samping faktor cuaca.
Dalam UU LLAJ Nomor 22 Tahun 2009 termaktub bahwa jalan kelas I hanya boleh dilintasi kendaraan bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2,5 m, panjang tidak melebihi 18 m, tinggi maksimal 4,2 m, dan muatan sumbu terberat 10 ton. Jalan kelas II untuk lebar tidak melebihi 2,5 m dengan panjang tidak lebih dari 12 m, tinggi maksimal adalah 4,2 m dan muatan sumbu terberat 8 ton.
Jalan kelas III lebar tidak melebihi 2,1 m dengan panjang tidak melebihi 9 m. Tinggi tidak lebih dari 3,5 m dan muatan sumbu terberat 8 ton. Lalu jalan kelas khusus lebar maksimal 2,5 m, panjang tidak melebihi 18 m, tinggi maksimal 4,2 m, dan muatan sumbu terberat 10 ton.
“Dana untuk rehabilitasi sangat besar dan kalau dana yang dikeluarkan terlalu banyak itu sepatutnya dicari penyebabnya. Nah, penyebabnya adalah over loading,” katanya.
Untuk itu, dia sangat setuju dengan implementasi undang-undang yang mengatur ODOL, tetapi tidak boleh ujug-ujug meskipun sudah ada periode sosialisasi perundang-undangan.
Menurut Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi, Kemenhub bersama Korlantas Polri dan Jasa Marga akan melakukan tiga langkah. Langkah pertama adalah sosialisasi untuk mengingatkan kembali para pemangku kepentingan terkait komitmen bebas ODOL. Langkah kedua dengan mengumpulkan data truk ODOL. Langkah terakhir adalah penindakan yang akan dilakukan oleh pihak kepolisian.
Pemerintah telah melakukan sosialisasi pada bulan Juni. Lalu pada Juli 2025, pemerintah mulai memberlakukan tahap peringatan, dilanjutkan dengan penegakan hukum pada Agustus 2025.
Zilhardi melihat pada permasalahan ODOL ada permasalahan lain yaitu penegakan hukum. Sebab ketika angkutan memasuki jembatan timbang, tindakan memberikan uang pelicin kerap terjadi artinya penegakan hukum belum tercipta dengan baik.
“Kalau memang betul-betul overloading, stop di situ lalu dibongkar. Aparat petugas di jembatan timbang jangan terima duit. Begitu juga polisi, kalau memang terjadi pelanggaran, jangan mau diajak damai dan akhirnya lewat juga. Jangan!” tegasnya.
Akan tetapi, sebelum dilakukannya penegakan hukum perlu dilakukan perbaikan untuk semua instrumen dari hulu ke hilir. Baik aparat, pengusaha, maupun konsumen harus menetapkan posisi masing-masing dengan orientasi kepentingan bangsa dan negara, bukan sektoral. Lalu secara teknis dan administratif, infrastruktur jalan harus memiliki standard agar layak fungsi dan berkepastian hukum.
Perbaikan penegakan hukum oleh aparat negara, bagi Zilhardi menjadi hal utama. Lalu penegakan juga sebaiknya diberikan kepada perusahaan angkutan barang, bukan kepada sopir.
“Sopir itu ibaratnya hanya membantu, justru perusahaannya yang harus diberikan dengan pertama peringatan hingga ke pencabutan izin,” kata Zilhardi.
Menurutnya, demo yang dilakukan oleh sopir angkutan juga hasil kesalahpahaman sopir mengenai substansi zero ODOL. Sebab sopir sebenarnya belum tentu memahami secara dalam sistem yang terjadi. Lantas yang perlu ditekankan adalah komitmen dari pemilik angkutan yaitu perusahaan.
“Mestinya yang harus diajak untuk penegakan hukum bahwa zero ODOL itu penting, itu perusahaan,” tegasnya.
Dia juga menekankan agar negara harus memanggil semua perusahaan angkutan. Bukan kepada sopirnya karena sopir tergantung pada perusahaan angkutan.