Semarang (ANTARA) - Meski KPU RI belum menetapkan daftar calon tetap (DCT), mereka yang masuk daftar bakal calon anggota legislatif (bacaleg) pada Pemilu 2024 perlu berancang-ancang menyiapkan program serta visi dan misi.
Perang gagasan/ide antarcalon anggota legislatif ini perlu dikedepankan, baik pada masa sosialisasi maupun masa kampanye, yang dijadwalkan hingga 10 Februari 2024.
Buatlah slogan atau tagline yang mampu memiliki daya tarik hingga menggerakkan hati rakyat tanpa merendahkan atau bahkan menjelek-jelekkan caleg lain.
Tanpa menyebut merek sepeda motor yang paling banyak penggunanya di Indonesia. Tagline di antara produsen sepeda motor ini tidak ada yang saling menjatuhkan.
Oleh karena itu, seyogianya setiap caleg yang memperebutkan kursi di daerah pemilihan (dapil) lebih mengedepankan gagasan/ide bermuatan pemecahan masalah di tengah masyarakat.
Solusi yang mereka tawarkan pada masa kampanye, sebaiknya mengukur kapasitas masing-masing, atau jangan menjanjikan sesuatu di luar batas kemampuannya, apalagi sampai melakukan gimik yang melahirkan fatamorgana politik.
Sejumlah tagline yang mencerminkan visi dan misi jika kelak menjadi wakil rakyat, seperti Selalu di Hati Rakyat, Berjuang Bersama Rakyat, Rakyat Selalu di Hati, Siap Melayani Rakyat, dan frasa lainnya yang mampu 'menyihir' pemilih untuk memilihnya pada hari-H pemilu, Rabu, 14 Februari 2024.
Janji-janji yang dikemas dalam tagline caleg juga diwujudkan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi wakil rakyat, yakni legislasi, anggaran, dan pengawasan.
Mulai sekarang para caleg perlu ancang-ancang mendirikan sejumlah tempat/pos aspirasi. Pendirian pos ini tidak sebatas pada masa kampanye, tetapi juga berkelanjutan jika kelak mereka menjadi anggota legislatif.
Dengan demikian, terjalin komunikasi efektif dengan semua komponen masyarakat guna meningkatkan kinerja lembaga legislatif.
Keberadaan pos aspirasi di dapil, tempat yang bersangkutan meraih kursi legislatif, akan menggugah partisipasi publik dalam setiap pengambilan keputusan dewan.
Pada masa reses, misalnya, wakil rakyat mendatangi konstituennya di sejumlah pos aspirasi. Di samping menyalurkan bantuan aspirasi, anggota dewan ini mendengar masukan masyarakat, baik permasalahan yang menghantui mereka maupun usulan dalam setiap pembahasan rancangan peraturan perundang-undangan di lembaga legislatif.
Oleh karena itu, bagi caleg yang benar-benar memanfaatkan momentum Pemilu 2024 untuk menyampaikan gagasan/ide dan memberi solusi atas problematika bangsa ini, tidak perlu mempersoalkan perubahan sistem pemilihan dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup.
Bagi mereka, yang penting gagasan itu sudah disampaikan secara langsung kepada masyarakat. Setidaknya ada kesempatan caleg mendengar keluhan rakyat mengenai pelbagai hal, terjalin komunikasi timbal balik yang harmonis, serta mewarnai pesta demokrasi yang semarak dan menyenangkan.
Apalagi, terkait dengan masalah yang dihadapi rakyat di daerah rawan bencana. Caleg diharapkan mampu memberi pencerahan dan mendorong masyarakat untuk berperan serta dalam menjaga Bumi ini.
Bahkan, seorang bakal calon anggota DPR RI telah menuangkan gagasannya dalam buku berjudul Bumi di Dalam Diri: Tempo Doeloe, Kini, dan Masa Depan.
Buku yang diterbitkan oleh Nas Media Pustaka di tengah tahapan Pemilu 2024 yang sedang berlangsung ini menggambarkan keadaan Bumi pada masa lalu, sekarang ini, dan masa depan.
Haji Hadi Santoso, S.T., M.Si., Wakil Ketua Komisi D DPRD Provinsi Jawa Tengah, dalam bukunya itu memuat pula sejumlah daerah rawan bencana, khususnya di Jawa Tengah, mitigasi bencana, kemudian memberi solusi bagaimana mengatasinya.
Ajakannya pun relatif mudah dilakukan oleh seluruh komponen masyarakat. Misalnya, pembiaran eksploitasi alam secara berlebihan, bakal terjadi degradasi lingkungan alam yang akan berujung pada penghancuran diri manusia itu sendiri.
Berperilaku ramah lingkungan, dimulai dari kehidupan keluarga. Di tengah keluarga, perlu menanamkan kesadaran lingkungan sejak dini terhadap anggota keluarga lainnya akan kebersihan, dengan memberi contoh tidak membuang sampah sembarangan.
Selain itu, tidak membuang sampah di saluran pembuangan air atau sungai, mematikan lampu jika tidak diperlukan, dan perbuatan sederhana lainnya yang mendukung pelestarian lingkungan hidup.
Selanjutnya gagasan menghidupkan kembali budaya kuno dalam penyelamatan alam dan lingkungan. Ini suatu keniscayaan meski kondisi Bumi tempo dahulu dan sekarang tentu berbeda.
Akan tetapi, apa yang dilakukan nenek moyang bangsa ini, bisa dikatakan, kelestarian lingkungan tetap terjaga hingga dinikmati oleh penghuninya saat ini.
Meski terlihat simpel dan sederhana, kearifan lokal ini mampu mendorong masyarakat menjaga kelestarian alam di sekitarnya. Misalnya, dalam budaya Jawa ada penamaan pohon besar di atas sumber mata air danyangan, biasanya pohon ringin, pohon trembesi, pohon randu, pohon pule, dan lain-lain.
Mitosnya angker, malati, punya daya magis, sehingga dibiarkan besar, bahkan disakralkan dengan ritual khusus. Pada intinya nenek moyang bangsa ini bermaksud menanamkan kesadaran melestarikan lingkungan alam di dalam diri setiap insan.
Berbicara soal kearifan lokal di Bumi Nusantara ini setidaknya ada dua pengelompokan besar, yakni kearifan lokal berbasis alam dan kearifan lokal berbasis budaya.
Kearifan lokal berbasis alam di Nusantara ini beragam, masing-masing daerah memiliki ciri khas. Misalnya, di setiap rumah kuno di Pulau Jawa, terdapat blumbangan (kolam) di belakang rumah, jeglongan (lubang tanah), yang seolah barang wajib multifungsi, tempat membuang air limbah rumah tangga dari cucian, mandi, air hujan, dan lain-lain.
Blumbangan merupakan tempat untuk menyimpan air kotor, hasil limbah di rumah tangga dalam bentuk kubangan air besar di setiap rumah tangga. Tempat ini digunakan untuk resapan, yang disebut dalam konteks teknologi modern saat ini sebagai grey water.
Air buangan yang berasal dari pembuangan sink dapur, wastafel, dan floor drain (saringan air) kamar mandi ini tidak dibuang ke saluran air sekitar tempat tinggal, tetapi terserap ke bawah tanah.
Sementara itu, kearifan lokal berbasis budaya ini merupakan bagian dari kekayaan Nusantara. Masih banyak yang dilakukan oleh nenek moyang bangsa ini dalam penyelamatan alam dan lingkungan.
Di kampung pegunungan, misalnya, ada istilah nyabuk gunung, tradisi menanami lereng dengan pohon jenis tertentu untuk mengamankan daerah dari longsor atau erosi.
Tagline Menjaga Alam demi Penyelamatan Diri tidaklah mencederai caleg lain, bahkan mendorong semua komponen masyarakat, termasuk mereka yang berkontestasi pada Pemilu 2024, ikut ramai-ramai menyelamatkan Bumi, tempat tinggal kita.
Perang gagasan/ide antarcalon anggota legislatif ini perlu dikedepankan, baik pada masa sosialisasi maupun masa kampanye, yang dijadwalkan hingga 10 Februari 2024.
Buatlah slogan atau tagline yang mampu memiliki daya tarik hingga menggerakkan hati rakyat tanpa merendahkan atau bahkan menjelek-jelekkan caleg lain.
Tanpa menyebut merek sepeda motor yang paling banyak penggunanya di Indonesia. Tagline di antara produsen sepeda motor ini tidak ada yang saling menjatuhkan.
Oleh karena itu, seyogianya setiap caleg yang memperebutkan kursi di daerah pemilihan (dapil) lebih mengedepankan gagasan/ide bermuatan pemecahan masalah di tengah masyarakat.
Solusi yang mereka tawarkan pada masa kampanye, sebaiknya mengukur kapasitas masing-masing, atau jangan menjanjikan sesuatu di luar batas kemampuannya, apalagi sampai melakukan gimik yang melahirkan fatamorgana politik.
Sejumlah tagline yang mencerminkan visi dan misi jika kelak menjadi wakil rakyat, seperti Selalu di Hati Rakyat, Berjuang Bersama Rakyat, Rakyat Selalu di Hati, Siap Melayani Rakyat, dan frasa lainnya yang mampu 'menyihir' pemilih untuk memilihnya pada hari-H pemilu, Rabu, 14 Februari 2024.
Janji-janji yang dikemas dalam tagline caleg juga diwujudkan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi wakil rakyat, yakni legislasi, anggaran, dan pengawasan.
Mulai sekarang para caleg perlu ancang-ancang mendirikan sejumlah tempat/pos aspirasi. Pendirian pos ini tidak sebatas pada masa kampanye, tetapi juga berkelanjutan jika kelak mereka menjadi anggota legislatif.
Dengan demikian, terjalin komunikasi efektif dengan semua komponen masyarakat guna meningkatkan kinerja lembaga legislatif.
Keberadaan pos aspirasi di dapil, tempat yang bersangkutan meraih kursi legislatif, akan menggugah partisipasi publik dalam setiap pengambilan keputusan dewan.
Pada masa reses, misalnya, wakil rakyat mendatangi konstituennya di sejumlah pos aspirasi. Di samping menyalurkan bantuan aspirasi, anggota dewan ini mendengar masukan masyarakat, baik permasalahan yang menghantui mereka maupun usulan dalam setiap pembahasan rancangan peraturan perundang-undangan di lembaga legislatif.
Oleh karena itu, bagi caleg yang benar-benar memanfaatkan momentum Pemilu 2024 untuk menyampaikan gagasan/ide dan memberi solusi atas problematika bangsa ini, tidak perlu mempersoalkan perubahan sistem pemilihan dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup.
Bagi mereka, yang penting gagasan itu sudah disampaikan secara langsung kepada masyarakat. Setidaknya ada kesempatan caleg mendengar keluhan rakyat mengenai pelbagai hal, terjalin komunikasi timbal balik yang harmonis, serta mewarnai pesta demokrasi yang semarak dan menyenangkan.
Apalagi, terkait dengan masalah yang dihadapi rakyat di daerah rawan bencana. Caleg diharapkan mampu memberi pencerahan dan mendorong masyarakat untuk berperan serta dalam menjaga Bumi ini.
Bahkan, seorang bakal calon anggota DPR RI telah menuangkan gagasannya dalam buku berjudul Bumi di Dalam Diri: Tempo Doeloe, Kini, dan Masa Depan.
Buku yang diterbitkan oleh Nas Media Pustaka di tengah tahapan Pemilu 2024 yang sedang berlangsung ini menggambarkan keadaan Bumi pada masa lalu, sekarang ini, dan masa depan.
Haji Hadi Santoso, S.T., M.Si., Wakil Ketua Komisi D DPRD Provinsi Jawa Tengah, dalam bukunya itu memuat pula sejumlah daerah rawan bencana, khususnya di Jawa Tengah, mitigasi bencana, kemudian memberi solusi bagaimana mengatasinya.
Ajakannya pun relatif mudah dilakukan oleh seluruh komponen masyarakat. Misalnya, pembiaran eksploitasi alam secara berlebihan, bakal terjadi degradasi lingkungan alam yang akan berujung pada penghancuran diri manusia itu sendiri.
Berperilaku ramah lingkungan, dimulai dari kehidupan keluarga. Di tengah keluarga, perlu menanamkan kesadaran lingkungan sejak dini terhadap anggota keluarga lainnya akan kebersihan, dengan memberi contoh tidak membuang sampah sembarangan.
Selain itu, tidak membuang sampah di saluran pembuangan air atau sungai, mematikan lampu jika tidak diperlukan, dan perbuatan sederhana lainnya yang mendukung pelestarian lingkungan hidup.
Selanjutnya gagasan menghidupkan kembali budaya kuno dalam penyelamatan alam dan lingkungan. Ini suatu keniscayaan meski kondisi Bumi tempo dahulu dan sekarang tentu berbeda.
Akan tetapi, apa yang dilakukan nenek moyang bangsa ini, bisa dikatakan, kelestarian lingkungan tetap terjaga hingga dinikmati oleh penghuninya saat ini.
Meski terlihat simpel dan sederhana, kearifan lokal ini mampu mendorong masyarakat menjaga kelestarian alam di sekitarnya. Misalnya, dalam budaya Jawa ada penamaan pohon besar di atas sumber mata air danyangan, biasanya pohon ringin, pohon trembesi, pohon randu, pohon pule, dan lain-lain.
Mitosnya angker, malati, punya daya magis, sehingga dibiarkan besar, bahkan disakralkan dengan ritual khusus. Pada intinya nenek moyang bangsa ini bermaksud menanamkan kesadaran melestarikan lingkungan alam di dalam diri setiap insan.
Berbicara soal kearifan lokal di Bumi Nusantara ini setidaknya ada dua pengelompokan besar, yakni kearifan lokal berbasis alam dan kearifan lokal berbasis budaya.
Kearifan lokal berbasis alam di Nusantara ini beragam, masing-masing daerah memiliki ciri khas. Misalnya, di setiap rumah kuno di Pulau Jawa, terdapat blumbangan (kolam) di belakang rumah, jeglongan (lubang tanah), yang seolah barang wajib multifungsi, tempat membuang air limbah rumah tangga dari cucian, mandi, air hujan, dan lain-lain.
Blumbangan merupakan tempat untuk menyimpan air kotor, hasil limbah di rumah tangga dalam bentuk kubangan air besar di setiap rumah tangga. Tempat ini digunakan untuk resapan, yang disebut dalam konteks teknologi modern saat ini sebagai grey water.
Air buangan yang berasal dari pembuangan sink dapur, wastafel, dan floor drain (saringan air) kamar mandi ini tidak dibuang ke saluran air sekitar tempat tinggal, tetapi terserap ke bawah tanah.
Sementara itu, kearifan lokal berbasis budaya ini merupakan bagian dari kekayaan Nusantara. Masih banyak yang dilakukan oleh nenek moyang bangsa ini dalam penyelamatan alam dan lingkungan.
Di kampung pegunungan, misalnya, ada istilah nyabuk gunung, tradisi menanami lereng dengan pohon jenis tertentu untuk mengamankan daerah dari longsor atau erosi.
Tagline Menjaga Alam demi Penyelamatan Diri tidaklah mencederai caleg lain, bahkan mendorong semua komponen masyarakat, termasuk mereka yang berkontestasi pada Pemilu 2024, ikut ramai-ramai menyelamatkan Bumi, tempat tinggal kita.