Semarang (ANTARA) - Implikasi dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan sistem pemilu perlu diantisipasi pemangku kepentingan kepemiluan agar Pemilihan Umum 2024 tetap berjalan lancar tanpa hambatan.
Partai politik perlu ancang-ancang menyiapkan strategi kampanye untuk memenangi pemilu apabila pemilu anggota DPR dan DPRD menggunakan sistem proporsional tertutup.
Dalam sistem pemilu proporsional terbuka seperti Pemilu 2019, tidak hanya bendera partai politik, tetapi juga spanduk dan baliho berisi nama partai, nomor urut, nama, dan foto calon anggota legislatif (caleg) menghiasi jalan protokol hingga jalan perumahan/perkampungan.
Sebaliknya, jika pada Pemilu 2024 menerapkan proporsional tertutup, kemungkinan lebih banyak bendera, spanduk, dan/atau baliho parpol ketimbang caleg dalam pesta demokrasi kali ini.
Dari sisi penyelenggara pemilu, pada tahapan ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI sudah menyiapkan Rancangan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (RPKPU) tentang Kampanye dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum.
Putusan MK di tengah tahapan Pemilu 2024 juga berpotensi mengubah sejumlah rancangan PKPU yang menjadi bahan uji publik di Jakarta pada hari Sabtu, 27 Mei 2023.
Tiga rancangan PKPU yang diujipublikkan selain RPKPU Kampanye dalam Penyelenggaraan Pemilu, RPKPU Dana Kampanye Pemilihan Umum.
Rancangan lainnya adalah RPKPU tentang Perlengkapan Pemungutan Suara, Dukungan Perlengkapan Lainnya, dan Perlengkapan Pemungutan Suara Lainnya dalam Pemilihan Umum (RPKPU Logistik Pemilu).
Dalam RPKPU ini juga terdapat ketentuan bentuk dan ukuran surat suara pemilu anggota legislatif (pileg). Surat suara pileg berbentuk empat persegi panjang dengan posisi portrait atau landscape dengan ukuran disesuaikan dengan jumlah partai politik dan caleg di setiap daerah pemilihan (dapil).
Penyusunan RPKPU Logistik Pemilu ini masih mengacu pada sistem proporsional terbuka. Jika putusan MK kembali ke proporsional tertutup, ukuran surat suara pileg disesuaikan dengan jumlah parpol peserta pemilu di setiap dapil.
Semua pihak, terutama pemangku kepentingan kepemiluan, menanti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-XX/2022. Dijadwalkan MK akan gelar sidang putusan sistem pemilu pada hari Kamis, 15 Juni 2023.
Dalam sejarah kepemiluan di Tanah Air, sempat terjadi perubahan sistem pemilu dari proporsional tertutup menjadi terbuka di tengah tahapan Pemilu 2009.
Menjelang hari pencoblosan, Kamis (9 April 2023), Muhammad Sholeh, S.H., warga Jalan Magersari Nomor 82 Krian, Sidoarjo, Jawa Timur, mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD terhadap UUD NRI Tahun 1945 dengan Perkara Nomor 22/PUU-VI/2008.
Pada tahun yang sama terdapat tiga pemohon yang mengajukan permohonan uji materi UU No. 10/2008 dengan Perkara Nomor 24/PUU-VI/2008. Permohonan ini atas nama Sutjipto, S.H., M.Kn. (Jakarta), Septi Notariana, S.H., M.Kn. (Bandar Lampung), dan Jose Dima Satria, S.H., M.Kn. (Kota Semarang).
Hakim konstitusi yang dipimpin oleh Moh. Mahfud MD menyatakan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU No. 10/2008 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, sekaligus tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Intinya Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tertanggal 23 Desember 2008 itu mengubah sistem pemilu proporsional tertutup menjadi terbuka. Sejak Pemilu 2009 sampai dengan Pemilu 2019, sistem kepemiluan di Tanah Air menggunakan proporsional terbuka.
Seolah sejarah terulang. Di tengah tahapan Pemilu 2024, sejumlah pihak mengajukan permohonan uji materi terkait dengan Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), 353 ayat (1) huruf b, 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), dan Pasal 426 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) terhadap UUD NRI Tahun 1945.
Permohonan uji materi itu diajukan oleh Demas Brian Wicaksono (warga Banyuwangi, Jawa Timur); Yuwono Pintadi dan Fahrurrozi, keduanya warga Kota Bengkulu, Provinsi Bengkulu); Ibnu Rachman Jaya (warga Kota Jakarta Selatan, Provinsi DKI Jakarta); Riyanto (warga Kabupaten Pekalongan, Provinsi Jawa Tengah); dan Nono Marijono (warga Kota Depok, Provinsi Jawa Barat).
Apabila permohonan mereka dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, sistem pemilu bakal berubah kembali menjadi proporsional tertutup. Hal ini mengingat Pasal 168 ayat (2) menyebutkan pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.
Bakal terjadi perubahan surat suara karena aturan main dalam Pasal 342 ayat (2) surat suara memuat tanda gambar partai politik, nomor urut partai politik, nomor urut dan nama calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota untuk setiap dapil.
Jika proporsional tertutup, pemilih hanya mencoblos tanda gambar partai. Ketentuan yang saat ini masih berlaku, yakni pemberian suara untuk pemilu dengan cara mencoblos satu kali pada nomor atau tanda gambar partai politik, dan/atau nama calon anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota untuk pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota (vide UU Pemilu Pasal 353 ayat 1 huruf b).
Selain pasal tersebut, pasal lain yang kemungkinan tidak berlaku jika sistem pemilu berubah dari proporsional terbuka menjadi tertutup, antara lain, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), dan Pasal 426 ayat (3).
Pasal terakhir dari permohonan uji materi itu menyentuh aturan main penggantian calon terpilih. Dalam UU No. 7/2017 Pasal 426 ayat (3) menyebutkan calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota diganti oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota dengan calon dari daftar calon tetap (DCT) parpol peserta pemilu yang sama di dapil tersebut berdasarkan perolehan suara calon terbanyak berikutnya.
Apa pun putusan MK pada tanggal 15 Juni 2023 jangan sampai mengganggu tahapan Pemilu 2024 yang tengah berlangsung. Jadwal hari pencoblosan pileg yang bersamaan dengan Pemilu Presiden/Wakil Presiden RI tetap sesuai dengan jadwal, 14 Februari 2024.