Semarang (ANTARA) - Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI tidak jadi merevisi Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 yang akhirnya berujung pada pengujian uji materi ke Mahkamah Agung.
Tercatat ada lima pemohon, yakni Perludem, Koalisi Perempuan Indonesia, Hadar Nafis Gumay, Titi Anggraini, dan Wahidah Suaib, mengajukan permohonan uji materi PKPU No. 10/2023 terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) ke MA pada tanggal 5 Juni 2023.
PKPU yang mengatur mengenai pencalonan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ini merupakan turunan dari UU Pemilu. Namun, ada sejumlah ketentuan yang berpotensi mengurangi kuota keterwakilan perempuan minimal 30 persen di setiap daerah pemilihan (dapil).
Pemohon menyebut Pasal 8 ayat (2) huruf b mengatur bahwa dalam hal penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil menghasilkan angka pecahan, maka apabila dua tempat desimal di belakang koma bernilai:
a. kurang dari 50, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah; atau
b. 50 (lima puluh) atau lebih, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke atas.
Sempat ada penafsiran terhadap rumus pembulatan ke bawah atau ke atas dianggap sama. Padahal, bila dicermati berdampak pada keterwakilan perempuan kurang dari 30 persen pada sejumlah dapil.
Penerapan angka pecahan pembulatan ke bawah dinilai akan berdampak pada pencalonan perempuan di setiap dapil.
Simulasi pembulatan ke bawah, misalnya di Daerah Pemilihan Jawa Tengah 7. Daerah pemilihan yang meliputi Kabupaten Purbalingga, Banjarnegara, dan Kebumen ini memperebutkan tujuh kursi pada Pemilu Anggota DPR RI, 14 Februari 2024.
Berdasarkan Lampiran IV Keputusan No. 352/2023, simulasi penghitungan keterwakilan perempuan dalam daftar bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, persentase kuota kaum hawa dari tujuh kursi itu sebesar 2,1 persen.
Karena dibulatkan ke bawah, menjadi 2 persen. Dengan demikian, kurang dari 30 persen atau 28,6 persen. Inilah yang dipersoalkan pemohon, kemudian PKPU itu dianggap melanggar ketentuan Pasal 245 UU No. 7/2017.
Tidak saja tak selaras dengan UU Pemilu, ketentuan dalam PKPU itu juga dinilai langgar Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
Pasal 27 ayat (1): Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Pasal 28H ayat (2): Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
Pemohon juga beranggapan bahwa PKPU No. 10/2023 melanggar UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi terhadap Wanita.