Jakarta (ANTARA) - Pengusaha industri rokok nasional diminta tidak apriori terhadap rencana pemerintah menaikkan cukai rokok 23 persen dan harga eceran melonjak 35 persen pada 2020 karena kenyataan di lapangan selama ini, harga komoditas ini relatif masih terjangkau.
"Penolakan kalangan pengusaha itu dapat disebut sebagai sikap apriori yang tidak berdasarkan pada kenyataan yang ada selama ini," kata Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi), Sofyano Zakaria, dalam penjelasannya di Jakarta, Selasa.
Zakaria merinci jika kenaikan cukai 100 persen saja maka harga rokok masih sangat terjangkau oleh konsumen.
Dia memberikan contoh jika sekarang tarif cukai rokok rata rata Rp500 per batang rokok, maka rokok isi 12 batang masih terkena cukai Rp6.000. Harga jual di toko eceran Rp14.000 per bungkus.
Baca juga: Konsumsi rokok bakal turun bila harganya Rp70 ribu/bungkus
Jika cukai dinaikkan 100 persen maka cukai menjadi Rp1.000 per batang rokok. Artinya harga rokok 12 batang dijual dengan harga Rp25.000 per bungkus. "Itu harga yang sangat terjangkau oleh konsumen," tegasnya.
Dia berpendapat, saat ini pun harga rokok eceran antara Rp20.000 sampai Rp35.000 per bungkus. Ini adalah harga jual rokok yang tergolong sangat murah bila dibanding harga rokok di Singapura yang rata rata harta rokok sigaret mesin sekitar Rp150.000 per bungkus.
Jadi, tegasnya, kalau pun pemerintah menaikkan cukai 100 persen dari cukai sekarang, maka harga rokok di Indonesia masih sangat murah dibandingkan dengan harga rokok di negara ASEAN lainnya.
Baca juga: Pengusaha rokok di Kudus terima kenaikan tarif cukai rokok
Oleh karena itu, kata Zakaria, jika ada penolakan dari kalangan pengusaha rokok, terutama pengusaha rokok besar dengan alasan utama adalah kekuatiran penjualan rokok akan menurun dan keuntungan perusahaan akan berkurang, maka hal itu sejatinya, rasa kuatir yang tidak beralasan dan tidak perlu.
Kenaikan wajar
Dia juga menilai kenaikan itu adalah kenaikan yang wajar karena pada 2019 cukai tidak mengalami kenaikan.
"Kalau kenaikannya diakumulasi ke 2020 tentu sudah proporsional. Rata rata kenaikan cukai setiap tahun sekitar 8-10 persen," katanya.
Dengan rata rata kenaikan tahunan 8-10 persen tersebut, lanjut dia, belum pernah perusahaan rokok mengalami penurunan penjualan, penurunan keuntungan, apalagi sampai bangkrut.
"Sehingga kalau ada yang membuat isu bahwa kenaikan cukai sebesar 23 persen pada 2020 akan menyebabkan perusahaan rokok bangkrut, itu adalah sikap mengada-ngada dan terkesan itu hanya strategi pengusaha," katanya.
Dengan demikian, tambah Zakaria, pengusaha tidak perlu kuatir, apalagi melakukan langkah langkah reaktif dengan mengerahkan buruh buruh atau ormas-ormas melakukan penolakan.
Pengusaha rokok, kata dia lagi, sudah saat nya memberi perhatian kepada masyarakat terkait harga rokok agar harga rokok tidak sangat murah yang bisa berdampak terhadap kesehatan.
"Harga rokok yang bisa menyamai seperti harga jual di Singapura, setidaknya bisa menekan ancaman bahayanya rokok bagi kesehatan sebagaimana tercantum pada setiap bungkus rokok," demikian Zakaria.
Baca juga: Tarif cukai naik, Bea Cukai Jateng-DIY siap tindak rokok ilegal
"Penolakan kalangan pengusaha itu dapat disebut sebagai sikap apriori yang tidak berdasarkan pada kenyataan yang ada selama ini," kata Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi), Sofyano Zakaria, dalam penjelasannya di Jakarta, Selasa.
Zakaria merinci jika kenaikan cukai 100 persen saja maka harga rokok masih sangat terjangkau oleh konsumen.
Dia memberikan contoh jika sekarang tarif cukai rokok rata rata Rp500 per batang rokok, maka rokok isi 12 batang masih terkena cukai Rp6.000. Harga jual di toko eceran Rp14.000 per bungkus.
Baca juga: Konsumsi rokok bakal turun bila harganya Rp70 ribu/bungkus
Jika cukai dinaikkan 100 persen maka cukai menjadi Rp1.000 per batang rokok. Artinya harga rokok 12 batang dijual dengan harga Rp25.000 per bungkus. "Itu harga yang sangat terjangkau oleh konsumen," tegasnya.
Dia berpendapat, saat ini pun harga rokok eceran antara Rp20.000 sampai Rp35.000 per bungkus. Ini adalah harga jual rokok yang tergolong sangat murah bila dibanding harga rokok di Singapura yang rata rata harta rokok sigaret mesin sekitar Rp150.000 per bungkus.
Jadi, tegasnya, kalau pun pemerintah menaikkan cukai 100 persen dari cukai sekarang, maka harga rokok di Indonesia masih sangat murah dibandingkan dengan harga rokok di negara ASEAN lainnya.
Baca juga: Pengusaha rokok di Kudus terima kenaikan tarif cukai rokok
Oleh karena itu, kata Zakaria, jika ada penolakan dari kalangan pengusaha rokok, terutama pengusaha rokok besar dengan alasan utama adalah kekuatiran penjualan rokok akan menurun dan keuntungan perusahaan akan berkurang, maka hal itu sejatinya, rasa kuatir yang tidak beralasan dan tidak perlu.
Kenaikan wajar
Dia juga menilai kenaikan itu adalah kenaikan yang wajar karena pada 2019 cukai tidak mengalami kenaikan.
"Kalau kenaikannya diakumulasi ke 2020 tentu sudah proporsional. Rata rata kenaikan cukai setiap tahun sekitar 8-10 persen," katanya.
Dengan rata rata kenaikan tahunan 8-10 persen tersebut, lanjut dia, belum pernah perusahaan rokok mengalami penurunan penjualan, penurunan keuntungan, apalagi sampai bangkrut.
"Sehingga kalau ada yang membuat isu bahwa kenaikan cukai sebesar 23 persen pada 2020 akan menyebabkan perusahaan rokok bangkrut, itu adalah sikap mengada-ngada dan terkesan itu hanya strategi pengusaha," katanya.
Dengan demikian, tambah Zakaria, pengusaha tidak perlu kuatir, apalagi melakukan langkah langkah reaktif dengan mengerahkan buruh buruh atau ormas-ormas melakukan penolakan.
Pengusaha rokok, kata dia lagi, sudah saat nya memberi perhatian kepada masyarakat terkait harga rokok agar harga rokok tidak sangat murah yang bisa berdampak terhadap kesehatan.
"Harga rokok yang bisa menyamai seperti harga jual di Singapura, setidaknya bisa menekan ancaman bahayanya rokok bagi kesehatan sebagaimana tercantum pada setiap bungkus rokok," demikian Zakaria.
Baca juga: Tarif cukai naik, Bea Cukai Jateng-DIY siap tindak rokok ilegal