Melalui operasi pasar, harga beras akhirnya bisa ditekan. Namun, itu tidak bisa berlangsung lama. Mulai medio Mei 2015 hingga beberapa hari menjelang Ramadhan, harga kebutuhan pokok atau sembako melambung.
Harga gula curah di tingkat pengecer menembus Rp12.500/kg dari sebelumnya di bawah Rp11.000. Harga beras juga mengalami kenaikan meski tidak segalak pada Maret 2015. Harga daging ayam, telur, minyak goreng, bumbu dapur, hingga sayuran semuanya naik.
Itu belum termasuk barang "wajib" setiap Ramadhan dan Lebaran. Sebut saja sirup dan biskuit. Harga sebotol sirup isi 600 mililiter pada puasa 2014 tercatat masih Rp13.000-Rp14.000, namun kini melesat hingga Rp17.000/botol. Harga biskuit juga naik dibanding tahun lalu. Kalau harga terigu dan gula naik, pasti harga biskuit juga naik.
Banyak masyarakat menganggap lumrah atas kenaikan harga tersebut. Bukankah setiap menjelang Ramadhan yang diakhiri dengan Idul Fitri pasti disertai dengan kenaikan harga semua barang dan jasa?
Selama puluhan tahun selalu terjadi kenaikan harga. Namun, sebenarnya ini ritual yang menyesakkan rakyat. Tunjangan hari raya hanya untuk menambal kenaikan harga. Jadi, apa yang dilakukan pemerintah sejak zaman dulu hingga hari ini kurang efektif untuk memaksa harga barang stabil seperti hari-hari biasa.
Dalam mekanisme pasar bebas, harga barang sangat ditentukan oleh pasokan dan permintaan. Sepanjang terjadi kekurangan pasokan, otomatis harga komoditas naik. Celakanya, banyak komoditas dikuasai oleh beberapa perusahaan saja sehingga mereka mudah menerapkan kartel untuk mengontrol harga.
Mi instan dan semen bisa menjadi contoh bagaimana sejumlah perusahaan bisa mengontrol harga. Meskipun di bidang pemasaran antarmerek saling bersaing, sesungguhnya mereka memiliki kesepakatan batas harga untuk produk yang sama. Sudah lazim bila mereka yang berhimpun dalam asosiasi produk tertentu membuat kesepakatan menaikkan harga.
Dalam pasar bebas, pemerintah seharusnya bertindak sebagai stabilisator harga. Namun, kasus melambungnya harga beras pada Maret 2015 menunjukkan ada yang tidak berfungsi dalam sistem tersebut. Kala itu Bulog kewalahan menyerap hasil panen petani karena pedagang berani membeli gabah jauh di atas harga pembelian pemerintah (HPP). Akibatnya, stok beras di gudang Bulog berkurang.
Dibandingkan dengan komoditas lain, harga beras memang paling sensitif. Oleh karena itu, setiap menipisnya stok di dalam negeri selalu dibarengi dengan rencana impor. Namun, Bulog masih punya peran besar untuk stabilisasi harga dan stok.
Ini beda dengan gula pasir, minyak goreng, dan kebutuhan dapur lain, misalnya. Pemerintah -- kadang bersama perusahaan besar yang menyalurkan CSR-nya -- paling hanya gelar operasi pasar sesaat. Operasi pasar model seperti ini cenderung jadi seremoni, namun gagal menstabilkan harga dalam jangka panjang.
Ketika debat calon presiden antara Joko Widodo dengan Prabowo Subianto, mantan Gubernur DKI Jakarta itu melontarkan pertanyaan kepanjangan dari TPID. Kala itu Prabowo tidak tahu dari jawaban yang seharusnya berbunyi Tim Pengendali Inflasi Daerah.
Tentu kita berharap Presiden Jokowi tidak hanya hapal kepanjangan dari TPID, tetapi mampu menyusun kebijakan komprehensif untuk mengendalikan harga kebutuhan strategis di tingkat nasional. Bila perlu, pemerintah menginisiasi lahirnya undang-undang pengendalian harga komoditas strategis.
Tradisi menyesakkan berupa kenaikan harga komoditas strategis setiap menjelang Ramadhan dan Idul Fitri sudah saatnya diakhiri. ***
Harga gula curah di tingkat pengecer menembus Rp12.500/kg dari sebelumnya di bawah Rp11.000. Harga beras juga mengalami kenaikan meski tidak segalak pada Maret 2015. Harga daging ayam, telur, minyak goreng, bumbu dapur, hingga sayuran semuanya naik.
Itu belum termasuk barang "wajib" setiap Ramadhan dan Lebaran. Sebut saja sirup dan biskuit. Harga sebotol sirup isi 600 mililiter pada puasa 2014 tercatat masih Rp13.000-Rp14.000, namun kini melesat hingga Rp17.000/botol. Harga biskuit juga naik dibanding tahun lalu. Kalau harga terigu dan gula naik, pasti harga biskuit juga naik.
Banyak masyarakat menganggap lumrah atas kenaikan harga tersebut. Bukankah setiap menjelang Ramadhan yang diakhiri dengan Idul Fitri pasti disertai dengan kenaikan harga semua barang dan jasa?
Selama puluhan tahun selalu terjadi kenaikan harga. Namun, sebenarnya ini ritual yang menyesakkan rakyat. Tunjangan hari raya hanya untuk menambal kenaikan harga. Jadi, apa yang dilakukan pemerintah sejak zaman dulu hingga hari ini kurang efektif untuk memaksa harga barang stabil seperti hari-hari biasa.
Dalam mekanisme pasar bebas, harga barang sangat ditentukan oleh pasokan dan permintaan. Sepanjang terjadi kekurangan pasokan, otomatis harga komoditas naik. Celakanya, banyak komoditas dikuasai oleh beberapa perusahaan saja sehingga mereka mudah menerapkan kartel untuk mengontrol harga.
Mi instan dan semen bisa menjadi contoh bagaimana sejumlah perusahaan bisa mengontrol harga. Meskipun di bidang pemasaran antarmerek saling bersaing, sesungguhnya mereka memiliki kesepakatan batas harga untuk produk yang sama. Sudah lazim bila mereka yang berhimpun dalam asosiasi produk tertentu membuat kesepakatan menaikkan harga.
Dalam pasar bebas, pemerintah seharusnya bertindak sebagai stabilisator harga. Namun, kasus melambungnya harga beras pada Maret 2015 menunjukkan ada yang tidak berfungsi dalam sistem tersebut. Kala itu Bulog kewalahan menyerap hasil panen petani karena pedagang berani membeli gabah jauh di atas harga pembelian pemerintah (HPP). Akibatnya, stok beras di gudang Bulog berkurang.
Dibandingkan dengan komoditas lain, harga beras memang paling sensitif. Oleh karena itu, setiap menipisnya stok di dalam negeri selalu dibarengi dengan rencana impor. Namun, Bulog masih punya peran besar untuk stabilisasi harga dan stok.
Ini beda dengan gula pasir, minyak goreng, dan kebutuhan dapur lain, misalnya. Pemerintah -- kadang bersama perusahaan besar yang menyalurkan CSR-nya -- paling hanya gelar operasi pasar sesaat. Operasi pasar model seperti ini cenderung jadi seremoni, namun gagal menstabilkan harga dalam jangka panjang.
Ketika debat calon presiden antara Joko Widodo dengan Prabowo Subianto, mantan Gubernur DKI Jakarta itu melontarkan pertanyaan kepanjangan dari TPID. Kala itu Prabowo tidak tahu dari jawaban yang seharusnya berbunyi Tim Pengendali Inflasi Daerah.
Tentu kita berharap Presiden Jokowi tidak hanya hapal kepanjangan dari TPID, tetapi mampu menyusun kebijakan komprehensif untuk mengendalikan harga kebutuhan strategis di tingkat nasional. Bila perlu, pemerintah menginisiasi lahirnya undang-undang pengendalian harga komoditas strategis.
Tradisi menyesakkan berupa kenaikan harga komoditas strategis setiap menjelang Ramadhan dan Idul Fitri sudah saatnya diakhiri. ***