Frekuensi listrik padam mungkin bakal lebih tinggi lagi akibat timpangnya ketersediaan dengan permintaan, terutama pada masa beban puncak.

Di tengah membaiknya kesejahteraan warga, konsumsi listrik dari waktu ke waktu terus meningkat. Di era serbaelektronik sekarang ini, ketergantungan manusia terhadap listrik kian tinggi. Begitu listrik padam, orang menjadi kelabakan. Oleh karena itu, listrik saat ini menjadi kebutuhan primer, setidaknya bagi warga di perkotaan.

PT PLN selaku pemasok utama kebutuhan listrik masyarakat menyadari kian tingginya konsumsi listrik. Secara bisnis PLN tidak akan kesulitan menebus biaya listrik dari perusahaan pembangkit listrik.

Masalahnya, untuk membangun pembangkit listrik tidak mudah. Di era demokrasi sekarang ini, tidak ada proyek berskala besar tanpa diwarnai unjuk rasa dan penolakan. Apa pun motifnya.

Rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, misalnya, sudah lebih dari empat tahun. Namun kemajuannya tidak signifikan. Sebagian warga di sekitar lokasi tersebut terus menolak. Bahkan, setelah mendapat advokasi LSM berjaringan internasional, rencana penolakan PLTU Batang kian kencang. Rencana investor PT Bhimasena Power Indonesia bisa membangun PLTU berkapasitas 2x1.000 MW pada akhir 2014 sepertinya sulit terealisasi.

Kapasitas terpasang PLTU Batang sebanyak itu bisa menutup kekurangan atas kebutuhan domestik Jawa Tengah yang hingga kini mencapai 4.000 MW. Sejumlah pembangkit di Jateng menghasilkan sekitar 2.000 MW, sedangkan kekurangan dalam jumlah relatif sama besar selama ini dipenuhi oleh jaringan interkoneksi Jawa-Bali. Padahal, jaringan ini tidak hanya memasok kekurangan setrum di Jateng.

Oleh karena itu membangun pembangkit baru merupakan keniscayaan bila tidak ingin perekonomian dan kesejahteraan warga Jateng stagnan bahkan malah mundur. Rencana relokasi sejumlah industri dari Jabodetabek ke Jateng harus dibarengi dengan ketersediaan setrum yang memadai. Tanpa dukungan listrik, industri tidak bisa beroperasi.

Padahal, Jateng yang dihuni sekitar 33 juta penduduk membutuhkan lapangan kerja baru di luar sektor pertanian. Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Jateng Teguh Dwi Paryono, menyatakan setiap pertumbuhan ekonomi 1 persen dibutuhkan tambahan 1,3 persen pasokan listrik (kompas). Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi moderat di Jateng 5,5 persen per tahun, berarti butuh tambahan pasokan listrik baru lebih dari 8 persen per tahun.

Masalahnya, hingga hari ini PLTU Batang belum jelas kapan bisa dimulai. Bila melihat aksi penolakan sebagian warga yang didukung oleh sejumlah LSM, itu butuh waktu lama. Andai, sekali lagi andai, jika pemancangan tiang pembangunan PLTU Batang bisa dimulai pada awal atau medio 2015, baru tahun 2018-2019 PLTU itu bisa mengalirkan setrumnya ke PLN. Itu berarti harus menunggu 3-4 tahun lagi. Padahal kebutuhan listrik tidak bisa ditunda selama itu.

Karena Jawa Tengah gagal membangun PLTU baru pada dua-tiga tahun lalu, pada tahun-tahun mendatang warga provinsi ini mungkin bakal sering "oglangan" atau gilir padam, kecuali interkoneksi Jawa-Bali terus menambah setrum ke Jateng kendati di provinsi ini tak ada penambahan pembangkit baru.

Untuk mengatasi kekurangan pasokan listrik dalam jangka pendek di Jateng, pembangunan PLTU merupakan solusi realistis. Karena penyiapan lahan di Batang sudah berjalan, seyogyanya tidak ada pemindahan lokasi PLTU. PT Bhimasena harus bekerja lebih keras lagi untuk meyakinkan pemrotes bahwa kehadiran PLTU tidak seburuk kalkulasi mereka.

Pemeritanh Kabupaten Batang dan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo juga harus satu sikap dengan investor sepanjang seluruh persyaratan, terutama menyangkut analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), sudah dipenuhi investor.

Kalau memang tidak bisa di Batang, sebaiknya segera cari lokasi lain. Pasti banyak daerah yang bersedia menjadi lokasi PLTU.Mengapa PLTU? Karena secara ekonomi, teknologi, dan ketersediaan bahan baku memang layak.

Pada era Orde Baru, proyek-proyek berskala besar dengan pendekatan atas ke bawah (top down) lebih mudah dilaksanakan karena setiap perbedaan diselesaikan dengan tangan besi. Akan tetapi, dalam pemerintahan demokrasi, semua proyek yang menyangkut peralihan pemilikan tanah rakyat kepada korporasi, berlangsung alot dan menguras energi.

Mungkin itulah yang harus dibayar oleh negara demokrasi. ***

Pewarta : Achmad Zaenal M
Editor : Zaenal A.
Copyright © ANTARA 2024