"Sebenarnya kita ini sudah swasembada beras, namun kita masih dituntut untuk bisa surplus beras hingga 10 juta ton pada akhir 2014 sebagai beras cadangan," tegas Rusman Heriawan di Malang, Rabu.
Ia mengemukakan kebutuhan beras untuk konsumsi rata-rata mencapai 33 juta ton per tahun, sedangkan produktivitas per tahun lebih dari 34 juta ton.
Sebenarnya, masih kata Wamentan, yang saat ini dikejar adalah untuk memenuhi target beras cadangan (surplus 10 juta ton), bukan masalah swasembadanya, sebab Indonesia sudah mampu memenuhi kebutuhan beras domestik.
Target surplus 10 juta ton pada akhir 2014 tersebut, katanya, adalah kondisi maksimal yang ingin dicapai. Namun, saat ini Bulog sendiri justru kewalahan dengan cadangan berasnya di gudang yang cukup banyak.
Menyinggung puso ketika musim kemarau yang sedang berlangsung, Rusman mengatakan hal itu hanya kurang dari satu persen. Lahan pertanian persawahan di Tanah Air saat ini mencapai 8,5 sampai 9 juta hektare.
Menurut Rusman, sebanarnya yang lebih membahayakan itu bukan puso ketika musim kemarau, tapi ketika musim hujan dan sering terjadi banjir. Jika puso karena kemarau, padi bisa dipanen lebih awal, sedangkan bila disebabkan oleh banjir maka padi tidak bisa diselamatkan.
Untuk mengganti kerugian petani yang terkena puso, katanya, pemerintah telah menganggarkan sebesar Rp2,7 juta per petani sebagai penggantian bibit dan pengolahan.
"Tahun ini kita masih ganti secara tunai, namun tahun depan sudah mulai diberlakukan asuransi bagi petani yang preminya sebagian disubsidi oleh pemerintah," katanya menambahkan.
Komoditas yang ditargetkan mampu swasembada di Indonesia ada lima, yakni beras, jagung, kedelai, daging, dan gula. Untuk komoditas beras tidak ada masalah, sedangkan jagung masih terkendala sistem distribusi akibat infrastruktur dan transportasi yang belum memadai.
Untuk komoditas kedelai, lanjutnya, masih cukup berat untuk merealisasikannya, sebab produksi dalam negeri baru mencapai 850 ribu ton, sementara kebutuhan rata-rata mencapai 2,5 juta ton per tahun.
Dalam kurun waktu satu tahun, tegasnya, sangat berat, bahkan tahun ini sudah terlambat, sebab saat ini sudah mulai memasuki musim hujan. "Pengadaan benih dan sistem pembenihan kedelai ini juga harus dibenahi," ujarnya.
Sementara untuk komoditas daging, kata Rusman, tidak mungkin tidak impor karena populasi sapi potong maupun indukan di Indonesia masih sangat kurang.
"Kalau swasembada gula, khususnya gula putih konsumsi sudah tidak ada masalah, namun untuk gula industri (untuk makanan dan minuman), 100 persen kita masih impor karena menggunakan gula rafinasi (raw sugar)," demikian Wamentan menjelaskan.