Tradisi ruwat agung warga Sedulur Sikep peroleh Hak Kekayaan Intelektual
Kudus (ANTARA) - Tradisi ruwat agung yang biasa dilakukan warga samin atau Sedulur Sikep Klopoduwur, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, mendapatkan sertifikat Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dari Kementerian Hukum dan HAM.
"Kami sangat bersyukur karena tradisi ruwat agung milik warga sedulur sikep akhirnya mendapatkan pengakuan dari Kemenkumham," kata Asisten Pemerintahan Sekretariat Daerah Kabupaten Blora Agus Puji Mulyono yang ditemui usai menerima sertifikat HKI dari Kepala Kanwil Kemenkumham Jawa Tengah Tejo Harwanto di Pendopo Kabupaten Kudus, Selasa.
Ia mengungkapkan tradisi ruwat agung warga Samin tersebut sudah didaftarkan sejak lama dengan kekayaan intelektual lainnya. Namun, saat ini yang sudah mendapatkan sertifikat ekspresi budaya adalah tradisi ruwat agung Sedulur Sikep Klopoduwur.
Dengan dimilikinya sertifikat HKI tersebut, kata dia, semakin kuat karena diakui oleh pemerintah, dan tradisi tersebut juga menjadi hak miliknya warga Samin yang biasa melakukan tradisi ruwat untuk keluarga yang baru melahirkan hingga dewasa.
Ia mengakui tradisi yang sudah ada sejak lama itu pelaksanaannya dipusatkan di Dukuh Karangpace, Desa Kolopoduwur, Kecamatan Banjarejo, Kabupaten Blora.
"Orang biasa tidak ada ruwatan seperti warga Sedulur Sikep. Bahkan, tradisinya warga Samin kuat sekali karena hingga saat ini masih tetap dilestarikan," ujarnya.
Ia berharap adanya tradisi ruwatan akan menarik minat wisatawan berkunjung ke Kabupaten Blora sehingga potensi di daerah, seperti tradisi ruwat agung juga semakin dikenal.
Warga Sedulur Sikep atau Samin merupakan pengikut Samin Surosentiko yang diceritakan berasal dari keturunan keraton, kemudian keluar dari lingkungan keluarganya berbaur dengan masyarakat biasa untuk mengadakan perlawanan terhadap penjajahan Belanda.
Lantas muncul sebutan sebagai warga Samin karena berperilaku berbeda dengan masyarakat umum.
Bentuk perlawanannya, yakni dengan cara membangkan dengan tidak membayar pajak, menolak membenahi jalan, dan menolak ikut ronda atau kebijakan apapun ditentang leluhur beserta pengikutnya. Namun, setelah diasingkan ke Digul, kemudian kedua di Sawah Lunto, Padang, Sumatera Barat, Samin Surosentiko memberikan petuah nantinya ketika Indonesia merdeka harus mau membayar pajak dan kebijakan pemerintah lainnya.
Ciri khas warga Samin, yakni memakai pakaian serba hitam dan untuk laki-laki memakai ikat di kepala.*
"Kami sangat bersyukur karena tradisi ruwat agung milik warga sedulur sikep akhirnya mendapatkan pengakuan dari Kemenkumham," kata Asisten Pemerintahan Sekretariat Daerah Kabupaten Blora Agus Puji Mulyono yang ditemui usai menerima sertifikat HKI dari Kepala Kanwil Kemenkumham Jawa Tengah Tejo Harwanto di Pendopo Kabupaten Kudus, Selasa.
Ia mengungkapkan tradisi ruwat agung warga Samin tersebut sudah didaftarkan sejak lama dengan kekayaan intelektual lainnya. Namun, saat ini yang sudah mendapatkan sertifikat ekspresi budaya adalah tradisi ruwat agung Sedulur Sikep Klopoduwur.
Dengan dimilikinya sertifikat HKI tersebut, kata dia, semakin kuat karena diakui oleh pemerintah, dan tradisi tersebut juga menjadi hak miliknya warga Samin yang biasa melakukan tradisi ruwat untuk keluarga yang baru melahirkan hingga dewasa.
Ia mengakui tradisi yang sudah ada sejak lama itu pelaksanaannya dipusatkan di Dukuh Karangpace, Desa Kolopoduwur, Kecamatan Banjarejo, Kabupaten Blora.
"Orang biasa tidak ada ruwatan seperti warga Sedulur Sikep. Bahkan, tradisinya warga Samin kuat sekali karena hingga saat ini masih tetap dilestarikan," ujarnya.
Ia berharap adanya tradisi ruwatan akan menarik minat wisatawan berkunjung ke Kabupaten Blora sehingga potensi di daerah, seperti tradisi ruwat agung juga semakin dikenal.
Warga Sedulur Sikep atau Samin merupakan pengikut Samin Surosentiko yang diceritakan berasal dari keturunan keraton, kemudian keluar dari lingkungan keluarganya berbaur dengan masyarakat biasa untuk mengadakan perlawanan terhadap penjajahan Belanda.
Lantas muncul sebutan sebagai warga Samin karena berperilaku berbeda dengan masyarakat umum.
Bentuk perlawanannya, yakni dengan cara membangkan dengan tidak membayar pajak, menolak membenahi jalan, dan menolak ikut ronda atau kebijakan apapun ditentang leluhur beserta pengikutnya. Namun, setelah diasingkan ke Digul, kemudian kedua di Sawah Lunto, Padang, Sumatera Barat, Samin Surosentiko memberikan petuah nantinya ketika Indonesia merdeka harus mau membayar pajak dan kebijakan pemerintah lainnya.
Ciri khas warga Samin, yakni memakai pakaian serba hitam dan untuk laki-laki memakai ikat di kepala.*