Pemprov Jateng: 4,7 persen industri gunakan energi baru terbarukan
Semarang (ANTARA) - Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPM-PTSP) Jawa Tengah menyebutkan industri yang sudah menerapkan investasi hijau atau yang menggunakan energi baru dan terbarukan di Jateng sebanyak 4,7 persen.
"Berkaitan dengan investasi hijau di Jateng memang masih relatif akan naik ya," kata Kepala DPM-PTSP Jateng Sakina Rosellasari, saat Central Java Renewable Energy Investment Forum (CJREIF) 2024, di Semarang, Kamis.
Penyelenggaraan CJREIF 2024 merupakan hasil kerja sama Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Pemerintah Provinsi Jateng melalui DPM PTSP.
Berdasarkan data DPM-PTSP Jateng, pengajuan Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Sendiri (IUPTLS) di wilayah tersebut dari 2020-2024 mencapai sebanyak 605 industri.
"Namun, (IUPTLS, red.) dari energi baru dan terbarukan, dalam hal ini menggunakan tenaga surya dan uap baru 29 industri, atau 4,7 persen," katanya.
Sebagian besar industri lainnya yang mengajukan IUPTLS, diakuinya, masih mengandalkan energi dari fosil, seperti pembangkit listrik tenaga diesel.
Menurut dia, Jateng sebenarnya memiliki potensi pengembangan energi baru dan terbarukan sehingga diharapkan industri sudah mulai memanfaatkannya untuk memenuhi pasokan listriknya.
Ia mengatakan sebenarnya negara "buyer" atau tujuan ekspor memang mengatur sejumlah ketentuan, di antaranya memperhatikan kelangsungan sumber daya energi.
"Seperti Eropa, Amerika, kemudian Jepang itu kan 'concern' pada (industri, red.) yang nihil karbon," katanya.
Dari 4,7 persen industri yang telah menerapkan investasi hijau, kata dia, didominasi oleh industri padat karya, seperti alas kaki dan tekstil yang orientasi sepenuhnya untuk ekspor.
Ada juga industri lainnya, seperti farmasi, kemudian industri energi yang merupakan badan usaha milik negara (BUMN).
Sakina menambahkan industri yang menerapkan investasi hijau tersebut memang belum sepenuhnya menggunakan energi baru dan terbarukan, melainkan dikombinasikan dengan pasokan listrik dari PLN.
"Masih kombinasi karena yang utama masih menggunakan (pasokan listrik, red.) PLN, misalnya untuk yang industri pakai tenaga surya. Kuotanya masih 20 persen, jadi tidak bisa semuanya," katanya.
Meski demikian, ia berharap mulai banyak industri yang sadar dengan pentingnya investasi hijau, terutama dengan pemanfaatan energi baru dan terbarukan.
"Kalau kami berharap angkanya (investasi hijau, red.) semakin menggembirakan ya. Targetnya 25 persen pelaku usaha yang melakukan hal tersebut," katanya.
Baca juga: API sebut kondisi industri tekstil terburuk dalam 9 tahun terakhir
"Berkaitan dengan investasi hijau di Jateng memang masih relatif akan naik ya," kata Kepala DPM-PTSP Jateng Sakina Rosellasari, saat Central Java Renewable Energy Investment Forum (CJREIF) 2024, di Semarang, Kamis.
Penyelenggaraan CJREIF 2024 merupakan hasil kerja sama Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Pemerintah Provinsi Jateng melalui DPM PTSP.
Berdasarkan data DPM-PTSP Jateng, pengajuan Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Sendiri (IUPTLS) di wilayah tersebut dari 2020-2024 mencapai sebanyak 605 industri.
"Namun, (IUPTLS, red.) dari energi baru dan terbarukan, dalam hal ini menggunakan tenaga surya dan uap baru 29 industri, atau 4,7 persen," katanya.
Sebagian besar industri lainnya yang mengajukan IUPTLS, diakuinya, masih mengandalkan energi dari fosil, seperti pembangkit listrik tenaga diesel.
Menurut dia, Jateng sebenarnya memiliki potensi pengembangan energi baru dan terbarukan sehingga diharapkan industri sudah mulai memanfaatkannya untuk memenuhi pasokan listriknya.
Ia mengatakan sebenarnya negara "buyer" atau tujuan ekspor memang mengatur sejumlah ketentuan, di antaranya memperhatikan kelangsungan sumber daya energi.
"Seperti Eropa, Amerika, kemudian Jepang itu kan 'concern' pada (industri, red.) yang nihil karbon," katanya.
Dari 4,7 persen industri yang telah menerapkan investasi hijau, kata dia, didominasi oleh industri padat karya, seperti alas kaki dan tekstil yang orientasi sepenuhnya untuk ekspor.
Ada juga industri lainnya, seperti farmasi, kemudian industri energi yang merupakan badan usaha milik negara (BUMN).
Sakina menambahkan industri yang menerapkan investasi hijau tersebut memang belum sepenuhnya menggunakan energi baru dan terbarukan, melainkan dikombinasikan dengan pasokan listrik dari PLN.
"Masih kombinasi karena yang utama masih menggunakan (pasokan listrik, red.) PLN, misalnya untuk yang industri pakai tenaga surya. Kuotanya masih 20 persen, jadi tidak bisa semuanya," katanya.
Meski demikian, ia berharap mulai banyak industri yang sadar dengan pentingnya investasi hijau, terutama dengan pemanfaatan energi baru dan terbarukan.
"Kalau kami berharap angkanya (investasi hijau, red.) semakin menggembirakan ya. Targetnya 25 persen pelaku usaha yang melakukan hal tersebut," katanya.
Baca juga: API sebut kondisi industri tekstil terburuk dalam 9 tahun terakhir