Semarang (ANTARA) - DPRD Kota Semarang menilai bahwa pendidikan atau sekolah ramah difabel harus terintegrasi mulai jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD) sampai pendidikan tinggi.
"Kami pengen saudara-saudara penyandang disabilitas mendapatkan bekal pendidikan yang layak seperti masyarakat yang lain," kata Sekretaris Komisi D DPRD Kota Semarang Anang Budi Utomo, di Semarang, Rabu.
Hal tersebut disampaikannya saat menjadi pembicara pada kegiatan "Ngobrol Penting Bersama Stakeholder Pendidikan" bertema "Layanan Pendidikan Inklusi".
"Jadi, mereka itu sekolah mulai PAUD, SD (sekolah dasar), SMP (sekolah menengah pertama), SMA (sekolah menengah atas), syukur-syukur perguruan tinggi, terus bisa lulus.
Menurut dia, sekolah inklusi harus disiapkan secara optimal secara berjenjang sehingga pendidikan bagi penyandang difabel benar-benar terintegrasi mulai PAUD hingga perguruan tinggi.
Dulu, kata dia, ada beberapa sekolah yang disiapkan sebagai sekolah inklusi, yakni sekolah reguler yang menerima siswa berkebutuhan khusus, tetapi sekarang seluruh sekolah sudah inklusi.
"Yang terjadi kan masih belum optimal. Daripada dimassalkan tapi tidak bisa optimal, paling enggak Disdik (Dinas Pendidikan) punya 'pilot project' (sekolah inklusi, red) per jenjang pendidikan," katanya.
Nantinya, kata dia, sekolah yang menjadi percontohan itu akan dibiayai pemenuhan sarana, prasarana, dan fasilitas pendukungnya untuk melayani akses siswa berkebutuhan khusus dengan sebaik-baiknya.
"Jadi, harus ada model dulu, baru sekolah-sekolah lain melakukan studi tiru di sana dan mengimplementasikan. Sekolah inklusi ini berbeda dengan SLB (sekolah luar biasa) karena pada dasarnya sekolah reguler," katanya.
Namun, Anang menilai justru yang menjadi kelebihan sekolah inklusi adalah siswa berkebutuhan khusus bisa membaur dengan siswa-siswa lainnya sehingga akan membiasakan mereka saling membaur dan mandiri dalam kehidupan nantinya.
"Karena kehidupan itu kan sebenarnya inklusif, tidak eksklusif," katanya.
"Makanya, paling tidak ada 'pilot project' dulu. Sekolah ramah difabel kan harus disiapkan, mulai jalan masuk sekolah, jalan ke kelas. Nah, ini kan harus dipilih di antara sekolah-sekolah yang ada," lanjutnya.
Ia mencontohkan SMP Negeri 19 Semarang yang akan kesulitan menerapkan karena kontur lokasi sekolah yang berbukit atau SMPN 45 yang memiliki struktur bangunan bertingkat tinggi sampai empat lantai.
"Kemudian, sarana prasarana, SDM, yakni guru pendamping, kemudian fasilitas umum, termasuk kamar mandi. WC untuk penyandang difabel kan harus ada ukuran tertentu, tidak bisa disamakan karena harus bawa kursi, atau alat bantu lain," katanya.