DPRD Kota Semarang evaluasi kanal pelaporan kasus KDRT
Semarang (ANTARA) - Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Semarang, Jawa Tengah, segera mengevaluasi kanal pelaporan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) guna mencegah kasus KDRT berulang, apalagi sampai memakan korban jiwa.
"Kami prihatin dengan kejadian KDRT seperti kemarin (korban meninggal di Sendangguwo) dan menyayangkan bisa sampai terjadi seperti itu," kata Ketua Komisi D DPRD Kota Semarang Swasti Aswagati di Semarang, Rabu.
Menurut dia, pemkot melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Semarang sebenarnya sudah menyediakan kanal untuk pelaporan KDRT sebagai upaya penanganan awal.
"Beberapa kali kami melakukan sosialisasi dengan teman DP3A, sudah diinformasikan hotline yang bisa dihubungi supaya mereka (korban KDRT) bisa mendapatkan pertolongan pertama dan perlindungan di awal," kata Asti, sapaan akrabnya.
Namun, kata dia, ternyata masih banyak korban KDRT yang tidak melaporkan tindak kekerasan melalui kanal tersebut, bahkan ada yang sampai berakibat fatal hingga meninggal dunia.
Oleh karena itu, dia mengajak seluruh pemangku kebijakan untuk duduk bersama membahas upaya penanggulangan kasus KDRT, termasuk pengoptimalan kanal pelaporan KDRT yang selama ini tersedia.
"Perlu duduk bersama mencari salahnya di mana? Apakah mereka yang tidak bisa akses atau malah masyarakat belum tahu kanal-kanal untuk mengakses meminta pertolongan?" katanya.
Asti mengatakan bahwa semua pihak tidak perlu saling mencari kesalahan masing-masing. Akan tetapi, bagaimana mencegah kejadian serupa terulang dengan mengoptimalkan kanal pelaporan KDRT.
"Tidak bisa saling menyalahkan. Harus duduk bersama mencari problemnya di mana? Atau mungkin kurangnya sosialisasi terkait dengan hotline jika ada kejadian seperti itu," katanya.
Menurut dia, secara fasilitas sebenarnya penanganan oleh DP3A untuk korban KDRT sudah mumpuni, termasuk penyediaan rumah perlindungan bagi korban KDRT yang dipastikan aman.
"Sudah ada rumah untuk mereka 'diamankan'. Lokasinya tidak diketahui orang lain. Bahkan, saya sendiri tidak tahu karena mobile, ya, berpindah-pindah untuk menghindari pelaku mendatangi korban," katanya.
Selain itu, Asti juga menyoroti kemungkinan korban KDRT tidak berani melaporkan karena berbagai faktor, termasuk ketergantungan ekonomi yang membuat perempuan terintimidasi.
Sebelumnya, kasus KDRT menimpa AA (22), warga Sendangguwo, Semarang, Minggu (27/8), yang membuatnya meregang nyawa setelah dianiaya suaminya, YB.
Korban ditemukan meninggal di rumahnya oleh dua saksi yang masih merupakan kerabatnya. Dari pemeriksaan awal didapati luka lebam pada beberapa bagian tubuh korban, namun polisi belum bisa memastikan penyebab kematian korban.
Saat ini, polisi juga sudah meringkus YB untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya melakukan KDRT yang menewaskan sang istri.
Pemerintah Kota Semarang juga sudah menurunkan tim untuk melakukan pendampingan terhadap keluarga korban KDRT tersebut, terutama anak-anaknya, dan membantu kebutuhan ekonomi keluarga tersebut.
Kepala DP3A Kota Semarang Ulfi Imran Basuki mengatakan bahwa DP3A juga memiliki unit pelaksana teknis dinas (UPTD) di tingkat kecamatan untuk menangani laporan KDRT, termasuk RDRM yang dilengkapi dengan tim psikolog dan layanan hukum.
"Di RDRM itu ada pendampingan, ada psikolognya, ada lawyer-nya juga kalau dibutuhkan. Ada pendampingan korban karena trauma, layanan medis juga ada, visum, luka fisik, kami kerja sama dengan RS," katanya.
Baca juga: Wali Kota Semarang ajak perempuan korban KDRT berani lapor
"Kami prihatin dengan kejadian KDRT seperti kemarin (korban meninggal di Sendangguwo) dan menyayangkan bisa sampai terjadi seperti itu," kata Ketua Komisi D DPRD Kota Semarang Swasti Aswagati di Semarang, Rabu.
Menurut dia, pemkot melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Semarang sebenarnya sudah menyediakan kanal untuk pelaporan KDRT sebagai upaya penanganan awal.
"Beberapa kali kami melakukan sosialisasi dengan teman DP3A, sudah diinformasikan hotline yang bisa dihubungi supaya mereka (korban KDRT) bisa mendapatkan pertolongan pertama dan perlindungan di awal," kata Asti, sapaan akrabnya.
Namun, kata dia, ternyata masih banyak korban KDRT yang tidak melaporkan tindak kekerasan melalui kanal tersebut, bahkan ada yang sampai berakibat fatal hingga meninggal dunia.
Oleh karena itu, dia mengajak seluruh pemangku kebijakan untuk duduk bersama membahas upaya penanggulangan kasus KDRT, termasuk pengoptimalan kanal pelaporan KDRT yang selama ini tersedia.
"Perlu duduk bersama mencari salahnya di mana? Apakah mereka yang tidak bisa akses atau malah masyarakat belum tahu kanal-kanal untuk mengakses meminta pertolongan?" katanya.
Asti mengatakan bahwa semua pihak tidak perlu saling mencari kesalahan masing-masing. Akan tetapi, bagaimana mencegah kejadian serupa terulang dengan mengoptimalkan kanal pelaporan KDRT.
"Tidak bisa saling menyalahkan. Harus duduk bersama mencari problemnya di mana? Atau mungkin kurangnya sosialisasi terkait dengan hotline jika ada kejadian seperti itu," katanya.
Menurut dia, secara fasilitas sebenarnya penanganan oleh DP3A untuk korban KDRT sudah mumpuni, termasuk penyediaan rumah perlindungan bagi korban KDRT yang dipastikan aman.
"Sudah ada rumah untuk mereka 'diamankan'. Lokasinya tidak diketahui orang lain. Bahkan, saya sendiri tidak tahu karena mobile, ya, berpindah-pindah untuk menghindari pelaku mendatangi korban," katanya.
Selain itu, Asti juga menyoroti kemungkinan korban KDRT tidak berani melaporkan karena berbagai faktor, termasuk ketergantungan ekonomi yang membuat perempuan terintimidasi.
Sebelumnya, kasus KDRT menimpa AA (22), warga Sendangguwo, Semarang, Minggu (27/8), yang membuatnya meregang nyawa setelah dianiaya suaminya, YB.
Korban ditemukan meninggal di rumahnya oleh dua saksi yang masih merupakan kerabatnya. Dari pemeriksaan awal didapati luka lebam pada beberapa bagian tubuh korban, namun polisi belum bisa memastikan penyebab kematian korban.
Saat ini, polisi juga sudah meringkus YB untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya melakukan KDRT yang menewaskan sang istri.
Pemerintah Kota Semarang juga sudah menurunkan tim untuk melakukan pendampingan terhadap keluarga korban KDRT tersebut, terutama anak-anaknya, dan membantu kebutuhan ekonomi keluarga tersebut.
Kepala DP3A Kota Semarang Ulfi Imran Basuki mengatakan bahwa DP3A juga memiliki unit pelaksana teknis dinas (UPTD) di tingkat kecamatan untuk menangani laporan KDRT, termasuk RDRM yang dilengkapi dengan tim psikolog dan layanan hukum.
"Di RDRM itu ada pendampingan, ada psikolognya, ada lawyer-nya juga kalau dibutuhkan. Ada pendampingan korban karena trauma, layanan medis juga ada, visum, luka fisik, kami kerja sama dengan RS," katanya.
Baca juga: Wali Kota Semarang ajak perempuan korban KDRT berani lapor