Magelang (ANTARA) - Di arena Festival Lima Gunung XXII/2023 sesekali tertangkap selentingan orang-orang yang hadir bahwa agenda tahunan komunitas seniman petani kawasan lima gunung yang mengelilingi Kabupaten Magelang, Jawa Tengah itu, dibikin warga desa tetapi menghadirkan taste internasional.
Festival secara mandiri Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang (Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) pada tahun ke-22 tersebut digelar di Dusun Sudimoro, Desa Baleagung, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang selama 25-27 Agustus 2023.
Selama sekitar tiga bulan terakhir, komunitas itu makin intensif bersama warga dusun terpencil di daerah setempat tersebut, menyiapkan berbagai keperluan festival. Komunitas Lima Gunung dirintis oleh budayawan Sutanto Mendut (69) yang oleh berbagai kalangan luas juga disebut sebagai "Presiden Lima Gunung".
Berbagai persiapan tersebut, antara lain menyiapkan panggung raksasa, membuat instalasi seni panggung dan dusun, mengelola jadwal pementasan, menyetel tata suara dan lampu, mengoordinasikan petugas penghubung dan pelatihan kemampuan mereka sebagai penghubung, menyediakan rumah-rumah warga untuk transit tamu, mengatur 100-an pedagang yang membuka lapak, mengatur pelayanan parkir kendaraan, dan mengurus pemberitahuan kepada instansi terkait.
Sejak setahun lalu, dusun setempat mengajukan keinginan kepada komunitas untuk menjadi tuan rumah Festival Lima Gunung XXII. Keinginan warga itu dikemukakan Kepala Dusun Sudimoro yang juga dalang, Sih Agung Prasetyo (37).
Nyaris hanya Sih Agung, satu-satunya warga setempat yang intensif berkesenian, terutama menjadi bagian tokoh penting Komunitas Lima Gunung. Kemampuan dan kapasitas berkesenian dia didukung latar belakang pendidikan formal lulusan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta.
Total warga setempat sekitar 75 kepala keluarga dengan kira-kira 250 jiwa. Mereka pada umumnya bekerja harian, antara lain petani dan pekebun, tukang, buruh, pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), pedagang, dan pegawai instansi. Dusun itu, salah satu di antara sembilan wilayah administratif Desa Baleagung yang total warganya 1.399 keluarga dan 4.313 jiwa (magelangkab.go.id). Dusun Sudimoro seakan-anak diapit oleh Sungai Bolong dan Bukit Selogender.
Tentang Kali Bolong dan Bukit Selogender, seorang sesepuh warga yang pernah menjabat kepala dusun setempat selama 22 tahun, Sutopo (64), menuturkan bahwa sungai itu dibuat pada masa lampau saat terjadi persoalan warga antardesa tentang air, sedangkan di Bukit Selogender (700 mdpl) terdapat makam pepunden yang konon berasal dari Keraton Surakarta, Kiai Notodento. Satu pekuburan lainnya di dusun itu terdapat makam pendahulu dusun yang oleh warga disebut Kiai Moro dan Nyai Moro.
Mereka yang terlihat heran, tertegun, dan takjub sendiri atas kesuksesan menghadirkan kemeriahan dan kegembiraan bersama, bukan hanya Kades Baleagung Nur Muhammad Solikhin dan sejumlah warga dusun setempat, seperti Tri Widayati, Praya, Asnawi, dan Madiyono. Bahkan, suasana kebatinan sejumlah tokoh Komunitas Lima Gunung pun kiranya sedemikian juga.
Pekerjaan lapangan kian intensif dalam menyiapkan festival dijalani bersama-sama pegiat komunitas dan warga setempat sekitar dua bulan terakhir. Hampir setiap hari, ada kelompok di komunitas itu mengirim para personel untuk bersama warga menyiapkan panggung pementasan empat level seluas 18x12 meter dan menghiasi wajah dusun.
Aneka bahan alam dikumpulkan dari berbagai tempat untuk pembuatan panggung dan instalasi seni yang dirancang seniman komunitas itu, Ismanto, seperti bambu, kelobot, damen, papan kayu.
Mereka, baik laki-laki, perempuan, anak-anak, dan pemuda serta pemudi, bergotong royong setiap hari mengikat bahan-bahan itu menjadi karya instalasi seni yang terlihat elok. Karya yang antara lain berbentuk wayang, gunungan, flora dan fauna, huruf-huruf membentuk tulisan "FLG XXII" dan "HUT RI", serta penjor kontemporer, dipasang di berbagai titik.
Selama tiga hari festival itu, berupa pementasan kesenian tarian tradisional, modern, dan kontemporer, pentas musik, pembacaan puisi, performa seni, pentas kolaborasi seni, teater, kirab budaya, pameran lukisan, pemeriksaan kesehatan, dan pidato kebudayaan.
Tahun ini, komunitas memberikan "Lima Gunung Award" kepada 12 tokoh, yakni Bante Sri Pannavaro Mahathera, Garin Nugraha, Franki Raden, Romo Yoso Sudarmo (almarhum), Nur Anani M. Irman (Nani Topeng Losari), Wardah Hafidz, Suprapto Suryodarmo (almarhum), Jaya Suprana, Rastika (almarhum), K.H. Ahmad Mustofa Bisri, Mei Kartawinata, dan Amat Sukandar. Pada festival tahun lalu, penghargaan serupa diberikan kepada Zannuba Ariffah Chafsoh (Yenny Wahid).
Tema Festival Lima Gunung XXII/2023, "Kalis ing Kahanan", sebagai ungkapan simbolis untuk suatu pengharapan masyarakat, bangsa, dan negara yang kedap dari berbagai aspek kesulitan dan wujud marabahaya, serta mampu melewati berbagai tantangan dan krisis kekinian.
Para tokoh utama komunitas, beberapa tahun lalu, mendeklarasikan "Sumpah Tanah" untuk menghadirkan Festival Lima Gunung tanpa berembug duwit, tidak mengajukan proposal dan permintaan sponsor dari mana saja.
Pada festival tahun ini, tercatat sekitar 80 kelompok kesenian dengan jumlah keseluruhan sekitar 1.700 personel dari di daerah itu, luar daerah, dan mancanegara menggelar pementasan di panggung "Kalis ing Kahanan", siang hingga malam. Suara tetabuhan alat musik menggema dalam pementasan, seakan mengiringi suasana meriah dusun.
Para warga kawasan tersebut, penikmat seni, pengamat budaya, akademisi, dan pemuka masyarakat dari berbagai kota dan luar negeri, termasuk wisatawan, bagaikan hilir mudik hadir ke tempat festival, serta mengunggah rekaman foto dan video dengan macam-macam keterangan pendek ke akun berbagai platform media sosial masing-masing. Seluruh agenda pementasan juga disiarkan secara langsung salah satu kanal Youtube. Dusun tuan rumah festival ramai dan meriah, dunia maya dan jagat digital pun seakan tak ingin ketinggalan.
Festival itu terkesan menghadirkan suasana kebatinan warga setempat yang campur aduk antara kerja besar dilakukan bersama dengan sungguh-sungguh, hati yang bungah, dan pandangan takjub bagaikan menerima berkah melimpah dari semesta alam, serta keberhasilan mengatasi detail-detail kesulitan di lapangan pada hari festival.
Suasana batin mereka bagaikan dirangkum Kades Solikhin dalam pidato di panggung festival, sebagai bangga dan bahagia karena upaya bersama masyarakat dan Komunitas Lima Gunung menjadikan dusun terpencil itu dihadiri banyak orang dari berbagai tempat untuk bersukaria. Bagi dia, melalui festival itu warga setempat seakan beroleh capaian pemaknaan "Kalis ing Kahanan".
Wajah ketekunan pegiat komunitas dalam menjalani hidup berkesenian dengan bersumber nilai-nilai alam pertanian, suasana gunung, kearifan lokal, dan tradisi desa, nampaknya juga dilihat sineas Garin Nugroho, sebagai terungkap dalam festival mereka.
Ketika hadir dalam festival untuk menjadi salah satu penerima langsung "Lima Gunung Award", disebut oleh dia bahwa acara itu terwujud karena modal sosial mereka. Festival tersebut hadir secara orisinal dan berumur panjang karena berpijak pada peradaban desa.
Penyelenggaraan Festival Lima Gunung secara mandiri dengan kekuatan masyarakat desa diakui pula oleh Pemkab Kabupaten Magelang turut membesarkan nama daerah, termasuk dalam kaitan dengan makin berkembang kepariwisataan setempat. Kepala Dinas Pariwisata, Kepemudaan, dan Olahraga Kabupaten Magelang Mulyanto menyebutnya sebagai pengungkit kepariwisataan pascapandemi COVID-19.
Agenda itu bukan hanya menyedot pengunjung, akan tetapi juga memberdayakan warga dan pelaku UMKM, karena mereka beroleh ruang dan waktu yang baik untuk menjual barang dagangan, menawarkan produk usaha, dan mempromosikan usaha ekonomi. Kiranya, festival itu bagian dari kontribusi penting dan bermakna dari masyarakat desa untuk kemajuan pembangunan daerah.
Budayawan Magelang yang juga pengajar Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta Sutanto Mendut mengakui tingginya target makna festival tahun ini dipasang para tokoh utama Komunitas Lima Gunung melalui tema "Kalis ing Kahanan".
Terlebih dalam situasi serba diwarnai perubahan dan perkembangan cepat dengan berbagai tantangan serba disrupsi, seperti dalam aspek kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya, tema tersebut mendapat ruang dan atmosfer yang mentes atau bernas.
Setidaknya, melalui Festival Lima Gunung tahun ini, warga desa membuktikan ketangguhan mental sosial menjalani pergulatan hidup supaya "Kalis ing Kahanan".