Jakarta (ANTARA) - Nahdlatul Ulama akan mendorong agar Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) segera disahkan karena hingga kini masih mandek di DPR.
"Itu disoroti karena mangkrak dan belum disahkan. Itu menyangkut nasib dan hak rakyat kecil. Jadi itu yang harus kita dorong bahwa NU juga hadir membela rakyat kecil," ujar Ketua Komisi Bahtsul Masail Qanuniyah Muktamar ke-34 NU Mujib Qulyubi dalam keterangan tertulis yang diterima dari Jakarta, Rabu.
RUU soal perlindungan asisten atau pekerja rumah tangga ini akan menjadi salah satu bahasan dalam Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama (NU) yang rencananya digelar pada 23-25 Desember di Provinsi Lampung.
Sejak diusulkan pada 2004, RUU ini telah masuk di dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI. Setiap masa periode masa bakti DPR-RI pembahasannya selalu terhenti, padahal RUU tersebut merupakan kebutuhan mendesak guna melindungi para pekerja rumah tangga.
Wilayah kerja dari PRT pada ranah domestik dan privat sehingga kontrol pemerintah tidak ada. Padahal pekerjaan privat seperti ini rawan eksploitasi, diskriminasi, pelecehan, bahkan kekerasan.
Mujib menegaskan bahwa masih banyak pekerja rumah tangga di Indonesia belum mendapatkan hak layak hingga saat ini. Ia merasa persoalan RUU PRT agar segera disahkan ini menjadi penting karena rakyat kecil yang sudah lemah tidak boleh dilemahkan, lantaran belum ada payung hukumnya.
"Jadi asisten rumah tangga ini kan simbol dari akar rumput, rakyat kecil, maka NU tidak boleh membiarkan orang yang sudah lemah kemudian dilemahkan oleh sistem. Itu tidak boleh. Di situ harus tampil dan hadir NU dengan seluruh perangkatnya," kata dia.
Berdasarkan survei yang dilakukan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) dan Universitas Indonesia pada 2015, jumlah PRT berjumlah 4,2 juta dengan tren meningkat setiap tahun. Angka itu cukup besar sebagai pekerja yang selama ini tidak diakui dan dilindungi.
Secara kuantitas, jumlah PRT di Indonesia tergolong paling tinggi di dunia jika dibandingkan dengan beberapa negara di Asia seperti India (3,8 juta) dan Filipina (2,6 juta). Sementara secara persentase, sebagian besar PRT adalah perempuan (84 persen) dan anak (14 persen) yang rentan eksploitasi atau risiko terhadap perdagangan manusia (human trafficking).
Urgensi lain adalah karena PRT merupakan pekerja yang rentan. Mereka bekerja dalam situasi yang tidak layak, di antaranya jam kerja yang panjang (tidak dibatasi waktu), tidak ada istirahat, tidak ada hari libur, tidak ada jaminan sosial. Ditambah pula rentan terjadi kekerasan dalam bekerja baik secara ekonomi, fisik, dan psikis (intimidasi, isolasi).
PRT juga tergolong angkatan kerja yang tidak diakui sebagai pekerja, sehingga dianggap pengangguran.
Berita Terkait
BPJAMSOSTEK: 6.900 pekerja rentan di Banyumas terlindungi jamsostek
Selasa, 17 Desember 2024 13:23 Wib
BPJS Ketenagakerjaan gelar Pelatihan Enterpreneurship Return to Work bagi pekerja disabilitaseks-kecelakaan kerja
Jumat, 13 Desember 2024 10:13 Wib
UMK Kabupaten Pekalongan 2025 disepakati Rp2.486.653
Selasa, 10 Desember 2024 22:21 Wib
HUT Ke-47, BPJS Ketenagakerjaan hasilkan capaian positif
Sabtu, 7 Desember 2024 11:18 Wib
JHT mutlak dimiliki pekerja untuk hidup layak di hari tua
Selasa, 3 Desember 2024 18:38 Wib
Kemenkeu sebut JHT jadi cara pekerja hidup layak di hari tua
Sabtu, 30 November 2024 12:46 Wib
BPJS Ketenagakerjaan bersama ILO kenalkan program ke mahasiswa Undip Semarang
Kamis, 28 November 2024 20:25 Wib
Produksi pasta bawang merah di Brebes
Selasa, 26 November 2024 19:59 Wib