Kudus (ANTARA) - Gerakan Pemuda (GP) Ansor Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, menuntut pemerintah kabupaten setempat menutup semua tempat usaha karaoke secara permanen, bukannya bersifat sementara sehingga mereka masih berpeluang buka kembali meskipun aturannya jelas tidak memperbolehkan karaoke beroperasi.
"Di dalam Peraturan Daerah Nomor 10/2015 tentang Usaha Hiburan Diskotik, Kelab Malam, Pub, dan Penataan Hiburan Karaoke disebutkan pada Bab II Pasal 2 bahwa orang pribadi atau badan dilarang melakukan kegiatan usaha hiburan diskotik, kelab malam, pub, dan usaha karaoke di wilayah Kudus," kata Ketua PC Ansor Kabupaten Kudus Dasa Susila saat menggelar jumpa pers terkait GP Ansor menggugat di Kudus, Senin.
Ia menegaskan bahwa sejak pembentukan perda karaoke tersebut pada tahun 2015 hingga sekarang tetap menyuarakan tempat usaha tersebut ditutup.
"Kalaupun boleh hanya di hotel bintang lima, itu pun fasilitas gratis," katanya.
Gugatannya itu, kata dia, disebabkan karena selama masa pandemi COVID-19 masyarakat luas sudah mematuhi aturan pemerintah mulai dari menghindari kerumunan hingga mengurangi aktivitas di luar rumah, termasuk aktivitas hajatan, pengajian, termasuk pedagang kaki lima juga tidak diizinkan berjualan, ternyata para pengelola tempat karaoke masih nekat menjalankan usahanya.
Ia menyatakan bahwa GP Ansor sangat prihatin karena pemerintahnya begitu kencang menerapkan aturan selama pandemi terhadap PKL, pengusaha warung makan, dan pemilik hajatan, ternyata tempat karaoke dengan amannya melakukan kegiatan melanggar.
Sebelumnya, pihaknya menggelar diskusi dengan sejumlah pemangku kepentingan dan tokoh di Kudus untuk mendesak dan menggugat pemerintah setempat terkait dengan masih beroperasinya tempat karaoke.
Tuntutan lainnya, yakni perlu adanya evaluasi atas sanksi di dalam Perda Nomor 10/2015 agar diperberat demi memberikan efek jera.
Bupati Kudus Hartopo menanggapi gugatan GP Ansor menyampaikan bahwa Satpol PP Kudus sudah berupaya menindak, termasuk menyita peralatan karaoke serta memutus sambungan listriknya.
"Hanya saja, kami memang tidak mungkin berjaga terus menerus mengawasi tempat karaoke yang jumlahnya belasan itu. Setiap kali operasi kesannya memang ada kebocoran informasi sehingga sudah ada antisipasi dari pengelola tempat karaoke," ujarnya.
Agar ada efek jera, kata dia, sanksi yang ada di dalam Perda No. 10/2015 memang perlu dievaluasi kembali karena terlalu ringan menyusul masih banyaknya pengelola tempat karaoke yang nekat beroperasi kembali.