Solo (ANTARA) - Pengamat Hukum Tata Negara dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Sunny Ummul Firdaus menyoroti sulitnya syarat yang harus dipenuhi oleh calon perseorangan pada pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020.
"Syarat bagi calon perseorangan untuk berkompetisi dalam pilkada terbilang cukup memberatkan," kata Kepala Pusat Demokrasi dan Ketahanan Nasional (Pusdemtanas) Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) UNS tersebut di Solo, Jateng, Kamis.
Dari sudut pandang yuridis, dikatakannya, ada syarat administrasi yang mengharuskan calon perseorangan mengantongi dukungan dari masyarakat dengan jumlah minimal yang sudah ditentukan. Ia mengatakan tidak mudah bagi calon peserta pilkada yang maju secara independen mengumpulkan puluhan ribu pendukung, terutama jika mereka berasal dari daerah kecil.
Baca juga: Ganjar usukan debat pilkada digelar secara virtual
"Sebaran untuk calon persorangan yang luasannya sangat kecil untuk misalnya meraih 35.000 dukungan adalah hal yang sangat sulit, kecuali dalam suatu wilayah tersebut parpol tidak bergerak atau pasif," katanya.
Sedangkan dari sudut pandang empiris adalah calon perseorangan harus memiliki kekuatan ekonomi atau anggaran yang besar untuk menggalang dukungan.
"Kultur masyarakat kita sekarang di masa pandemi banyak kebutuhan yang harus ditutupi. Jadi, biaya memang cukup tinggi bagi mereka yang tidak punya dasar keuangan yang besar akan sulit untuk maju," katanya.
Menurut dia, sulitnya persyaratan yang harus dipenuhi tersebut sebagai akibat dari kuatnya dominasi partai politik dalam suatu wilayah.
"Sudah bukan rahasia umum lagi jika parpol kerap kali menggaet calon kepala daerah yang memiliki tingkat elektabilitas tinggi untuk dijagokan dalam pilkada," katanya.
Sementara itu, kemungkinan dilakukannya revisi terkait syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh peserta pilkada dari independen, menurut dia, harus terlebih dahulu sesuai dengan marwah yang diamanatkan dalam pilkada.
"Pilkada yang baik haruslah menyinergikan kepala daerah dengan pemilih untuk menyukseskan berjalannya pembangunan di daerah tersebut. Dengan demikian, masyarakat akan merasa dilibatkan dalam setiap program pemerintah dan kepala daerah juga mempunyai kedaulatan," katanya.
Di sisi lain, dikatakannya, revisi regulasi tersebut tidak mudah mengingat tingkat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diisi oleh orang-orang partai politik yang kemungkinan akan merasa khawatir terganggu eksistensinya jika calon perseorangan dimudahkan saat maju dalam pilkada.
"Kalau dilonggarkan dan banyak calon perseorangan bermunculan akan mengurangi eksistensi partai politik tetapi menurut saya harus ada seperti itu kalau kembali kepada marwah kedaulatan masyarakat lokal untuk menciptakan 'sustainable' (keberlanjutan) pembangunan," katanya
Ia mengatakan keberadaan calon perseorangan berarti adalah hidupnya semangat demokrasi dan dapat memberikan masyarakat banyak pilihan saat akan mencoblos.
"Dalam hal ini, masyarakat juga dapat mengulik berbagai hal dari calon perseorangan, baik meliputi program-program unggulan yang dijagokan saat kampanye hingga rekam jejaknya. Dari sekian banyak orang yang berkualitas kalau diberikan ruang untuk maju secara independen, maka akan dapat menciptakan kompetisi yang menarik ada banyak pilihan bagi rakyat kira-kira mana yang paling pas dan cocok," katanya.
Baca juga: Bakal paslon Pilkada 2020 di Jateng jalani MCU
Baca juga: BEM UMS ajak mahasiswa kawal Pilkada 2020 agar berkualitas