Prof. Dwi Maryanto: Candi Borobudur sumber ide kreatif-produktif
Magelang (ANTARA) - Cara memandang Candi Borobudur yang tidak sekadar secara ragawi, membawa setiap orang menjadi lebih empati, produktif, dan kreatif, kata pengamat seni dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta Profesor M. Dwi Maryanto.
"Melihat Borobudur akan lebih produktif, kalau kita memandang sebagai subjek, bukan sekadar objek, di mana kita bisa masuk ke dalamnya lalu kita bisa merasakan spirit. Ini cara pandang yang menjadi lebih berempati, lebih produktif, lebih kreatif," katanya dalam acara perbicangan secara daring diselenggarakan Balai Konservasi Borobudur di Magelang, Kamis.
Ia mengemukakan banyak orang melukis atau memotret Candi Borobudur. Candi yang juga warisan budaya dunia dibangun sekitar abad ke-8 Masehi, masa Dinasti Syailendra itu terletak di antara Kali Elo dan Progo Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah.
Namun, kata dia, ada cara memandang Borobudur sebagai objek atau aspek fisik yang berupa bangunan candi besar serta sebagai subjek, antara lain sumber ide, inspirasi, dan pengetahuan.
"Sebenarnya, dalam memandang karya seni, kita bisa memperlakukan, melihat, memandang karya itu (Borobudur, red.) sebagai subjek, bukan aspek ragawi. Tetapi justru yang penting sebagai subjek, karya seni adalah sumber ide, karya seni adalah sumber inspirasi, sumber pengetahuan. Seni ini kita ganti dengan Borobudur," kata dosen Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta itu.
Jika orang memandang Borobudur sebagai objek, kata dia dalam acara dipandu pengkaji BKB Panggah Ardiyansyah dengan sejumlah narasumber lainnya itu, akan terpukau oleh besarnya bangunan cagar budaya itu.
Akan tetapi, katanya, jika setiap orang --termasuk seniman-- memandang Borobudur sebagai subjek, akan dibawa masuk kepada berbagai aspek, seperti ilmu pengetahuan, spiritualitas, kultural, dan religiusitas.
Baca juga: Balai Konservasi tunggu rekomendasi pembukaan zona I Candi Borobudur
Ia menyebut salah satu pelukis muda di kawasan Candi Borobudur bernama Wawan Geni yang melihat candi itu sebagai subjek. Pelukis autodidak yang kemudian berkesempatan kuliah seni rupa di ISI Yogyakarta hingga lulus itu, bukan sekadar melihat bentuk Borobudur, tetapi belajar dan menjadikannya "rumah" serta tempat mendapatkan ide dan kehidupan. Namanya Wawan Geni karena melukis Borobudur secara unik, menggunakan bara api bersumber dari obat nyamuk bakar atau rokok.
"Yang digambarkan (pelukis, red.) bukan hanya rupa, tetap esensi, bukan aspek ragawi saja. Di sini yang penting adalah ketika melihat Borobudur, jangan hanya dari aspek wisata saja, dari aspek fisiknya saja, tetap kalau masuk lebih dalam. Itu betul-betul dahsyat," katanya.
Ia mengaku akhir Juni lalu ke Borobudur di tengah pandemi COVID-19 dan mendapatkan suasana unik, yakni kesunyian candi itu karena sedikit pengunjung dan tanpa gangguan aktivitas pedagang.
Dengan merasakan secara unik Borobudur, ia mengaku bisa melihat dan menafsirkan candi megah itu dari kata dengan awalan "trans", antara lain pendiri Borobudur pada masa lalu mentranspor batu-batu dari kaki Gunung Merapi ke Borobudur. Batu-batu kemudian ditransformasi menjadi sesuatu yang bernilai spiritual, estektik, dan bercita rasa.
Setelah batu menjadi arca dan diletakkan dalam suatu konteks bangunan spiritual, ujarnya, ditransfigurasi menjadi nilai yang lebih tinggi, mengagumkan, dan mulia. Dengan diletakkan dalam konteks Borobudur secara keseluruhan, semua itu menjadi transendental, keluar dari kebiasaan yang normal.
Pengkaji BKB Hari Setyawan mengemukakan Candi Borobudur sebagai puncak karya seni klasik Indonesia (zaman Hindu-Buddha) sekitar abad 8-10 Masehi. Seni rupa dan pahat Indonesia, berkembang dengan puncaknya Candi Borobudur, antara lain berupa pahatan yang proporsional dan penggambaran komponen-komponen lingkungan secara detail.
"(Relief, red.) pohon sampai buah, daun, sampai para peneliti LIPI geleng-geleng kepala karena bisa menganalisis sampai spesies. Hewan juga bisa diidentifikasikan sampai tingkat spesies. Itu salah satu hal yang menjadi kemajuan kita," katanya.
Ia mengemukakan para seniman memiliki sudut pandang lebih luas atas Borobudur, tidak sebatas fisik candi.
"Ini hasil karya seni, lebih dari sekadar bangunan. Ini sesuatu hal yang menunjukkan sebuah bangsa itu sudah meningkat ke arah yang lebih maju, di mana karya seni itu sangat dihargai, dikembangkan, dan termanifestasikan dalam objek-objek yang penting bagi sebuah peradaban. Borobudur dengan seni seperti itu ada makna," katanya.
Pembicara lainnya, kolektor lukisan dan pemilik Museum OHD Kota Magelang Oei Hong Djien dan Koordinator Komunitas Seniman Borobubudur Indonesia (KSBI) 15 yang juga pelukis serta pengelola Limanjawi Art House Borobudur Kabupaten Magelang Umar Chusaeni.
Baca juga: BKB secara rutin lakukan pengukuran stabilitas bangunan Candi Borobudur
"Melihat Borobudur akan lebih produktif, kalau kita memandang sebagai subjek, bukan sekadar objek, di mana kita bisa masuk ke dalamnya lalu kita bisa merasakan spirit. Ini cara pandang yang menjadi lebih berempati, lebih produktif, lebih kreatif," katanya dalam acara perbicangan secara daring diselenggarakan Balai Konservasi Borobudur di Magelang, Kamis.
Ia mengemukakan banyak orang melukis atau memotret Candi Borobudur. Candi yang juga warisan budaya dunia dibangun sekitar abad ke-8 Masehi, masa Dinasti Syailendra itu terletak di antara Kali Elo dan Progo Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah.
Namun, kata dia, ada cara memandang Borobudur sebagai objek atau aspek fisik yang berupa bangunan candi besar serta sebagai subjek, antara lain sumber ide, inspirasi, dan pengetahuan.
"Sebenarnya, dalam memandang karya seni, kita bisa memperlakukan, melihat, memandang karya itu (Borobudur, red.) sebagai subjek, bukan aspek ragawi. Tetapi justru yang penting sebagai subjek, karya seni adalah sumber ide, karya seni adalah sumber inspirasi, sumber pengetahuan. Seni ini kita ganti dengan Borobudur," kata dosen Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta itu.
Jika orang memandang Borobudur sebagai objek, kata dia dalam acara dipandu pengkaji BKB Panggah Ardiyansyah dengan sejumlah narasumber lainnya itu, akan terpukau oleh besarnya bangunan cagar budaya itu.
Akan tetapi, katanya, jika setiap orang --termasuk seniman-- memandang Borobudur sebagai subjek, akan dibawa masuk kepada berbagai aspek, seperti ilmu pengetahuan, spiritualitas, kultural, dan religiusitas.
Baca juga: Balai Konservasi tunggu rekomendasi pembukaan zona I Candi Borobudur
Ia menyebut salah satu pelukis muda di kawasan Candi Borobudur bernama Wawan Geni yang melihat candi itu sebagai subjek. Pelukis autodidak yang kemudian berkesempatan kuliah seni rupa di ISI Yogyakarta hingga lulus itu, bukan sekadar melihat bentuk Borobudur, tetapi belajar dan menjadikannya "rumah" serta tempat mendapatkan ide dan kehidupan. Namanya Wawan Geni karena melukis Borobudur secara unik, menggunakan bara api bersumber dari obat nyamuk bakar atau rokok.
"Yang digambarkan (pelukis, red.) bukan hanya rupa, tetap esensi, bukan aspek ragawi saja. Di sini yang penting adalah ketika melihat Borobudur, jangan hanya dari aspek wisata saja, dari aspek fisiknya saja, tetap kalau masuk lebih dalam. Itu betul-betul dahsyat," katanya.
Ia mengaku akhir Juni lalu ke Borobudur di tengah pandemi COVID-19 dan mendapatkan suasana unik, yakni kesunyian candi itu karena sedikit pengunjung dan tanpa gangguan aktivitas pedagang.
Dengan merasakan secara unik Borobudur, ia mengaku bisa melihat dan menafsirkan candi megah itu dari kata dengan awalan "trans", antara lain pendiri Borobudur pada masa lalu mentranspor batu-batu dari kaki Gunung Merapi ke Borobudur. Batu-batu kemudian ditransformasi menjadi sesuatu yang bernilai spiritual, estektik, dan bercita rasa.
Setelah batu menjadi arca dan diletakkan dalam suatu konteks bangunan spiritual, ujarnya, ditransfigurasi menjadi nilai yang lebih tinggi, mengagumkan, dan mulia. Dengan diletakkan dalam konteks Borobudur secara keseluruhan, semua itu menjadi transendental, keluar dari kebiasaan yang normal.
Pengkaji BKB Hari Setyawan mengemukakan Candi Borobudur sebagai puncak karya seni klasik Indonesia (zaman Hindu-Buddha) sekitar abad 8-10 Masehi. Seni rupa dan pahat Indonesia, berkembang dengan puncaknya Candi Borobudur, antara lain berupa pahatan yang proporsional dan penggambaran komponen-komponen lingkungan secara detail.
"(Relief, red.) pohon sampai buah, daun, sampai para peneliti LIPI geleng-geleng kepala karena bisa menganalisis sampai spesies. Hewan juga bisa diidentifikasikan sampai tingkat spesies. Itu salah satu hal yang menjadi kemajuan kita," katanya.
Ia mengemukakan para seniman memiliki sudut pandang lebih luas atas Borobudur, tidak sebatas fisik candi.
"Ini hasil karya seni, lebih dari sekadar bangunan. Ini sesuatu hal yang menunjukkan sebuah bangsa itu sudah meningkat ke arah yang lebih maju, di mana karya seni itu sangat dihargai, dikembangkan, dan termanifestasikan dalam objek-objek yang penting bagi sebuah peradaban. Borobudur dengan seni seperti itu ada makna," katanya.
Pembicara lainnya, kolektor lukisan dan pemilik Museum OHD Kota Magelang Oei Hong Djien dan Koordinator Komunitas Seniman Borobubudur Indonesia (KSBI) 15 yang juga pelukis serta pengelola Limanjawi Art House Borobudur Kabupaten Magelang Umar Chusaeni.
Baca juga: BKB secara rutin lakukan pengukuran stabilitas bangunan Candi Borobudur