Purwokerto (ANTARA) - Akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Manunggal Kusuma Wardaya mengatakan polemik revisi UU Nomor 30/2002 tentang KPK harus menjadi catatan bersama.
"Persoalan mendasar dari semua pro kontra ini dalam amatan saya adalah persoalan integritas dan kepercayaan publik. Ini harus jadi catatan bersama," katanya di Purwokerto, Rabu.
Pengajar hukum hak asasi manusia itu juga menam bahwa revisi UU KPK bisa jadi dilatarbelakangi keinginan untuk membuat KPK tetap kuat namun tetap akuntabel.
"Kalau kita mencoba melihat revisi UU KPK secara positif, maka terlihat ada keinginan untuk membuat KPK tetap kuat namun pula tetap akuntabel," katanya.
Salah satu pendiri Serikat Pengajar HAM (SEPAHAM) Indonesia itu mengatakan kekhawatiran banyak pihak bahwa KPK dilemahkan memang memiliki dasar argumen.
"Kekhawatiran banyak pihak bahwa KPK dilemahkan memang memiliki dasar argumen, dan sebaliknya, keinginan untuk membuat KPK lebih profesional juga tentu saja berdasarkan pada catatan yang ada, semisal persoalan etik," katanya.
Juga baca: Formappi nilai DPR diskriminatif dalam pembahasan RUU
Juga baca: Ketua Iluni nilai revisi UU KPK tidak libatkan publik
Juga baca: Pakar Hukum: Presiden masih memiliki kesempatan menggagalkan RUU KPK
Sementara itu, Rapat Paripurna DPR RI ke-9 Masa Persidangan I periode 2019-2020 dengan hadirin hanya puluhan orang anggota DPR telah menyetujui mengesahkan Revisi UU KPK menjadi undang-undang.
Beberapa materi pokok revisi UU KPK antara lain penyadapan melalui izin Dewan Pengawas KPK, penghentian penyidikan dan penuntutan yang tidak selesai dalam jangka waktu maksimal dua tahun, status kepegawaian KPK sebagai ASN, dan pembentukan dewan pengawas yang diusulkan presiden dan dipilih DPR.
Dalam UU KPK yang sudah diubah itu, di pasal 37A disebutkan dalam rangka mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK, maka dibentuk Dewan Pengawas yang merupakan lembaga nonstruktural.
Sampai Juni 2019, kasus korupsi melibatkan anggota DPRD atau DPR masih paling dominan. Rinciannya 255 kasus melibatkan anggota DPRD di semua tingkat dan DPR yang ditangani KPK, 130 perkara melibatkan kepala daerah, enam pemimpin partai politik, 27 kepala lembaga atau kementerian dan terkini Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi, menjadi tersangka korupsi dana KONI.