Peneliti: Kehadiran Miryam di Pansus Berpotensi Mengaburkan Pemeriksaan Projustitia
Jakarta, ANTARA JATENG - Langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak mengizinkan mantan anggota Komisi II DPR-RI dari Fraksi Partai Hanura Miryam S. Haryani hadir pada rapat Pansus Hak Angket sudah tepat, kata seorang peneliti.
"Kehadiran Miryam di Pansus Hak Angket berpotensi mengaburkan pemeriksaan projustitia yang sedang dilakukan oleh KPK. Terlebih, status Miryam yang sedang dikenakan penahanan oleh KPK," kata Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia Miko Ginting dalam keterangan tertulis, Sabtu.
Dia mengutipkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, bahwa penahanan dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan pada sidang pengadilan.
"Artinya, KPK berwenang untuk menempatkan seseorang pada tempat tertentu dalam pengawasannya sepanjang untuk alasan pemeriksaan penegakan hukum," tutur Miko.
Ia mengatakan pemeriksaan terhadap Miryam telah dan sedang berlangsung, sedangkan permohonan praperadilan Miryam ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
"Upaya untuk menghadirkan Miryam di Pansus Hak Angket merupakan proses politik yang dapat mengaburkan proses penegakan hukum," kata Miko.
KPK telah menerima surat dari Pansus Hak Angket KPK berisi permintaan menghadirkan Miryam pada rapat Pansus di gedung MPR/DPR RI.
"Kami menghormati fungsi dan pengawasan yang dilakukan oleh DPR," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Jumat (16/6). "Sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, KPK tidak ingin dan tidak boleh juga melanggar hukum."
KPK telah menetapkan Miryam sebagai tersangka memberikan keterangan tidak benar pada persidangan perkara tindak pidana korupsi proyek KTP elektronik (KTP-e) atas nama terdakwa Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Miryam dituduh melanggar Pasal 22 juncto Pasal 35 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.