Jakarta, ANTARA JATENG - Perubahan dalam digitalisasi dunia penyiaran yaitu dari sistem analog ke digital memang selaras dengan kemajuan teknologi tetapi perlu dilakukan dengan tidak terburu-buru agar bisa mengoptimalkan manfaatnya untuk rakyat Indonesia.
"Digitalisasi merupakan suatu keharusan, namun kami juga mengingatkan pemerintah agar transisinya jangan terburu-buru," kata Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Firman Subagyo dalam rilis, Jumat.
Menurut dia, digitalisasi yaitu transisi dari analog ke digital tidak bisa dilakukan terburu-buru karena juga harus memikirkan pula kemampuan pelaku usaha nasional dan kesiapan masyarakat.
Selain itu, politisi Partai Golkar itu juga mengingatkan, karena perubahan ke arah digitalisasi merupakan usaha yang baik padat modal maupun padat teknologi, juga selayaknya berhati-hati agar jangan sampai dikuasai pihak asing.
Ia mengingatkan bahwa pembatasan investasi asing dalam bisnis media akan dimasukkan ke dalam draft RUU Penyiaran.
Hal demikian dinilai merupakan poin yang penting agar pelaku usaha nasional juga tetap mendominasi usaha penyiaran di Tanah Air.
"Semua sumber daya alam dikuasai asing dan ini tidak boleh terjadi dalam dunia penyiaran. Ini harus dikuasai oleh anak bangsa sendiri," katanya.
Firman berpendapat bahwa pembatasan investasi asing relatif tidak berimplikasi dibandingkan dengan kebijakan menutup investasi asing yang bisa berujung gugatan.
Sebelumnya, Anggota Badan Legislasi DPR Muhammad Misbakhun mengemukakan, RUU Penyiaran harus berfokus lebih kepada bagaimana Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dapat benar-benar menjalankan peran negara dalam rangka menghasilkan acara tontonan yang berkualitas.
"Fungsi KPI dalam menjalankan wewenangnya harus memprioritaskan peran negara, sebab permasalahan RUU Penyiaran saat ini lebih banyak mementingkan rating program semata," kata Misbakhun.
Menurut dia, upaya mengedepankan peran KPI untuk kepentingan negara dibandingkan dengan kepentingan pemilik modal sangatlah penting antara lain dalam menghasilkan konten program yang berkualitas dan sesuai dengan norma.
Misbakhun mengemukakan, dalam membangun demokrasi sipil perlu adanya penguatan melalui lembaga-lembaga penyiaran publik seperti televisi dan radio. Dia berpendapat bahwa frekuensi merupakan hak milik negara namun seringkali kepentingan negara dikesampingkan dibandingkan dengan kepentingan kelompok pemilik modal.