Habib Luthfi: Belajar Malu dari Ziarah Ulama
Semarang, ANTARA JATENG - Ulama kharismatik Habib Luthfi bin Yahya mengingatkan masyarakat sekarang semestinya belajar malu dari ulama dan tokoh besar yang sampai sekarang makamnya selalu dibanjiri peziarah.
"Melihat Wali Sembilan, saya kagum dengan hasil karya beliau-beliau. Namun, sekaligus saya merasa malu melihat kondisi bangsa sekarang. Semestinya kita semua juga harus malu," katanya di Semarang, Rabu.
Hal tersebut diungkapkannya saat menyampaikan tausiah pada Forum Silaturahim Kebangsaan (Rahim Bangsa) yang dihadiri pimpinan dan akademisi perguruan tinggi Jawa Tengah, bertempat di Wisma Perdamaian Semarang.
Ia mencontohkan Sunan Ampel yang termasuk salah satu Walisongo, sampai sekarang ini makamnya dikunjungi banyak sekali peziarah setiap hari yang membuat masyarakat sekitar ikut merasakan manfaatnya.
"Kalau tidak percaya, datang ke sana. Hitung berapa bus setiap hari yang datang. Masyarakatnya senang, Masjidnya jadi kaya, lingkungannya juga kaya. Coba saja kalau tidak ada Sunan Ampel di situ," tuturnya.
Ternyata, kata dia, orang yang sudah mati pun masih mampu menciptakan ekonomi kerakyatan bagi masyarakatnya, sementara yang masih hidup sekarang ini malah sibuk bertengkar dan memikirkan dirinya sendiri.
"Yang datang ke sana itu tidak ada yang sekadar begadang. Ada yang membaca Al Fatihah, ada yang melantunkan tahlil, tasbih, berzikir, dan puji-pujian kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW," ujarnya.
Bahkan, kata tokoh kelahiran Pekalongan, 10 November 1947 itu, Sunan Ampel yang sudah wafat pun bisa mengajak orang banyak untuk datang membaca ayat-ayat suci Al Quran, berzikir, dan, bertasbih.
"Orang-orang (peziarah, red.) yang semula tidak kenal juga bisa saling kenal. Di sana tidak ada yang nyembah kuburan, minta ke kuburan, karena itikad itu di hati. Saya tidak tahu hati setiap orang," imbuhnya.
Tak hanya itu, kata dia, makam Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunungjati yang juga salah satu Walisongo justru diziarahi tidak hanya umat muslim, melainkan juga dari kalangan nonmuslim.
"Kanjeng Syekh Maulana Syarif Hidayatullah meski sudah meninggal pun masih bisa mempersatukan umat dan bangsa, serta menciptakan ekonomi kerakyatan. Mestinya, kita malu kepada beliau-beliau," ucapnya.
Menurut dia, bangsa-bangsa lainnya juga sudah berlomba-lomba menciptakan teknologi maju, seperti nuklir, dan sebagainya, sementara bangsa Indonesia masih disibukkan dengan perdebatan soal pilihan.
Manusia, kata Habib Luthfi, diberikan sejengkal tanah yang masing-masing berkembang menjadi bangsa, seperti China, Afrika, sampai tanah Jawa yang semestinya harus merasa "handarbeni" atas pemberian Yang Kuasa.
"Belajar dari Kanjeng Sunan Kalijaga. Kalijaga itu artinya jaga kali (sungai, red.). Makna sebenarnya kali itu adalah aliran. Beliau bertugas menjaga agar antar-aliran ketika itu tidak mudah dibenturkan," tukasnya.
"Melihat Wali Sembilan, saya kagum dengan hasil karya beliau-beliau. Namun, sekaligus saya merasa malu melihat kondisi bangsa sekarang. Semestinya kita semua juga harus malu," katanya di Semarang, Rabu.
Hal tersebut diungkapkannya saat menyampaikan tausiah pada Forum Silaturahim Kebangsaan (Rahim Bangsa) yang dihadiri pimpinan dan akademisi perguruan tinggi Jawa Tengah, bertempat di Wisma Perdamaian Semarang.
Ia mencontohkan Sunan Ampel yang termasuk salah satu Walisongo, sampai sekarang ini makamnya dikunjungi banyak sekali peziarah setiap hari yang membuat masyarakat sekitar ikut merasakan manfaatnya.
"Kalau tidak percaya, datang ke sana. Hitung berapa bus setiap hari yang datang. Masyarakatnya senang, Masjidnya jadi kaya, lingkungannya juga kaya. Coba saja kalau tidak ada Sunan Ampel di situ," tuturnya.
Ternyata, kata dia, orang yang sudah mati pun masih mampu menciptakan ekonomi kerakyatan bagi masyarakatnya, sementara yang masih hidup sekarang ini malah sibuk bertengkar dan memikirkan dirinya sendiri.
"Yang datang ke sana itu tidak ada yang sekadar begadang. Ada yang membaca Al Fatihah, ada yang melantunkan tahlil, tasbih, berzikir, dan puji-pujian kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW," ujarnya.
Bahkan, kata tokoh kelahiran Pekalongan, 10 November 1947 itu, Sunan Ampel yang sudah wafat pun bisa mengajak orang banyak untuk datang membaca ayat-ayat suci Al Quran, berzikir, dan, bertasbih.
"Orang-orang (peziarah, red.) yang semula tidak kenal juga bisa saling kenal. Di sana tidak ada yang nyembah kuburan, minta ke kuburan, karena itikad itu di hati. Saya tidak tahu hati setiap orang," imbuhnya.
Tak hanya itu, kata dia, makam Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunungjati yang juga salah satu Walisongo justru diziarahi tidak hanya umat muslim, melainkan juga dari kalangan nonmuslim.
"Kanjeng Syekh Maulana Syarif Hidayatullah meski sudah meninggal pun masih bisa mempersatukan umat dan bangsa, serta menciptakan ekonomi kerakyatan. Mestinya, kita malu kepada beliau-beliau," ucapnya.
Menurut dia, bangsa-bangsa lainnya juga sudah berlomba-lomba menciptakan teknologi maju, seperti nuklir, dan sebagainya, sementara bangsa Indonesia masih disibukkan dengan perdebatan soal pilihan.
Manusia, kata Habib Luthfi, diberikan sejengkal tanah yang masing-masing berkembang menjadi bangsa, seperti China, Afrika, sampai tanah Jawa yang semestinya harus merasa "handarbeni" atas pemberian Yang Kuasa.
"Belajar dari Kanjeng Sunan Kalijaga. Kalijaga itu artinya jaga kali (sungai, red.). Makna sebenarnya kali itu adalah aliran. Beliau bertugas menjaga agar antar-aliran ketika itu tidak mudah dibenturkan," tukasnya.