Semarang (ANTARA) - Dosen Ilmu Falak sekaligus Koordinator Bidang Observatorium UIN Walisongo Semarang, M Ihtirozun Ni’am mempresentasikan hasil risetnya di forum Annual International Conference on Islam, Science and Society (AICIS+), Konferensi Internasional yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama di Kampus Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Depok.
Ia membahas tentang perkembangan teknologi ru’yatul hilal, dengan judul "Upaya Optimalisasi Ru'yatul Hilal yang Merata". M Ihtirozun Ni'am menawarkan Sistem Kontrol Teleskop Jarak Jauh di Forum AICIS+. Ia mengatakan, sistem tersebut adalah transformasi sistem kontrol teleskop yang semula dikontrol secara langsung dalam jarak dekat (close-range control) menjadi kontrol jarak jauh (tele-remoting).
Ia mengangkat pembahasan ini dalam paper berjudul “Transformation of Lunar Crescent Observation Technology (From Close-Range Control Toward Tele-Remoting Control)”.
Hasil riset ini dipresentasikan di sesi Open Panel bersama dengan Prof. Dr. H. Ilman Nafi’a dari UIN Cirebon, Vandan Wiliyanti dari UIN Lampung dan Umi Mahmudah dari UIN Pekalongan.
Izun -sapaan akrabnya- menjelaskan bahwa transformasi sistem kontrol teleskop ini menjadi yang hal penting untuk meningkatkan potensi keberhasilan ru’yatul hilal. “Termasuk kendala besar dalam pelaksanaan ru’yatul hilal adalah tidak meratanya persebaran lokasi ru’yah di Indonesia. Hanya sedikit tempat yang melaksanakan ru’yatul hilal dan kebetulan mendung, berawan tebal atau bahkan hujan. Justru di tempat-tempat yang cuacanya bagus dengan langit cerah malah tidak dilaksanakan ru’yatul hilal,” jelasnya.
Ia kemudian mencontohkan kondisi saat penentuan awal bulan Jumadil Akhir 1445 H. “Dalam penentuan awal Jumadil Akhir 1445 H misalnya. Lokasi ru’yah hanya didominasi wilayah-wilayah di Jawa Timur dan Jawa Tengah," ujar dia.
Dari 15 titik pengamatan hilal di Indonesia tanggal 13 Desember 2023 M, 11 lokasi didominasi wilayah Jawa Timur, 3 lokasi di Jawa Tengah dan 1 lokasi di NTB. Kondisi demikian ini akan menjadi riskan ketika kondisi cuaca dan langit di 15 wilayah tersebut berawan tebal, tertutup mendung atau bahkan hujan.
Kondisi hilal yang bahkan sudah memenuhi kriteria imkanur ru’yah (kemungkinan bisa dilihat) pun akan gagal diobservasi. Konsekuensinya adalah terjadi pergeseran tanggal antara yang telah dihitung dengan kriteria imkanurr ru’yah dibandingkan dengan hasil ru’yatul hilal. Padahal kalau dilihat cuaca cuaca dan kondisi langit di wilayah Sumatera bagian Selatan serta Papua bagian Selatan pada waktu itu langitnya cukup bersih dan tidak ada gangguan cuaca. "Hanya saja yang patut disayangkan adalah ada SDM yang melaksanakan ru’yatul hilal di sana,” paparnya.
Ia menambahkan bahwa kondisi ini tidak hanya terjadi sekali. “Kondisi demikian ini berulang kembali saat penentuan awal Muharram 1446 H," ungkapnya.
Saat ru’yatul hilal pada tanggal 6 Juli 2024 M, distribusi titik ru’yatul hilal juga tidak merata. Dari 19 titik ru’yah se-Indonesia, 9 lokasi didominasi jawa timur, 5 di Jawa Tengah, 1 di Jogja, 1 di Jawa Barat, 1 di NTB, 1 di Jakarta, dan 1 di Aceh. Berdasarkan laporan kondisi cuaca di ufuk barat masing-masing, lokasi tersebut cenderung mendung, berkabut hingga hujan.
Padahal di waktu yang bersamaan, wilayah seperti Bali, Sulawesi Selatan, NTT dan mayoritas NTB cuacanya bagus dan langitnya sangat cerah. Namun sangat disayangkan tidak ada melaksanakan ru’yatul hilal di Lokasi tersebut.
Izun kemudian mengungkapkan pentingnya hasil penelitian ini. “Di sinilah pentingnya hasil penelitian ini. Di saat lokasi-lokasi strategis tadi tidak melaksanakan ru’yatul hilal karena alasan teknis seperti keterbatasan SDM dan lain sebagainya, keterbatasan ini bisa diatasi hanya dengan meletakkan instrumen teleskop di lokasi tersebut dan kemudian bisa dikendalikan dari jarak jauh," kata dia.
Secara saintifik, tidak perlu ada pengamat langsung di tempat tersebut karena bisa dikontrol dari jarak jauh. Namun apabila secara syar’i dibutuhkan peru’yat di lokasi untuk memverifikasi citra yang muncul dengan kondisinya di langit, setidaknya hanya butuh 1 SDM untuk melakukannya.
Ia kemudian menyimpulkan, sistem kontrol jarak jauh ini sangat membantu pelaksanaan ru’yatul hilal. "Dengan sistem ini pula, secara efisien dimungkinkan untuk membangun pos-pos ru’yatul hilal yang merata di seluruh Indonesia sehingga potensi keberhasilan dalam pelaksanaan ru’yatul hilal semakin besar dan potensi pergeseran tanggal bisa diminimalisir," pungkasnya.