Purwokerto (ANTARA) - Pakar kebijakan publik dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof Slamet Rosyadi menyoroti pentingnya transparansi dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banyumas, Jawa Tengah, terkait penetapan tunjangan perumahan bagi anggota DPRD setempat yang dinilai publik sangat besar.

"Pemerintah daerah itu harus transparan menyampaikan kepada publik, dari mana formula itu berasal, kenapa tiba-tiba muncul angka seperti itu," katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas Jumat.

Menurut dia, penjelasan yang rinci dan terbuka mengenai komponen biaya akan mengedukasi masyarakat terkait dengan besaran tunjangan perumahan bagi anggota DPRD Kabupaten Banyumas sebagaimana tercantum dalam Peraturan Bupati Banyumas Nomor 9 Tahun 2024 tentang Perubahan Kelima Atas Peraturan Bupati Banyumas Nomor 66 Tahun 2017 tentang Hak Keuangan Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Banyumas.

Tanpa adanya transparansi, kata dia, publik akan bertanya-tanya dan berpotensi menimbulkan persepsi negatif, terutama karena nominal tunjangan tersebut mencapai Rp42.625.000 per bulan untuk Ketua DPRD, Rp34.650.000 per bulan untuk Wakil Ketua DPRD, dan Rp23.650.000 per bulan untuk anggota DPRD.

Ia menilai jika tidak diinformasikan secara lengkap mengenai peruntukannya, angka tersebut bisa dianggap tidak patut untuk standar biaya hidup di Kabupaten Banyumas.

"Itu (tunjangan) 'kan termasuk besar untuk ukuran di Kabupaten Banyumas. Sangat besar itu, mau tinggal di mana, di perumahan mewah atau seperti apa?" katanya.

Berdasarkan informasi, kata dia, nilai kontrak rumah mewah di Purwokerto saat ini berada pada kisaran Rp120 juta per tahun yang berarti sebesar Rp10 juta per bulan.

Lebih lanjut, dia mengatakan pejabat publik semestinya menunjukkan empati dan menjadi teladan bagi masyarakat dengan menerapkan pola hidup sederhana.

Menurut dia, citra kemewahan akan melekat jika besaran tunjangan tersebut tidak disertai justifikasi yang jelas dan dapat diterima publik.

"Kuncinya itu ya transparansi terkait bagaimana formulasi itu bisa muncul, dari mana angkanya," kata Prof Slamet.

Dalam kesempatan terpisah, pakar hukum pidana Unsoed Prof Hibnu Nugroho mengatakan penetapan nilai tunjangan yang tidak wajar berpotensi mengarah pada praktik penggelembungan harga atau mark up.

Oleh karena itu, kata dia, asas kepatutan dan kelaikan perlu menjadi pertimbangan utama dalam penentuan besaran tunjangan yang bersumber dari keuangan negara.

"Soal appraisal (penilaian) itu bisa masuk kualifikasi mark up. Kalau tidak sesuai dengan kualifikasi yang ada, ya bisa dipermasalahkan," katanya.

Ia mencontohkan jika di kabupaten lain nilai tunjangan rata-rata Rp50 juta, sementara di Banyumas ditetapkan Rp100 juta tanpa dasar pembanding yang memadai, maka penetapan tersebut patut dipertanyakan.

Menurut dia, langkah itu keliru baik secara hukum maupun etika pengelolaan keuangan negara.

"Asas kepatutan itu harus muncul. Harus ada patokan harga dan nilai yang sesuai dengan kondisi daerah," katanya menegaskan.

Sebelumnya, Bupati Banyumas Sadewo Tri Lastiono mengaku masih menunggu perkembangan dan akan melibatkan berbagai pihak termasuk DPRD terkait dengan kemungkinan adanya kajian ulang terhadap nilai tunjangan perumahan anggota DPRD Kabupaten Banyumas seperti yang tercantum dalam Perbup Banyumas Nomor 9 Tahun 2024 karena dianggap terlalu tinggi.

Ia mengaku tidak bisa serta merta menurunkan nilai tunjangan perumahan tersebut karena harus melalui mekanisme bersama DPRD Kabupaten Banyumas.

"Kalau saya tiba-tiba menurunkan tanpa dasar tentu tidak tepat. Bola sekarang ada di Dewan, nanti kita diskusikan bersama. Yang jelas mekanisme harus ditempuh sesuai aturan," katanya di Purwokerto, Kamis (18/9).

Sadewo mengatakan peraturan bupati tersebut dibuat sebelum dia menjadi Bupati Banyumas, yakni semasa kepemimpinan Penjabat Bupati Hanung Cahyo Saputro.


Baca juga: Bupati Banyumas pastikan tidak ada kenaikan tunjangan DPRD

Pewarta : Sumarwoto
Editor : Edhy Susilo
Copyright © ANTARA 2025