Semarang (ANTARA) - Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Jawa Tengah mengingatkan pemerintah untuk segera menyelesaikan pengangkatan guru sebagai pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) di wilayah tersebut.
"Saat ini, PPPK belum selesai. Di tingkat kabupaten yang sebenarnya sudah selesai atau terpenuhi pada waktu lalu, sudah dihadapkan pada tingkat pensiun yang besar," kata Ketua PGRI Jateng Muhdi di Semarang, Minggu.
Hal tersebut disampaikan Muhdi di sela Konferensi Provinsi (Konprov) PGRI Jateng Masa Bhakti XXIII Tahun 2024 yang berlangsung di Balairung Universitas PGRI Semarang (Upgris).
Bagi daerah yang pengangkatan aparatur sipil negara (ASN) guru melalui PPPK belum selesai, kata dia, semestinya segera dipenuhi, seperti Provinsi Jateng yang masih banyak guru P1.
Guru P1 merupakan peserta yang telah mengikuti seleksi PPPK guru dan telah memenuhi nilai ambang batas, tapi belum memperoleh formasi.
"Di kabupaten/kota terus memanfaatkan momentum ini agar jangan sampai terjadi seperti di Jakarta, ada 'cleansing' (pembersihan atau pemberhentian guru honorer, red.)," kata mantan Rektor Upgris itu.
Menurut dia, situasi sama seperti di Jakarta bisa dialami daerah yang lain jika tidak ada pembenahan kebijakan proses pengangkatan guru, salah satunya dengan penyelesaian PPPK.
"Karena itu bisa terjadi nanti. Karena akhirnya kalau tidak ada guru maka sekolah akan mengangkat juga akhirnya. Kalau itu dilarang pada waktunya akan jadi masalah. Makanya, PPPK sebenarnya salah satu jalan terbaik," katanya.
Namun, diakuinya bahwa PPPK sebenarnya juga memiliki problem tersendiri, salah satunya masa kontrak yang selama ini dikeluhkan terlalu pendek. Rata-rata guru PPPK dikontrak dengan durasi lima tahun.
"Kami berharap sudah lah mereka (guru PPPK, red.) dikontrak sampai 60 tahun. Kami sadar kalau memang ada pelanggaran, mereka pasti diberikan sanksi dan itu sah-sah saja," katanya.
Muhdi menambahkan bahwa sebenarnya data guru yang akan pensiun sudah ada dan diketahui sehingga langkah pengisian kekosongan sudah bisa dilakukan jauh-jauh hari.
"Tidak mengulang lagi, penerimaan (ketika, red.) ada yang kosong. Nanti terus rutin, ya, setiap tahun kosong itu baru diisi. Mestinya, yang tahun depan kosong kan ketahuan, misalnya pensiun. Maka, mesti tahun ini (guru penggantinya, red.) masuk," katanya.
Jika tidak dilakukan pengelolaan seperti itu, kata dia, maka persoalan lama akan terulang kembali, yakni membeludaknya guru honorer yang sedemikian banyak.
"Kalau tidak dilakukan, di-'manage' seperti itu maka nanti akan terjadi yang sudah, jumlah guru honorer banyak. Mereka harus diterima, padahal disadari seleksinya tidak begitu bagus. Tapi, mereka kan sudah mengabdi," katanya.
Persoalan kesejahteraan guru, termasuk guru PPPK yang belum selesai itu menjadi salah satu bahasan dalam Konprov PGRI Jateng Masa Bhakti XXIII Tahun 2024.
Pada Konprov PGRI tersebut, Muhdi terpilih kembali sebagai Ketua PGRI Jateng secara aklamasi untuk periode lima tahun ke depan.
"Saat ini, PPPK belum selesai. Di tingkat kabupaten yang sebenarnya sudah selesai atau terpenuhi pada waktu lalu, sudah dihadapkan pada tingkat pensiun yang besar," kata Ketua PGRI Jateng Muhdi di Semarang, Minggu.
Hal tersebut disampaikan Muhdi di sela Konferensi Provinsi (Konprov) PGRI Jateng Masa Bhakti XXIII Tahun 2024 yang berlangsung di Balairung Universitas PGRI Semarang (Upgris).
Bagi daerah yang pengangkatan aparatur sipil negara (ASN) guru melalui PPPK belum selesai, kata dia, semestinya segera dipenuhi, seperti Provinsi Jateng yang masih banyak guru P1.
Guru P1 merupakan peserta yang telah mengikuti seleksi PPPK guru dan telah memenuhi nilai ambang batas, tapi belum memperoleh formasi.
"Di kabupaten/kota terus memanfaatkan momentum ini agar jangan sampai terjadi seperti di Jakarta, ada 'cleansing' (pembersihan atau pemberhentian guru honorer, red.)," kata mantan Rektor Upgris itu.
Menurut dia, situasi sama seperti di Jakarta bisa dialami daerah yang lain jika tidak ada pembenahan kebijakan proses pengangkatan guru, salah satunya dengan penyelesaian PPPK.
"Karena itu bisa terjadi nanti. Karena akhirnya kalau tidak ada guru maka sekolah akan mengangkat juga akhirnya. Kalau itu dilarang pada waktunya akan jadi masalah. Makanya, PPPK sebenarnya salah satu jalan terbaik," katanya.
Namun, diakuinya bahwa PPPK sebenarnya juga memiliki problem tersendiri, salah satunya masa kontrak yang selama ini dikeluhkan terlalu pendek. Rata-rata guru PPPK dikontrak dengan durasi lima tahun.
"Kami berharap sudah lah mereka (guru PPPK, red.) dikontrak sampai 60 tahun. Kami sadar kalau memang ada pelanggaran, mereka pasti diberikan sanksi dan itu sah-sah saja," katanya.
Muhdi menambahkan bahwa sebenarnya data guru yang akan pensiun sudah ada dan diketahui sehingga langkah pengisian kekosongan sudah bisa dilakukan jauh-jauh hari.
"Tidak mengulang lagi, penerimaan (ketika, red.) ada yang kosong. Nanti terus rutin, ya, setiap tahun kosong itu baru diisi. Mestinya, yang tahun depan kosong kan ketahuan, misalnya pensiun. Maka, mesti tahun ini (guru penggantinya, red.) masuk," katanya.
Jika tidak dilakukan pengelolaan seperti itu, kata dia, maka persoalan lama akan terulang kembali, yakni membeludaknya guru honorer yang sedemikian banyak.
"Kalau tidak dilakukan, di-'manage' seperti itu maka nanti akan terjadi yang sudah, jumlah guru honorer banyak. Mereka harus diterima, padahal disadari seleksinya tidak begitu bagus. Tapi, mereka kan sudah mengabdi," katanya.
Persoalan kesejahteraan guru, termasuk guru PPPK yang belum selesai itu menjadi salah satu bahasan dalam Konprov PGRI Jateng Masa Bhakti XXIII Tahun 2024.
Pada Konprov PGRI tersebut, Muhdi terpilih kembali sebagai Ketua PGRI Jateng secara aklamasi untuk periode lima tahun ke depan.