Jakarta (ANTARA) - Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan Jiwa Fidiansjah mengatakan bahwa anak-anak dan pelajar menghadapi peningkatan tekanan psikososial semasa pandemi COVID-19.
Saat menyampaikan keterangan pers melalui telekonferensi di Jakarta, Rabu, ia mengatakan bahwa anak-anak dan pelajar mengalami kebosanan dan peningkatan kekhawatiran selama pandemi, yang memaksa mereka dan orang tua mereka lebih banyak beraktivitas di rumah.
Menurut data Kementerian Kesehatan, selama pandemi 47 persen anak merasa bosan tinggal di rumah, 35 persen khawatir ketinggalan pelajaran, 15 persen merasa tidak aman, 34 persen merasa takut terserang COVID-19, 20 persen merindukan teman-temannya, dan 10 persen khawatir penghasilan orang tua mereka berkurang.
Fidiansjah menjelaskan, anak-anak usia dini bisa terpengaruh kondisi orang tua yang stres menghadapi masalah seperti peningkatan kebutuhan ekonomi dan peningkatan beban.
Sementara itu, anak-anak yang masih harus mengikuti pembelajaran dari jarak jauh menghadapi kendala tambahan saat orang tua yang biasa mendampingi mereka belajar di rumah kembali bekerja dan para pelajar yang sudah kembali belajar di sekolah menghadapi kekhawatiran tertular COVID-19.
Fidiansjah mengemukakan bahwa penerapan sistem pembelajaran jarak jauh juga berpotensi meningkatkan kekerasan fisik dan verbal pada anak-anak.
Orang tua bebannya bertambah karena selain harus menyelesaikan pekerjaan sehari-hari juga harus mendampingi anak-anak belajar dan kondisi yang demikian bisa memicu terjadinya kekerasan fisik atau verbal pada anak.
"Yang tidak kita inginkan suasana pandemi di keluarga menimbulkan kekerasan karena dinamika perubahan yang dialami oleh anak dan orang tua tidak siap dengan perubahan ini," kata Fidiansjah.
Ia menekankan pentingnya orang tua, masyarakat, dan pemerintah memerhatikan kesehatan jiwa anak semasa pandemi.
Kementerian Kesehatan menyediakan layanan dukungan kesehatan jiwa dan psikososial bagi anak dan remaja. Warga bisa mengakses layanan konsultasi kesehatan jiwa gratis melalui telepon dengan menghubungi Call Center di nomor 119 ext 8.
Saat menyampaikan keterangan pers melalui telekonferensi di Jakarta, Rabu, ia mengatakan bahwa anak-anak dan pelajar mengalami kebosanan dan peningkatan kekhawatiran selama pandemi, yang memaksa mereka dan orang tua mereka lebih banyak beraktivitas di rumah.
Menurut data Kementerian Kesehatan, selama pandemi 47 persen anak merasa bosan tinggal di rumah, 35 persen khawatir ketinggalan pelajaran, 15 persen merasa tidak aman, 34 persen merasa takut terserang COVID-19, 20 persen merindukan teman-temannya, dan 10 persen khawatir penghasilan orang tua mereka berkurang.
Fidiansjah menjelaskan, anak-anak usia dini bisa terpengaruh kondisi orang tua yang stres menghadapi masalah seperti peningkatan kebutuhan ekonomi dan peningkatan beban.
Sementara itu, anak-anak yang masih harus mengikuti pembelajaran dari jarak jauh menghadapi kendala tambahan saat orang tua yang biasa mendampingi mereka belajar di rumah kembali bekerja dan para pelajar yang sudah kembali belajar di sekolah menghadapi kekhawatiran tertular COVID-19.
Fidiansjah mengemukakan bahwa penerapan sistem pembelajaran jarak jauh juga berpotensi meningkatkan kekerasan fisik dan verbal pada anak-anak.
Orang tua bebannya bertambah karena selain harus menyelesaikan pekerjaan sehari-hari juga harus mendampingi anak-anak belajar dan kondisi yang demikian bisa memicu terjadinya kekerasan fisik atau verbal pada anak.
"Yang tidak kita inginkan suasana pandemi di keluarga menimbulkan kekerasan karena dinamika perubahan yang dialami oleh anak dan orang tua tidak siap dengan perubahan ini," kata Fidiansjah.
Ia menekankan pentingnya orang tua, masyarakat, dan pemerintah memerhatikan kesehatan jiwa anak semasa pandemi.
Kementerian Kesehatan menyediakan layanan dukungan kesehatan jiwa dan psikososial bagi anak dan remaja. Warga bisa mengakses layanan konsultasi kesehatan jiwa gratis melalui telepon dengan menghubungi Call Center di nomor 119 ext 8.