Magelang (ANTARA) - Dalang muda wayang kontemporer dari Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Sih Agung Prasetyo tetap tinggal di rumah selama pandemi virus corona jenis baru (COVID-19).
Order pementasan menjadi terhenti karena pandemi, ia menyibukkan diri dengan menggarap pekarangan di samping rumahnya di Dusun Sudimoro, Desa Baleagung dengan ditanami hortikultura. Tentu saja sambil momong anak semata wayangnya yang masih balita.
Entah karena disergap bosan karena lama tinggal di rumah atau sedang mengisi asyik saat ronda bersama warga setempat sebagaimana desa-desa lainnya di kawasan dekat Gunung Andong itu, ia membuat rapalan antimaling. Rapalan dari kata rapal, yang artinya mengucap atau membaca yang disiratkan sebagai mantra.
Baca juga: Presiden tegaskan pemerintah tak larang warga ibadah selama pandemi
Isu aksi maling dan kecu memang gencar menimpa warga, terutama berseliweran melalui jejaring media sosial di tengah pandemi virus itu, sehingga mereka ronda.
Ia menciptakan rapal kontemporer antimaling lalu merekam dengan telepon pintarnya suara rapalan itu. Hasil rekaman berdurasi 45 detik itu dikirim ke grup percakapan tertutup medsos.
Kawan-kawannya di kalangan seniman petani Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) yang menyimak rekamanan lalu merespons dengan aneka emotikon dan ungkapan tanda tawa lainnya. Mereka menganggap rapalan antimaling tersaji di grup percakapan itu sebagai gojekan segar sang dalang di tengah pandemi.
"Sring sring sring, cublak cublak suweng cublak e wong andheng-andheng mlaku ngalor ketemu kucing gering. Rasido, mbalik ngidul meneh, tekan kidul ono ing jagat kidul kono, ono macan tutul ditembak mumbul-mumbul. Bali jagat wetan, jagat wetan opo to isine jagat wetan. Ing kono ono manuk gagak, ora sido meneh. Ketemu ono ing jagat kulon. Isine opo to isine jagat kulon, isine jagat kulon ono wong ngobong bata mubyar-mubyar mbenem telo, njogo maling," begitu rapalan itu.
Sing Agung kondang di jagat pedalangan karena pementasan wayang kontemporer berupa dunia serangga yang diciptakan sahabatnya, seniman kawasan Gunung Merapi-Merbabu di Dusun Keron, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang Sujono.
Baca juga: Runtuhkan ego agar pandemi jadi jalan kehidupan normal baru
Terjemahan bebas rapalan itu, kira kira ada sosok dengan tahi lalat berjalan ke utara bertemu kucing gering, ke selatan bertemu macan tutul melanting karena ditembak. Ia ke arah timur bertemu manuk gagak sehingga urung, lalu ke barat bertemu orang-orang membakar batu bata dengan api berkobar-kobar dipakai juga untuk membakar singkong, sambil ronda maling.
Belakangan diketahui bahwa sang dalang sejak lebih tiga bulan terakhir tak keluar rumah karena mata kanannya timbilen (hordeolum) tak kunjung sembuh. Hingga pemeriksaan terakhir oleh dokter, beberapa hari lalu akhirnya pulih. Ketika sudah pulih itulah, ia telah "terjerat" kepatuhan terhadap imbauan pemerintah untuk mencegah penularan COVID-19 dengan tinggal di rumah.
Di sejumlah grup percakapan Whatsapp, rapalan antimaling dalang Sih Agung juga beredar, termasuk di sekelompok warga dusun di kawasan Pantai Selatan Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Penguatan isu ancaman gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat terjadi beberapa waktu terakhir. Publik beranggapan isu itu merebak setelah pemerintah mengumumkan asimiliasi narapidana di berbagai lembaga pemasyarakatan dan ruman tahanan negara karena pandemi COVID-19.
Program asimiliasi sejak pertengahan April lalu semestinya bisa dipahami secara positif untuk mencegah timbulnya klaster napi dalam penularan virus yang menjadi pandemi global tersebut.
Dikhawatirkan terjadi penularan virus karena mereka tinggal bersama-sama dalam tembok jeruji tahanan. Penularan virus tidak jelas datangnya dari mana, kepada siapa, dan menimpa lewat apa, sebelum ada yang terpapar atau menjadi korban.
Namun, stigma terhadap kalangan mereka membuat isu merebak atas ancaman gangguan kamtibmas di berbagai tempat, desa, kota, permukiman, jalanan, dan kompleks perumahan. Bahkan, kabar yang beredar terjadi drop-dropan operasi maling antarwilayah.
Kemanusiaan
Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly telah menjelaskan --termasuk melalui tayangan televisi-- soal program asimilasi bagi napi dengan berbagai pertimbangan, ketentuan, dan persyaratan, yang terutama untuk melindungi kepentingan kemanusiaan karena pandemi virus.
Data Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia hingga Minggu (10/5) tercatat 39.273 napi menjalani asimilasi, sedangkan pihak Polri menangani 106 napi asimilasi yang berulah, melakukan tindak pidana kembali.
Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Kombes Pol Ahmad Ramadhan menyebut kasus napi asimilasi berulah lagi waktu itu tersebar di 19 polda, di mana yang terbesar di Jawa Tengah dan Sumatera Utara masing-masing 13 napi, serta Jawa Barat 11 napi.
Sejumlah wujud kejahatan mereka, antara lain kekerasan, pencurian, penganiayaan, penyalahgunaan narkoba, dan pencabulan. Mereka yang berulah lagi itu pun harus berhadapan dengan persoalan hukum kembali di tengah pandemi.
Catatan napi berulah tersebut relatif kecil angkanya, 0,27 persen, tetapi kabar tentang kalangan mereka membuat masyarakat kebanyakan dihinggapi resah tidak keruan karena viral di media sosial.
Sejumlah warga Dusun Sudimoro, Desa Baleagung, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang ronda untuk mencegah kejahatan dampak pandemi COVID-19. (ANTARA/HO-Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang)
Ronda pun diselenggarakan. Setiap malam warga berkumpul di pemukiman masing-masing untuk ronda, antisipasi ulah maling sebagaimana kabar diperoleh melalui medsos.
Tentu saja, ronda jadi titik blunder tersendiri warga terkait dengan kebijakan jaga jarak sebagai salah satu cara penting mencegah penularan COVID-19 karena kegiatan itu identik orang berkumpul.
Masyarakat di perumahan kecil di Secang, Kabupaten Magelang memutuskan memasang sejumlah kamera pemantau di sejumlah tempat untuk memantau situasi lingkungan, terutama malam hari, sedangkan ketua rukun tetangga di perumahan lain berkonsultasi dengan para pemuka warga tentang usulan pentingnya ronda.
Kalau toh diselenggarakan ronda, sebaiknya bukan karena takut dan khawatir atas kabar viral maling beraksi di tengah pandemi, tetapi memang karena kesadaran menjaga kambtimas di lingkungan masing-masing. Belum lagi pertimbangan taat jaga jarak tidak boleh kendor.
Di salah satu dusun di kawasan Gunung Andong, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang, bahkan sejak beberapa bulan terakhir warga menghidupkan ronda lagi. Selain berkerumuman sambil menghalau dingin udara kawasan gunung, mereka juga ada yang bersiaga di bubung rumah untuk memantau keadaan kampung dari atas.
"Kalau tiba-tiba ada anjing lewat, kami tidak mau terjebak ke situ. Kami anggap itu pancingan (dari maling, red.) supaya kami terkecoh. Kami waspada," kata seorang warga setempat, Giyanto.
Hingga saat ini pun sebagian besar mereka belum memperoleh hasil, menangkap maling. Tetapi "hantu" gangguan kamtibmas tetap menyergap batin menjadi khawatir bersama yang berkelanjutan.
Khawatir kalau maling sukses menggondol harta warga sehingga mereka harus ronda, sedangkan si maling sendiri mereka nalar sedang menghadapi kesulitan setelah keluar hotel prodeo, tak memiliki penghidupan, butuh makan, lalu berbuat jahat. Kira-kira bayang-bayang demikian menggayut publik.
Nyaris tak mengemuka ke publik kisah sukses maling beraksi, kecuali sudah tertangkap massa dan aparat. Hanya maling konyol berani cerita sukses aksinya, meskipun di media sosial. Begitu pula media massa arus utama, kalau memberitakan sukses tindak jahat mereka, tentu melukai nalar dan nurani publik.
Buku karya Ratih Sarwiyono, "Ki Ageng Suryomentaram, Sang Plato dari Jawa" (2017), mengemukakan tentang jiwa manusia yang diliputi khawatir sebagai ketakutan akan pengalaman yang belum dialami dan sesal sebagai ketakutan terhadap pengalaman masa lampau yang telah dilalui.
Baik sesal maupun khawatir, keduanya membuat manusia bersedih, dilingkupi penderitaan, dan merasa celaka, sebagai bagian dari kelebatan suasana jiwa manusia yang sebentar senang dan sebentar susah.
Kalau sekarang merebak ronda warga untuk mencegah maling, termasuk dalang Sih Agung pun mendapat jatah, semata-mata untuk membuat lingkungan aman dan mereka tidak kemalingan harta benda, termasuk tanaman sayuran di pekarangannya.
Mereka merespons kekhawatiran bersumber dari seliweran kabar napi berulah lagi melalui perangkat digitalnya dengan cara ronda. Ronda bersama untuk mempertahankan kepemilikan, karena harta milik bisa seketika beralih ke tangan maling ketika berhasil mencuri.
"'Andarbeni punika tegesipun kenging sakajeng-kajengipun. Mangka raos ndarbeni punika wonten ing sedaya pihak' (Kepemilikan itu bisa semaunya. Padahal, rasa memiliki ada di semua pihak)," demikian Buku "Kawruh Jiwa, Wejanganipun Ki Ageng Suryomentaram" Jilid III (1991) disusun Grangsang Suryomentaram.
Ihwal menyangkut kepemilikan yang tidak langgeng itu, kalau didekatkan menjadi klaim kedua pihak dalam kepedulian, kemanusiaan, kebersamaan, dan solidaritas, maka boleh dipikirkan saat pandemi ini, menjadi wujud ronda bersama-sama warga dan maling.
Ketuklah nurani napi asimilasi bahwa mereka kembali ke lingkungan masyarakat dan menjadi bagian ronda bersama. Supaya "virus" maling dan khawatir bareng-bareng tak mendapatkan inang.
Alhasil, barisan rapalan sang dalang "ono wong ngobong bata mubyar-mubyar mbenem telo" bukan lagi untuk suguhan peronda maling. Singkong bakarnya dimakan bersama-sama napi asimilasi saja!
Baca juga: Telaah - Seniman Magelang siasati pandemi untuk terus berkarya
Baca juga: Telaah - Kota Magelang dalam catatan wabah ke wabah
Baca juga: Telaah - Tetirah bareng-bareng hadapi COVID-19
Order pementasan menjadi terhenti karena pandemi, ia menyibukkan diri dengan menggarap pekarangan di samping rumahnya di Dusun Sudimoro, Desa Baleagung dengan ditanami hortikultura. Tentu saja sambil momong anak semata wayangnya yang masih balita.
Entah karena disergap bosan karena lama tinggal di rumah atau sedang mengisi asyik saat ronda bersama warga setempat sebagaimana desa-desa lainnya di kawasan dekat Gunung Andong itu, ia membuat rapalan antimaling. Rapalan dari kata rapal, yang artinya mengucap atau membaca yang disiratkan sebagai mantra.
Baca juga: Presiden tegaskan pemerintah tak larang warga ibadah selama pandemi
Isu aksi maling dan kecu memang gencar menimpa warga, terutama berseliweran melalui jejaring media sosial di tengah pandemi virus itu, sehingga mereka ronda.
Ia menciptakan rapal kontemporer antimaling lalu merekam dengan telepon pintarnya suara rapalan itu. Hasil rekaman berdurasi 45 detik itu dikirim ke grup percakapan tertutup medsos.
Kawan-kawannya di kalangan seniman petani Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) yang menyimak rekamanan lalu merespons dengan aneka emotikon dan ungkapan tanda tawa lainnya. Mereka menganggap rapalan antimaling tersaji di grup percakapan itu sebagai gojekan segar sang dalang di tengah pandemi.
"Sring sring sring, cublak cublak suweng cublak e wong andheng-andheng mlaku ngalor ketemu kucing gering. Rasido, mbalik ngidul meneh, tekan kidul ono ing jagat kidul kono, ono macan tutul ditembak mumbul-mumbul. Bali jagat wetan, jagat wetan opo to isine jagat wetan. Ing kono ono manuk gagak, ora sido meneh. Ketemu ono ing jagat kulon. Isine opo to isine jagat kulon, isine jagat kulon ono wong ngobong bata mubyar-mubyar mbenem telo, njogo maling," begitu rapalan itu.
Sing Agung kondang di jagat pedalangan karena pementasan wayang kontemporer berupa dunia serangga yang diciptakan sahabatnya, seniman kawasan Gunung Merapi-Merbabu di Dusun Keron, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang Sujono.
Baca juga: Runtuhkan ego agar pandemi jadi jalan kehidupan normal baru
Terjemahan bebas rapalan itu, kira kira ada sosok dengan tahi lalat berjalan ke utara bertemu kucing gering, ke selatan bertemu macan tutul melanting karena ditembak. Ia ke arah timur bertemu manuk gagak sehingga urung, lalu ke barat bertemu orang-orang membakar batu bata dengan api berkobar-kobar dipakai juga untuk membakar singkong, sambil ronda maling.
Belakangan diketahui bahwa sang dalang sejak lebih tiga bulan terakhir tak keluar rumah karena mata kanannya timbilen (hordeolum) tak kunjung sembuh. Hingga pemeriksaan terakhir oleh dokter, beberapa hari lalu akhirnya pulih. Ketika sudah pulih itulah, ia telah "terjerat" kepatuhan terhadap imbauan pemerintah untuk mencegah penularan COVID-19 dengan tinggal di rumah.
Di sejumlah grup percakapan Whatsapp, rapalan antimaling dalang Sih Agung juga beredar, termasuk di sekelompok warga dusun di kawasan Pantai Selatan Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Penguatan isu ancaman gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat terjadi beberapa waktu terakhir. Publik beranggapan isu itu merebak setelah pemerintah mengumumkan asimiliasi narapidana di berbagai lembaga pemasyarakatan dan ruman tahanan negara karena pandemi COVID-19.
Program asimiliasi sejak pertengahan April lalu semestinya bisa dipahami secara positif untuk mencegah timbulnya klaster napi dalam penularan virus yang menjadi pandemi global tersebut.
Dikhawatirkan terjadi penularan virus karena mereka tinggal bersama-sama dalam tembok jeruji tahanan. Penularan virus tidak jelas datangnya dari mana, kepada siapa, dan menimpa lewat apa, sebelum ada yang terpapar atau menjadi korban.
Namun, stigma terhadap kalangan mereka membuat isu merebak atas ancaman gangguan kamtibmas di berbagai tempat, desa, kota, permukiman, jalanan, dan kompleks perumahan. Bahkan, kabar yang beredar terjadi drop-dropan operasi maling antarwilayah.
Kemanusiaan
Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly telah menjelaskan --termasuk melalui tayangan televisi-- soal program asimilasi bagi napi dengan berbagai pertimbangan, ketentuan, dan persyaratan, yang terutama untuk melindungi kepentingan kemanusiaan karena pandemi virus.
Data Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia hingga Minggu (10/5) tercatat 39.273 napi menjalani asimilasi, sedangkan pihak Polri menangani 106 napi asimilasi yang berulah, melakukan tindak pidana kembali.
Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Kombes Pol Ahmad Ramadhan menyebut kasus napi asimilasi berulah lagi waktu itu tersebar di 19 polda, di mana yang terbesar di Jawa Tengah dan Sumatera Utara masing-masing 13 napi, serta Jawa Barat 11 napi.
Sejumlah wujud kejahatan mereka, antara lain kekerasan, pencurian, penganiayaan, penyalahgunaan narkoba, dan pencabulan. Mereka yang berulah lagi itu pun harus berhadapan dengan persoalan hukum kembali di tengah pandemi.
Catatan napi berulah tersebut relatif kecil angkanya, 0,27 persen, tetapi kabar tentang kalangan mereka membuat masyarakat kebanyakan dihinggapi resah tidak keruan karena viral di media sosial.
Ronda pun diselenggarakan. Setiap malam warga berkumpul di pemukiman masing-masing untuk ronda, antisipasi ulah maling sebagaimana kabar diperoleh melalui medsos.
Tentu saja, ronda jadi titik blunder tersendiri warga terkait dengan kebijakan jaga jarak sebagai salah satu cara penting mencegah penularan COVID-19 karena kegiatan itu identik orang berkumpul.
Masyarakat di perumahan kecil di Secang, Kabupaten Magelang memutuskan memasang sejumlah kamera pemantau di sejumlah tempat untuk memantau situasi lingkungan, terutama malam hari, sedangkan ketua rukun tetangga di perumahan lain berkonsultasi dengan para pemuka warga tentang usulan pentingnya ronda.
Kalau toh diselenggarakan ronda, sebaiknya bukan karena takut dan khawatir atas kabar viral maling beraksi di tengah pandemi, tetapi memang karena kesadaran menjaga kambtimas di lingkungan masing-masing. Belum lagi pertimbangan taat jaga jarak tidak boleh kendor.
Di salah satu dusun di kawasan Gunung Andong, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang, bahkan sejak beberapa bulan terakhir warga menghidupkan ronda lagi. Selain berkerumuman sambil menghalau dingin udara kawasan gunung, mereka juga ada yang bersiaga di bubung rumah untuk memantau keadaan kampung dari atas.
"Kalau tiba-tiba ada anjing lewat, kami tidak mau terjebak ke situ. Kami anggap itu pancingan (dari maling, red.) supaya kami terkecoh. Kami waspada," kata seorang warga setempat, Giyanto.
Hingga saat ini pun sebagian besar mereka belum memperoleh hasil, menangkap maling. Tetapi "hantu" gangguan kamtibmas tetap menyergap batin menjadi khawatir bersama yang berkelanjutan.
Khawatir kalau maling sukses menggondol harta warga sehingga mereka harus ronda, sedangkan si maling sendiri mereka nalar sedang menghadapi kesulitan setelah keluar hotel prodeo, tak memiliki penghidupan, butuh makan, lalu berbuat jahat. Kira-kira bayang-bayang demikian menggayut publik.
Nyaris tak mengemuka ke publik kisah sukses maling beraksi, kecuali sudah tertangkap massa dan aparat. Hanya maling konyol berani cerita sukses aksinya, meskipun di media sosial. Begitu pula media massa arus utama, kalau memberitakan sukses tindak jahat mereka, tentu melukai nalar dan nurani publik.
Buku karya Ratih Sarwiyono, "Ki Ageng Suryomentaram, Sang Plato dari Jawa" (2017), mengemukakan tentang jiwa manusia yang diliputi khawatir sebagai ketakutan akan pengalaman yang belum dialami dan sesal sebagai ketakutan terhadap pengalaman masa lampau yang telah dilalui.
Baik sesal maupun khawatir, keduanya membuat manusia bersedih, dilingkupi penderitaan, dan merasa celaka, sebagai bagian dari kelebatan suasana jiwa manusia yang sebentar senang dan sebentar susah.
Kalau sekarang merebak ronda warga untuk mencegah maling, termasuk dalang Sih Agung pun mendapat jatah, semata-mata untuk membuat lingkungan aman dan mereka tidak kemalingan harta benda, termasuk tanaman sayuran di pekarangannya.
Mereka merespons kekhawatiran bersumber dari seliweran kabar napi berulah lagi melalui perangkat digitalnya dengan cara ronda. Ronda bersama untuk mempertahankan kepemilikan, karena harta milik bisa seketika beralih ke tangan maling ketika berhasil mencuri.
"'Andarbeni punika tegesipun kenging sakajeng-kajengipun. Mangka raos ndarbeni punika wonten ing sedaya pihak' (Kepemilikan itu bisa semaunya. Padahal, rasa memiliki ada di semua pihak)," demikian Buku "Kawruh Jiwa, Wejanganipun Ki Ageng Suryomentaram" Jilid III (1991) disusun Grangsang Suryomentaram.
Ihwal menyangkut kepemilikan yang tidak langgeng itu, kalau didekatkan menjadi klaim kedua pihak dalam kepedulian, kemanusiaan, kebersamaan, dan solidaritas, maka boleh dipikirkan saat pandemi ini, menjadi wujud ronda bersama-sama warga dan maling.
Ketuklah nurani napi asimilasi bahwa mereka kembali ke lingkungan masyarakat dan menjadi bagian ronda bersama. Supaya "virus" maling dan khawatir bareng-bareng tak mendapatkan inang.
Alhasil, barisan rapalan sang dalang "ono wong ngobong bata mubyar-mubyar mbenem telo" bukan lagi untuk suguhan peronda maling. Singkong bakarnya dimakan bersama-sama napi asimilasi saja!
Baca juga: Telaah - Seniman Magelang siasati pandemi untuk terus berkarya
Baca juga: Telaah - Kota Magelang dalam catatan wabah ke wabah
Baca juga: Telaah - Tetirah bareng-bareng hadapi COVID-19