Magelang (ANTARA) - Setiap kali musim kemarau, debit sumber air untuk Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Magelang berpotensi mengalami penurunan hingga 30 persen, meski dipastikan hal itu masih mencukupi kebutuhan warganya.
Direktur PDAM Kota Magelang Muh. Haryo Nugroho mengatakan sumber air yang berpotensi mengalami penurunan debit itu di Kalegen, Desa Kebonagung, Kecamatan Bandongan dan Wulung di Desa Banjarsari, Kecamatan Kaliangkrik.
Kedua sumber air untuk pasokan Kota Magelang yang berada di wilayah Kabupaten Magelang itu, memiliki debit 100 liter per detik, berpotensi turun menjadi sekitar 70 liter per detik ketika kemarau.
Akan tetapi, sumber air Kanoman di Sudimoro, Desa Sidomulyo, Kecamatan Candimulyo (Kabupaten Magelang) dan Tuk Pecah di Wates (Kota Magelang) yang juga untuk memasok ke kota itu, dinyatakan masih menyimpan sumber air cukup.
Permasalahan potensi penurunan debit air ini bisa saja mengganggu pelayanan kepada pelanggan jika tidak ada pengelolaan yang memadai, karena air menjadi kebutuhan vital setiap manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Bahkan, adakala dilakukan penyaluran air bersih melalui truk tangki sebagai langkah pengelola dalam melayani secara optimal kepada pelanggan, sebagaimana saat terjadi tanda-tanda krisis air bersih, seperti musim kemarau.
Permasalahan air minum juga pernah terjadi pada waktu Clash II (1949). Djawatan Air Minum (DAM) mengalami kerusakaan instalasi pipa pembawa (hoofdaanvoerleiding) di jembatan Kali Progo.
Akibatnya, selama beberapa bulan, wilayah Kota Magelang tidak mendapatkan suplai air. Kerusakan tersebut oleh pemerintah pendudukan Belanda kemudian diperbaiki.
Dengan mengalirnya kembali air minum, maka dimulai penyusunan administrasi baru terkait dengan pengelolaan air bersih. Hal ini mengalami banyak kesulitan mengingat berkas-berkas dan arsip telah dibumihanguskan.
Setelah berhasil dilakukan pembenahan, mulai 1952 pelayanan DAM dapat berjalan lancar.
Tak hanya itu, dikarenakan makin meningkatnya jumlah penduduk di Kota Magelang, suplai air minum menjadi terbatas, belum sesuai dengan kebutuhan.
Apalagi, kalau hanya berasal dari sumber air di Kalegen dan Wulung yang debitnya 65 liter per detik, hal ini tentunya jauh dari porsi mencukupi kebutuhan pelanggan.
Dampaknya, distribusi penyaluran air tidak merata di seluruh kota. Bahkan, ada wilayah yang airnya mengalir selama beberapa jam saja.
Pada 1952, diadakan perubahan instalasi pipa pembawa air di Bandongan sehingga kapasitas air hingga Kota Magelang meningkat menjadi 67 liter per detik.
Meski sudah ada tambahan debit air, ternyata hal tersebut belum juga mencukupi kebutuhan pelanggan.
Guna memenuhi kebutuhan air maka direncanakan peningkatan debit air di kedua sumber tersebut menjadi 100 liter per detik.
Terkait dengan rencana penambahan debit air yang mencapai 33 liter per detik ini, DPRD Kota Magelang memutuskan untuk meminjam kepada pemerintah pusat dana Rp5.000.000 dengan bunga tiga persen per tahun. Tetapi, pengajuan ini belum disetujui.
Baca juga: Tingkatkan layanan air bersih, PDAM Kota Magelang didukung Amerika-Swiss
Saat ini, untuk mengantisipasi jika ada kekurangan suplai air di pelanggan, PDAM sudah memiliki bak penampung di kawasan Gunung Tidar yang berkapasitas 1.000 meter kubik.
Meski demikian, PDAM berencana menambah bak penampung di lereng gunung di tengah Kota Magelang yang berjuluk "Pakuning Tanah Jawa" itu, dengan kapasitas mencapai 2.000 meter kubik.
Tujuan pembuatan bak itu untuk menampung air sebelum disalurkan kepada pelanggan.
Bak utama penampung air bersih milik PDAM Kota Magelang adalah "Watertoren" atau Menara Air Minum yang terletak di alun-alun di pusat kota setempat itu.
Menara yang terlihat megah dengan tinggi hampir 25 meter ini mulai beroperasi melayani air bersih kepada masyarakat pada 2 Mei 1920. Daya tampung airnya mencapai 1.750.000 liter.
Awalnya, suplai air "Watertoren" berasal dari dua sumber air, yakni Kalegen dan Wulung.
Lokasi kedua sumber air ini lebih tinggi daripada "Watertoren" sehingga sistem pengaliran airnya menggunakan gaya gravitasi, sedangkan pasokan air dari sumbernya ditampung di bagian atas Menara Air Minum tersebut.
Oleh karena makin banyak pelanggan, pada masa berikutnya suplai air ditambah dari Tuk Mas di Dakawu, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang.
Dari "Watertoren" inilah, air dialirkan kepada para pelanggan dengan pipa-pipa distribusi. Ada tujuh pipa induk sebagai saluran distribusi, yakni di Jalan Diponegoro (1.685 meter), Jalan Bandongan (4.000 meter), Jalan Alun-Alun Utara (140 meter), Jalan Alun-Alun Selatan (110 meter), Jalan Tentara Pelajar (860 meter), Jalan Pemuda (1.065 meter), dan Jalan Gatot Subroto (760 meter).
Djawatan Air Minum (DAM) adalah perusahaan yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah Kota Magelang semenjak sebelum perang dan satu-satunya sumber keuangan daerah yang terbesar, kala itu.
Perusahaan air minum ini, semenjak perang hingga pertengahan 1952 menjadi bagian dari Dinas Pekerjaan Umum dan setelah itu menjadi instansi tersendiri.
Pada zaman Belanda, namanya Gemeentelijke Drinkwaterleiding Magelang. Kini, DAM telah berubah menjadi PDAM Kota Magelang.
Anak-anak sekolah berolahraga di Alun-Alun Kota Magelang dengan latar belakang "Watertoren", Selasa (10/9/2019). (ANTARA/HO/Bagus Priyana)
Pelanggan air bersih di Kota Magelang semakin bertambah diikuti peningkatan kebutuhan, khususnya untuk berbagai urusan rumah tangga.
Peningkatan jumlah pelanggan air bersih, antara lain direspons juga dengan penambahan pemasangan instalasi perpipaan kepada masyarakat pelanggan.
Pada 1950 tercatat sekitar 3.400 pelanggan, pada 1951 berjumlah 4.498 pelanggan, pada 1952 tercatat 4.829 pelanggan, pada 1953 ada 5.094 pelanggan, pada 1954 ada 5.303 pelanggan, dan pada 1955 ada 5.491 pelanggan.
Bandingkan dengan jumlah pelanggan PDAM Kota Magelang pada 2019 yang mencapai 31.533 pelanggan yang terdiri atas 27.350 pelanggan di Kota Magelang dan 4.183 pelanggan di wilayah Kabupaten Magelang (Bandongan, Secang, Mertoyudan, dan sejumlah kecamatan lainnya).
Bahkan, pada awal pelayanan air Kota Magelang melalui "Watertoren" sekitar 1920-an, saat jumlah penduduk masih sekitar 30.000-an orang, jumlah pelanggan diperkirakan mencapai 3.000 orang. Pada 1968, jumlah pelanggan lebih dari 6.000 orang.
Beberapa upaya dilakukan oleh DAM agar mampu meningkatkan kualitas dan kuantitas layanan.
Semenjak 1 Januari 1950 sampai dengan 31 Agustus 1953, pemungutan tagihan rekening air minum didasarkan pada tarif sebelum perang. Hal ini tidak seimbang dengan harga barang dan upah, sehingga DAM mengalami kerugian.
Untuk mengurangi kerugian, mulai 1 September 1953 berlaku tarif baru dengan rata-rata naik tiga kali lipat dari tarif sebelum perang.
Pada 1952, DAM mengalami kerugian Rp129.530,78, sedangkan pada tahun berikutnya mengalami keuntungan Rp5.488,48, keuntungan pada 1954 mencapai Rp328.988,06, dan keuntungan pada 1955 tercatat Rp350.639.
Pada era Wali Kota Magelang Mochammad Soebroto (1966-1979) dilakukan pengendalian pemakaian air. Tujuannya, agar bisa melayani pelanggan lebih luas dan merata.
Caranya, dengan menaikkan tarif air kepada pelanggan. Hal ini memaksa para pelanggan dengan kesadaran sendiri membatasi pemakaian air. Jika terjadi pemborosan, pelanggan akan dikenakan biaya yang tinggi. Dengan demikian, penghematan air ini akan dapat dinikmati oleh pelanggan baru lainnya.
Baca juga: Wali Kota Minta PDAM Antisipasi Gangguan Layanan Air Bersih
Permasalahan lainnya, adanya sikap para pelanggan yang mementingkan diri sendiri dengan terkadang membiarkan air mengalir tanpa terkendali. Pelanggan lain yang tidak mendapatkan suplai air, terpaksa mengambil air dari pipa-pipa yang letaknya lebih rendah dengan cara menggali tanah. Tentu saja hal ini merugikan DAM.
Selain itu, pada era wali kota tersebut juga mengalami permasalahan air, yakni banyaknya peralatan yang rusak karena sudah berumur tua.
Oleh karena itu, pada 1968-1970 dilakukan perbaikan instalasi, seperti pada pipa induk di atas Kali Progo yang menelan biaya Rp88.107,12, perbaikan pipa di dalam kota dengan biaya Rp208.413, dan heregistrasi langganan Rp40.500.
Pada 1967, mulai diadakan rehabilitasi pada alat-alat saluran air, seperti penggantian stop-keran dan pipa-pipa yang rusak dengan biaya yang didapatkan dari Sumbangan Rehabilitasi Daerah (SRD).
Akan tetapi, usaha ini belum membuahkan hasil yang cukup signifikan. Usaha untuk menambah debit air dengan mengeksplorasi sumber air yang baru mengalami kendala pembiayaan.
Salah satu cara lainnya agar warga bisa mendapatkan layanan air bersih, pada 1968 Pemerintah Kota Magelang melakukan pembuatan sumur-sumur yang dilengkapi dengan pompa air. Pembuatan sumur-sumur ini, antara lain di Bogeman Kidul yang menelan biaya Rp13.265.
Pada era 1980-an, Pemerintah Kota Magelang juga memperbanyak pembuatan sumur pompa di berbagai sudut kampung yang belum memiliki sarana pendukung layanan air bersih. Pompanya bermerek "Dragon", sedangkan cara pemakaiannya diengkol dengan tangan agar air bisa keluar.
Pembuatan sumur pompa juga memperhatikan potensi sumber air bawah tanah.
Baca juga: Windarti: PDAM harus responsif terhadap keluhan masyarakat
PDAM Kota Magelang hingga saat ini terus berusaha untuk melayani pelanggannya sebaik mungkin. Segala upaya dilakukan mengingat air menjadi kebutuhan utama bagi kehidupan sehari-hari manusia.
Capaian PDAM Kota Magelang berupa Perpamsi (Persatuan Air Minum Seluruh Indonesia) Award 2017, salah satu bukti dari upaya pemkot memberikan pelayanan air bersih yang terbaik kepada masyarakat.
Selain itu, PDAM tersebut mendapat dukungan peningkatan pelayanan air bersih kepada masyarakat melalui kerja sama Indonesia, Amerika Serikat, dan Swiss dalam Program Indonesia Urban Water Sanitation and Hygiene-Penyehatan Lingkungan Untuk Semua (IUWASH PLUS) periode 2019-2021.
Pemenuhan kebutuhan air bersih bagi warga bukan hanya menjadi tanggung jawab PDAM akan tetapi juga tanggung jawab semua kalangan masyarakat untuk menggunakan secara tepat dan bijaksana.
Oleh karena air menjadi sumber penting kehidupan sehari-hari, mari hemat air! (hms)
*) Bagus Priyana, Koordinator Komunitas Kota Toea Magelang
Baca juga: PDAM Kota Magelang beri beasiswa putra putri karyawan
Baca juga: PDAM Kota Magelang Tuan Rumah Forga XVI Kedu
Direktur PDAM Kota Magelang Muh. Haryo Nugroho mengatakan sumber air yang berpotensi mengalami penurunan debit itu di Kalegen, Desa Kebonagung, Kecamatan Bandongan dan Wulung di Desa Banjarsari, Kecamatan Kaliangkrik.
Kedua sumber air untuk pasokan Kota Magelang yang berada di wilayah Kabupaten Magelang itu, memiliki debit 100 liter per detik, berpotensi turun menjadi sekitar 70 liter per detik ketika kemarau.
Akan tetapi, sumber air Kanoman di Sudimoro, Desa Sidomulyo, Kecamatan Candimulyo (Kabupaten Magelang) dan Tuk Pecah di Wates (Kota Magelang) yang juga untuk memasok ke kota itu, dinyatakan masih menyimpan sumber air cukup.
Permasalahan potensi penurunan debit air ini bisa saja mengganggu pelayanan kepada pelanggan jika tidak ada pengelolaan yang memadai, karena air menjadi kebutuhan vital setiap manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Bahkan, adakala dilakukan penyaluran air bersih melalui truk tangki sebagai langkah pengelola dalam melayani secara optimal kepada pelanggan, sebagaimana saat terjadi tanda-tanda krisis air bersih, seperti musim kemarau.
Permasalahan air minum juga pernah terjadi pada waktu Clash II (1949). Djawatan Air Minum (DAM) mengalami kerusakaan instalasi pipa pembawa (hoofdaanvoerleiding) di jembatan Kali Progo.
Akibatnya, selama beberapa bulan, wilayah Kota Magelang tidak mendapatkan suplai air. Kerusakan tersebut oleh pemerintah pendudukan Belanda kemudian diperbaiki.
Dengan mengalirnya kembali air minum, maka dimulai penyusunan administrasi baru terkait dengan pengelolaan air bersih. Hal ini mengalami banyak kesulitan mengingat berkas-berkas dan arsip telah dibumihanguskan.
Setelah berhasil dilakukan pembenahan, mulai 1952 pelayanan DAM dapat berjalan lancar.
Tak hanya itu, dikarenakan makin meningkatnya jumlah penduduk di Kota Magelang, suplai air minum menjadi terbatas, belum sesuai dengan kebutuhan.
Apalagi, kalau hanya berasal dari sumber air di Kalegen dan Wulung yang debitnya 65 liter per detik, hal ini tentunya jauh dari porsi mencukupi kebutuhan pelanggan.
Dampaknya, distribusi penyaluran air tidak merata di seluruh kota. Bahkan, ada wilayah yang airnya mengalir selama beberapa jam saja.
Pada 1952, diadakan perubahan instalasi pipa pembawa air di Bandongan sehingga kapasitas air hingga Kota Magelang meningkat menjadi 67 liter per detik.
Meski sudah ada tambahan debit air, ternyata hal tersebut belum juga mencukupi kebutuhan pelanggan.
Guna memenuhi kebutuhan air maka direncanakan peningkatan debit air di kedua sumber tersebut menjadi 100 liter per detik.
Terkait dengan rencana penambahan debit air yang mencapai 33 liter per detik ini, DPRD Kota Magelang memutuskan untuk meminjam kepada pemerintah pusat dana Rp5.000.000 dengan bunga tiga persen per tahun. Tetapi, pengajuan ini belum disetujui.
Baca juga: Tingkatkan layanan air bersih, PDAM Kota Magelang didukung Amerika-Swiss
Saat ini, untuk mengantisipasi jika ada kekurangan suplai air di pelanggan, PDAM sudah memiliki bak penampung di kawasan Gunung Tidar yang berkapasitas 1.000 meter kubik.
Meski demikian, PDAM berencana menambah bak penampung di lereng gunung di tengah Kota Magelang yang berjuluk "Pakuning Tanah Jawa" itu, dengan kapasitas mencapai 2.000 meter kubik.
Tujuan pembuatan bak itu untuk menampung air sebelum disalurkan kepada pelanggan.
Bak utama penampung air bersih milik PDAM Kota Magelang adalah "Watertoren" atau Menara Air Minum yang terletak di alun-alun di pusat kota setempat itu.
Menara yang terlihat megah dengan tinggi hampir 25 meter ini mulai beroperasi melayani air bersih kepada masyarakat pada 2 Mei 1920. Daya tampung airnya mencapai 1.750.000 liter.
Awalnya, suplai air "Watertoren" berasal dari dua sumber air, yakni Kalegen dan Wulung.
Lokasi kedua sumber air ini lebih tinggi daripada "Watertoren" sehingga sistem pengaliran airnya menggunakan gaya gravitasi, sedangkan pasokan air dari sumbernya ditampung di bagian atas Menara Air Minum tersebut.
Oleh karena makin banyak pelanggan, pada masa berikutnya suplai air ditambah dari Tuk Mas di Dakawu, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang.
Dari "Watertoren" inilah, air dialirkan kepada para pelanggan dengan pipa-pipa distribusi. Ada tujuh pipa induk sebagai saluran distribusi, yakni di Jalan Diponegoro (1.685 meter), Jalan Bandongan (4.000 meter), Jalan Alun-Alun Utara (140 meter), Jalan Alun-Alun Selatan (110 meter), Jalan Tentara Pelajar (860 meter), Jalan Pemuda (1.065 meter), dan Jalan Gatot Subroto (760 meter).
Djawatan Air Minum (DAM) adalah perusahaan yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah Kota Magelang semenjak sebelum perang dan satu-satunya sumber keuangan daerah yang terbesar, kala itu.
Perusahaan air minum ini, semenjak perang hingga pertengahan 1952 menjadi bagian dari Dinas Pekerjaan Umum dan setelah itu menjadi instansi tersendiri.
Pada zaman Belanda, namanya Gemeentelijke Drinkwaterleiding Magelang. Kini, DAM telah berubah menjadi PDAM Kota Magelang.
Pelanggan air bersih di Kota Magelang semakin bertambah diikuti peningkatan kebutuhan, khususnya untuk berbagai urusan rumah tangga.
Peningkatan jumlah pelanggan air bersih, antara lain direspons juga dengan penambahan pemasangan instalasi perpipaan kepada masyarakat pelanggan.
Pada 1950 tercatat sekitar 3.400 pelanggan, pada 1951 berjumlah 4.498 pelanggan, pada 1952 tercatat 4.829 pelanggan, pada 1953 ada 5.094 pelanggan, pada 1954 ada 5.303 pelanggan, dan pada 1955 ada 5.491 pelanggan.
Bandingkan dengan jumlah pelanggan PDAM Kota Magelang pada 2019 yang mencapai 31.533 pelanggan yang terdiri atas 27.350 pelanggan di Kota Magelang dan 4.183 pelanggan di wilayah Kabupaten Magelang (Bandongan, Secang, Mertoyudan, dan sejumlah kecamatan lainnya).
Bahkan, pada awal pelayanan air Kota Magelang melalui "Watertoren" sekitar 1920-an, saat jumlah penduduk masih sekitar 30.000-an orang, jumlah pelanggan diperkirakan mencapai 3.000 orang. Pada 1968, jumlah pelanggan lebih dari 6.000 orang.
Beberapa upaya dilakukan oleh DAM agar mampu meningkatkan kualitas dan kuantitas layanan.
Semenjak 1 Januari 1950 sampai dengan 31 Agustus 1953, pemungutan tagihan rekening air minum didasarkan pada tarif sebelum perang. Hal ini tidak seimbang dengan harga barang dan upah, sehingga DAM mengalami kerugian.
Untuk mengurangi kerugian, mulai 1 September 1953 berlaku tarif baru dengan rata-rata naik tiga kali lipat dari tarif sebelum perang.
Pada 1952, DAM mengalami kerugian Rp129.530,78, sedangkan pada tahun berikutnya mengalami keuntungan Rp5.488,48, keuntungan pada 1954 mencapai Rp328.988,06, dan keuntungan pada 1955 tercatat Rp350.639.
Pada era Wali Kota Magelang Mochammad Soebroto (1966-1979) dilakukan pengendalian pemakaian air. Tujuannya, agar bisa melayani pelanggan lebih luas dan merata.
Caranya, dengan menaikkan tarif air kepada pelanggan. Hal ini memaksa para pelanggan dengan kesadaran sendiri membatasi pemakaian air. Jika terjadi pemborosan, pelanggan akan dikenakan biaya yang tinggi. Dengan demikian, penghematan air ini akan dapat dinikmati oleh pelanggan baru lainnya.
Baca juga: Wali Kota Minta PDAM Antisipasi Gangguan Layanan Air Bersih
Permasalahan lainnya, adanya sikap para pelanggan yang mementingkan diri sendiri dengan terkadang membiarkan air mengalir tanpa terkendali. Pelanggan lain yang tidak mendapatkan suplai air, terpaksa mengambil air dari pipa-pipa yang letaknya lebih rendah dengan cara menggali tanah. Tentu saja hal ini merugikan DAM.
Selain itu, pada era wali kota tersebut juga mengalami permasalahan air, yakni banyaknya peralatan yang rusak karena sudah berumur tua.
Oleh karena itu, pada 1968-1970 dilakukan perbaikan instalasi, seperti pada pipa induk di atas Kali Progo yang menelan biaya Rp88.107,12, perbaikan pipa di dalam kota dengan biaya Rp208.413, dan heregistrasi langganan Rp40.500.
Pada 1967, mulai diadakan rehabilitasi pada alat-alat saluran air, seperti penggantian stop-keran dan pipa-pipa yang rusak dengan biaya yang didapatkan dari Sumbangan Rehabilitasi Daerah (SRD).
Akan tetapi, usaha ini belum membuahkan hasil yang cukup signifikan. Usaha untuk menambah debit air dengan mengeksplorasi sumber air yang baru mengalami kendala pembiayaan.
Salah satu cara lainnya agar warga bisa mendapatkan layanan air bersih, pada 1968 Pemerintah Kota Magelang melakukan pembuatan sumur-sumur yang dilengkapi dengan pompa air. Pembuatan sumur-sumur ini, antara lain di Bogeman Kidul yang menelan biaya Rp13.265.
Pada era 1980-an, Pemerintah Kota Magelang juga memperbanyak pembuatan sumur pompa di berbagai sudut kampung yang belum memiliki sarana pendukung layanan air bersih. Pompanya bermerek "Dragon", sedangkan cara pemakaiannya diengkol dengan tangan agar air bisa keluar.
Pembuatan sumur pompa juga memperhatikan potensi sumber air bawah tanah.
Baca juga: Windarti: PDAM harus responsif terhadap keluhan masyarakat
PDAM Kota Magelang hingga saat ini terus berusaha untuk melayani pelanggannya sebaik mungkin. Segala upaya dilakukan mengingat air menjadi kebutuhan utama bagi kehidupan sehari-hari manusia.
Capaian PDAM Kota Magelang berupa Perpamsi (Persatuan Air Minum Seluruh Indonesia) Award 2017, salah satu bukti dari upaya pemkot memberikan pelayanan air bersih yang terbaik kepada masyarakat.
Selain itu, PDAM tersebut mendapat dukungan peningkatan pelayanan air bersih kepada masyarakat melalui kerja sama Indonesia, Amerika Serikat, dan Swiss dalam Program Indonesia Urban Water Sanitation and Hygiene-Penyehatan Lingkungan Untuk Semua (IUWASH PLUS) periode 2019-2021.
Pemenuhan kebutuhan air bersih bagi warga bukan hanya menjadi tanggung jawab PDAM akan tetapi juga tanggung jawab semua kalangan masyarakat untuk menggunakan secara tepat dan bijaksana.
Oleh karena air menjadi sumber penting kehidupan sehari-hari, mari hemat air! (hms)
*) Bagus Priyana, Koordinator Komunitas Kota Toea Magelang
Baca juga: PDAM Kota Magelang beri beasiswa putra putri karyawan
Baca juga: PDAM Kota Magelang Tuan Rumah Forga XVI Kedu