Purwokerto (ANTARA) - Pertemuan presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto di Stasiun MRT Lebakbulus, Jakarta Selatan, menunjukkan bahwa mereka merupakan sosok negarawan yang patut dicontoh, kata Rektor Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) Dr Anjar Nugroho.
"Mereka adalah sosok negarawan yang patut dicontoh, boleh berkompetisi, bahkan bertikai dalam proses pemilu tapi sangat dewasa dalam menerima hasil pemilu. Yang dikedepankan bukan ego masing-masing tapi kepentingan bangsa dan negara," katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Minggu.
Ia mengatakan bangsa Indonesia tidak boleh larut terlalu lama dengan episode pemilu yang telah membelah masyarakat menjadi 01 dan 02, yang masing-masing mengklaim paling saleh dan paling Indonesia, sehingga sematan buruk "kampret" dan "cebong" pun digunakan sehari-sehari untuk mencaci lawan.
Baca juga: Rektor UMP: Koalisi 02 jangan bubar, pemerintah harus diawasi
Menurut dia, episode pemilu telah berakhir sehingga semua sematan buruk itu perlu segera ditanggalkan.
"Saatnya kita menjadi satu kembali, menjadi Indonesia yang ramah dan damai," katanya.
Kendati demikian, Rektor menyarankan kepada Prabowo Subianto dan partai pendukungnya untuk tetap dalam posisi di luar pemerintahan.
Menurut dia, kekuasaan itu memerlukan kelompok penyeimbang agar perjalanannya tidak menyimpang.
"Jika tidak ada kelompok yang efektif bersikap kritis terhadap kekuasaan, potensi menjadi kekuasaan yang absolut menjadi besar. Saya akan tetap respek kepada Pak Prabowo dan partai pendukungnya kalau tidak tergoda dengan mencoba merapat secara politik ke pemenang pemilu," tuturnya.
Baca juga: Rektor UMP: Kabinet harus diisi sosok yang tepat
Ia mengharapkan Prabowo dan partai pendukungnya tetap menghormati para pemilih yang dasar pilihannya adalah karena menginginkan sosok kepemimpinan yang berbeda, sehingga mereka berbeda pilihan dengan para pemilih pemenang pemilu.
Menurut dia, suara mereka jangan dijadikan komoditas untuk tawar-menawar dengan pemenang pilpres untuk mendapatkan posisi tertentu di kekuasaan.
"Sekali lagi jangan khianati suara pemilih yang jumlahnya hampir separuh dari jumlah suara sah pemilu," tegasnya.
Ia mengatakan "kampret" dan "cebong" adalah masa lalu, sehingga sangat bodoh jika masih melontar-lontarkan kata-kata buruk itu kepada lawan politik.
"Mari berdiskusi dan berkomunikasi dengan sehat. Bangsa ini banyak memerlukan pikiran-pikiran cerdas yang solutif, bukan kata-kata cacian antaranak bangsa," ujarnya.
"Mereka adalah sosok negarawan yang patut dicontoh, boleh berkompetisi, bahkan bertikai dalam proses pemilu tapi sangat dewasa dalam menerima hasil pemilu. Yang dikedepankan bukan ego masing-masing tapi kepentingan bangsa dan negara," katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Minggu.
Ia mengatakan bangsa Indonesia tidak boleh larut terlalu lama dengan episode pemilu yang telah membelah masyarakat menjadi 01 dan 02, yang masing-masing mengklaim paling saleh dan paling Indonesia, sehingga sematan buruk "kampret" dan "cebong" pun digunakan sehari-sehari untuk mencaci lawan.
Baca juga: Rektor UMP: Koalisi 02 jangan bubar, pemerintah harus diawasi
Menurut dia, episode pemilu telah berakhir sehingga semua sematan buruk itu perlu segera ditanggalkan.
"Saatnya kita menjadi satu kembali, menjadi Indonesia yang ramah dan damai," katanya.
Kendati demikian, Rektor menyarankan kepada Prabowo Subianto dan partai pendukungnya untuk tetap dalam posisi di luar pemerintahan.
Menurut dia, kekuasaan itu memerlukan kelompok penyeimbang agar perjalanannya tidak menyimpang.
"Jika tidak ada kelompok yang efektif bersikap kritis terhadap kekuasaan, potensi menjadi kekuasaan yang absolut menjadi besar. Saya akan tetap respek kepada Pak Prabowo dan partai pendukungnya kalau tidak tergoda dengan mencoba merapat secara politik ke pemenang pemilu," tuturnya.
Baca juga: Rektor UMP: Kabinet harus diisi sosok yang tepat
Ia mengharapkan Prabowo dan partai pendukungnya tetap menghormati para pemilih yang dasar pilihannya adalah karena menginginkan sosok kepemimpinan yang berbeda, sehingga mereka berbeda pilihan dengan para pemilih pemenang pemilu.
Menurut dia, suara mereka jangan dijadikan komoditas untuk tawar-menawar dengan pemenang pilpres untuk mendapatkan posisi tertentu di kekuasaan.
"Sekali lagi jangan khianati suara pemilih yang jumlahnya hampir separuh dari jumlah suara sah pemilu," tegasnya.
Ia mengatakan "kampret" dan "cebong" adalah masa lalu, sehingga sangat bodoh jika masih melontar-lontarkan kata-kata buruk itu kepada lawan politik.
"Mari berdiskusi dan berkomunikasi dengan sehat. Bangsa ini banyak memerlukan pikiran-pikiran cerdas yang solutif, bukan kata-kata cacian antaranak bangsa," ujarnya.