Semarang (Antaranews Jateng) - Baiq Nuril Maknun (40), asal Mataram, Nusa Tenggara Barat, divonis 6 bulan penjara dan pidana denda sebesar Rp500 juta subsider pidana kurungan selama 3 bulan karena terbukti melanggar Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Sontak publik pun membicarakan putusan majelis hakim di tingkat kasasi itu. Pasalnya, ada dugaan Baiq Nuril (mantan pegawai honorer SMA Negeri 7 Kota Mataram) adalah korban kasus pelecehan seksual. Namun, yang bersangkutan malah dihukum karena melanggar Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Anggota Fraksi PDIP DPR RI Rieke Diah Pitaloka pun angkat bicara. Dia menilai ada yang tidak pas dan melenceng dalam kasus tersebut. Hal ini karena cara pandang mayoritas lebih pada persoalan "legalistik", pelanggaran terhadap UU ITE.
Padahal, yang namanya teori kasualitas, memiliki sebab akibat. Jadi, dalam suatu persoalan tidak bisa hanya mempersoalkan akibatnya. Sementara itu, penyebab persoalan tersebut tidak dipersoalkan, kata Rieke di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Rabu (21/11).
Rieke menegaskan bahwa suatu akibat tidak akan muncul secara tiba-tiba, tanpa ada penyebabnya. Hal ini, menurut pandangannya, tidak menjadi perhatian, termasuk dalam pengambilan keputusan di Mahkamah Agung.
Dalam kasus hukum yang dihadapi Baiq Nuril, persoalan yang seharusnya diproses, bukan bagaimana konten pencabulan itu bisa terviralkan dan siapa pelaku yang memviralkannya, melainkan siapa pelaku pencabulan itu.
Dengan menggunakan perspektif "conditio sine qua non", menurut Rieke, hukum seharusnya memeriksa penyebab persoalan sampai lahirnya akibat orang melakukan penyebaran.
Jika perspektif ini yang digunakan, yang pertama kali harus mendapatkan pemeriksaan hukum sampai sanksinya adalah penyebabnya. Apakah kasus pencabulan itu benar atau tidak? Itu inti persoalannya, bukan persoalan penyebarannya.
Sebelumnya, di sela-sela kunjungan ke Pasar Sidoharjo, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, Senin (19/11), Presiden RI Joko Widodo mengatakan bahwa Baiq Nuril dapat mengajukan grasi kepada dirinya sebagai kepala pemerintahan bila merasa belum mendapat keadilan dari putusan MA.
Presiden sangat mendukung Baiq Nuril mencari keadilan. Akan tetapi, seandainya belum mendapatkan keadilan bisa mengajukan grasi kepada Presiden.
Jokowi mengatakan bahwa Baiq Nuril masih bisa mengajukan peninjauan kembali (PK) terkait dengan Putusan Kasasi Nomor 574 K/PID.SUS/2018. Presiden pun berharap MA bisa memberikan putusan yang seadil-adilnya.
Kronologis Perkara
Kasus ini bermula saat Baiq Nuril bekerja di SMAN 7 Mataram. Ada dugaan perempuan ini kerap mendapatkan perlakuan pelecehan dari Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram Muslim pada tahun 2014.
Berita sebelumnya, ada dugaan Muslim sering menghubunginya dan meminta Nuril mendengarkan pengalamannya berhubungan seksual dengan wanita lain yang bukan istrinya sendiri.
Baiq Nuril yang merasa tidak nyaman dan demi membuktikan tidak terlibat hubungan gelap, dia merekam pembicaraannya. Atas dasar ini kemudian Muslim melaporkannya kepada penegak hukum.
Dalam putusan Pengadilan Negeri (PN) Mataram Nomor 265/Pid.Sus/2017/PN.Mtr, 26 Juli 2017, Baiq Nuril dinyatakan bebas dari dakwaan. Majelis hakim yang diketuai Albertus Usada bersama dua hakim anggota (Ranto Indra Karta dan Ferdinand M. Leander) ketika akan memutuskan perkara tersebut memperhatikan ketentuan pidana Pasal 27 Ayat (1) juncto Pasal 45 Ayat (1) UU No. 11/2008 tentang ITE, dan Pasal 191 Ayat (1) UU No. 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), serta peraturan perundangan-undangan lain.
Majelis hakim menyatakan terdakwa Baiq Nuril Maknun tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan penuntut umum. Hakim lalu membebaskan terdakwa, kemudian memerintahkan terdakwa dibebaskan dari tahanan kota, memulihkan hak-hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, harkat, dan martabatnya.
Atas putusan yang membebaskan terdakwa itu, jaksa penuntut umum I.A.P. Camundi Dewi dari Kejaksaan Negeri Mataram mengajukan permohonan kasasi ke MA pada tanggal 1 Agustus 2017.
Delapan hari kemudian, tepatnya pada tanggal 9 Agustus 2017, termohon (terdakwa) Baiq Nuril menerima pemberitahuan permohonan kasasi. Mahkamah Agung menerima memori kasasi dari pemohon (JPU) pada tanggal 11 Agustus 2017, kemudian pada tanggal 18 September 2017 menerima kontramemori kasasi dari termohon.
Majelis hakim tingkat kasasi terdiri atas Sri Murwahyuni selaku hakim ketua dan dua hakim anggota, masing-masing Maruap Dohmatiga Pasaribu dan H. Eddy Army memutuskan perkara ini pada tanggal 26 September 2018. Namun, pemberitahuan Putusan Kasasi Nomor 574 K/PID.SUS/2018 kepada termohon (terdakwa) pada tanggal 9 November 2018, sedangkan pemohon (JPU) pada tanggal 12 November 2018.
Dalam putusan kasasi tersebut, majelis hakim mengabulkan permohonan kasasi sekaligus membatalkan putusan PN Mataram. Majelis menyatakan bahwa terdakwa Baiq Nuril Maknun terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana "Tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan".
Majelis hakim di tingkat kasasi, sebagaimana dimuat di web Mahkamah Agung RI, menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa selama 6 bulan dan pidana denda sejumlah Rp500 juta dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan. Majelis juga menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
Persyaratan Grasi
Muncul pertanyaan apakah Baiq Nuril memenuhi syarat untuk mengajukan grasi?
Presiden memang memiliki hak untuk memberikan grasi, baik berupa peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang putusannya sudah inkrah (berkekuatan hukum tetap).
Hak itu sudah diatur di dalam Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945. Namun, dalam pemberian grasi ini, perlu pula memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas UU No. 22/2002 tentang Grasi disebutkan bahwa untuk mendapatkan pengampunan yang berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana yang telah dijatuhkan kepada terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan grasi kepada Presiden.
Selanjutnya, grasi dapat diberikan oleh Presiden untuk mendapatkan pengampunan dan/atau untuk menegakkan keadilan hakiki dan penegakan hak asasi manusia terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Grasi yang diberikan kepada terpidana sebagaimana harus mencerminkan keadilan, perlindungan hak asasi manusia, dan kepastian hukum berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945.
Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi adalah pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling rendah 2 tahun.
Begitu pula, ketika akan melakukan upaya hukum luar biasa ke MA, pemohon PK perlu memperhatikan Pasal 263 UU No. 8/1981 tentang KUHAP. Permintaan PK dilakukan, antara lain, atas dasar apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Kendati demikian, putusan majelis hakim di tingkat kasasi harus dihormati. Jika belum memenuhi rasa keadilan, terpidana bisa mengajukan peninjauan kembali, asalkan memenuhi syarat yang termaktub di dalam KUHAP.
Sontak publik pun membicarakan putusan majelis hakim di tingkat kasasi itu. Pasalnya, ada dugaan Baiq Nuril (mantan pegawai honorer SMA Negeri 7 Kota Mataram) adalah korban kasus pelecehan seksual. Namun, yang bersangkutan malah dihukum karena melanggar Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Anggota Fraksi PDIP DPR RI Rieke Diah Pitaloka pun angkat bicara. Dia menilai ada yang tidak pas dan melenceng dalam kasus tersebut. Hal ini karena cara pandang mayoritas lebih pada persoalan "legalistik", pelanggaran terhadap UU ITE.
Padahal, yang namanya teori kasualitas, memiliki sebab akibat. Jadi, dalam suatu persoalan tidak bisa hanya mempersoalkan akibatnya. Sementara itu, penyebab persoalan tersebut tidak dipersoalkan, kata Rieke di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Rabu (21/11).
Rieke menegaskan bahwa suatu akibat tidak akan muncul secara tiba-tiba, tanpa ada penyebabnya. Hal ini, menurut pandangannya, tidak menjadi perhatian, termasuk dalam pengambilan keputusan di Mahkamah Agung.
Dalam kasus hukum yang dihadapi Baiq Nuril, persoalan yang seharusnya diproses, bukan bagaimana konten pencabulan itu bisa terviralkan dan siapa pelaku yang memviralkannya, melainkan siapa pelaku pencabulan itu.
Dengan menggunakan perspektif "conditio sine qua non", menurut Rieke, hukum seharusnya memeriksa penyebab persoalan sampai lahirnya akibat orang melakukan penyebaran.
Jika perspektif ini yang digunakan, yang pertama kali harus mendapatkan pemeriksaan hukum sampai sanksinya adalah penyebabnya. Apakah kasus pencabulan itu benar atau tidak? Itu inti persoalannya, bukan persoalan penyebarannya.
Sebelumnya, di sela-sela kunjungan ke Pasar Sidoharjo, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, Senin (19/11), Presiden RI Joko Widodo mengatakan bahwa Baiq Nuril dapat mengajukan grasi kepada dirinya sebagai kepala pemerintahan bila merasa belum mendapat keadilan dari putusan MA.
Presiden sangat mendukung Baiq Nuril mencari keadilan. Akan tetapi, seandainya belum mendapatkan keadilan bisa mengajukan grasi kepada Presiden.
Jokowi mengatakan bahwa Baiq Nuril masih bisa mengajukan peninjauan kembali (PK) terkait dengan Putusan Kasasi Nomor 574 K/PID.SUS/2018. Presiden pun berharap MA bisa memberikan putusan yang seadil-adilnya.
Kronologis Perkara
Kasus ini bermula saat Baiq Nuril bekerja di SMAN 7 Mataram. Ada dugaan perempuan ini kerap mendapatkan perlakuan pelecehan dari Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram Muslim pada tahun 2014.
Berita sebelumnya, ada dugaan Muslim sering menghubunginya dan meminta Nuril mendengarkan pengalamannya berhubungan seksual dengan wanita lain yang bukan istrinya sendiri.
Baiq Nuril yang merasa tidak nyaman dan demi membuktikan tidak terlibat hubungan gelap, dia merekam pembicaraannya. Atas dasar ini kemudian Muslim melaporkannya kepada penegak hukum.
Dalam putusan Pengadilan Negeri (PN) Mataram Nomor 265/Pid.Sus/2017/PN.Mtr, 26 Juli 2017, Baiq Nuril dinyatakan bebas dari dakwaan. Majelis hakim yang diketuai Albertus Usada bersama dua hakim anggota (Ranto Indra Karta dan Ferdinand M. Leander) ketika akan memutuskan perkara tersebut memperhatikan ketentuan pidana Pasal 27 Ayat (1) juncto Pasal 45 Ayat (1) UU No. 11/2008 tentang ITE, dan Pasal 191 Ayat (1) UU No. 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), serta peraturan perundangan-undangan lain.
Majelis hakim menyatakan terdakwa Baiq Nuril Maknun tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan penuntut umum. Hakim lalu membebaskan terdakwa, kemudian memerintahkan terdakwa dibebaskan dari tahanan kota, memulihkan hak-hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, harkat, dan martabatnya.
Atas putusan yang membebaskan terdakwa itu, jaksa penuntut umum I.A.P. Camundi Dewi dari Kejaksaan Negeri Mataram mengajukan permohonan kasasi ke MA pada tanggal 1 Agustus 2017.
Delapan hari kemudian, tepatnya pada tanggal 9 Agustus 2017, termohon (terdakwa) Baiq Nuril menerima pemberitahuan permohonan kasasi. Mahkamah Agung menerima memori kasasi dari pemohon (JPU) pada tanggal 11 Agustus 2017, kemudian pada tanggal 18 September 2017 menerima kontramemori kasasi dari termohon.
Majelis hakim tingkat kasasi terdiri atas Sri Murwahyuni selaku hakim ketua dan dua hakim anggota, masing-masing Maruap Dohmatiga Pasaribu dan H. Eddy Army memutuskan perkara ini pada tanggal 26 September 2018. Namun, pemberitahuan Putusan Kasasi Nomor 574 K/PID.SUS/2018 kepada termohon (terdakwa) pada tanggal 9 November 2018, sedangkan pemohon (JPU) pada tanggal 12 November 2018.
Dalam putusan kasasi tersebut, majelis hakim mengabulkan permohonan kasasi sekaligus membatalkan putusan PN Mataram. Majelis menyatakan bahwa terdakwa Baiq Nuril Maknun terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana "Tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan".
Majelis hakim di tingkat kasasi, sebagaimana dimuat di web Mahkamah Agung RI, menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa selama 6 bulan dan pidana denda sejumlah Rp500 juta dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan. Majelis juga menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
Persyaratan Grasi
Muncul pertanyaan apakah Baiq Nuril memenuhi syarat untuk mengajukan grasi?
Presiden memang memiliki hak untuk memberikan grasi, baik berupa peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang putusannya sudah inkrah (berkekuatan hukum tetap).
Hak itu sudah diatur di dalam Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945. Namun, dalam pemberian grasi ini, perlu pula memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas UU No. 22/2002 tentang Grasi disebutkan bahwa untuk mendapatkan pengampunan yang berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana yang telah dijatuhkan kepada terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan grasi kepada Presiden.
Selanjutnya, grasi dapat diberikan oleh Presiden untuk mendapatkan pengampunan dan/atau untuk menegakkan keadilan hakiki dan penegakan hak asasi manusia terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Grasi yang diberikan kepada terpidana sebagaimana harus mencerminkan keadilan, perlindungan hak asasi manusia, dan kepastian hukum berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945.
Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi adalah pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling rendah 2 tahun.
Begitu pula, ketika akan melakukan upaya hukum luar biasa ke MA, pemohon PK perlu memperhatikan Pasal 263 UU No. 8/1981 tentang KUHAP. Permintaan PK dilakukan, antara lain, atas dasar apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Kendati demikian, putusan majelis hakim di tingkat kasasi harus dihormati. Jika belum memenuhi rasa keadilan, terpidana bisa mengajukan peninjauan kembali, asalkan memenuhi syarat yang termaktub di dalam KUHAP.