Sebagian besar daerah di Jawa Tengah pada bulan Juli sudah masuk musim kemarau dan diperkirakan puncaknya terjadi pada September dan Oktober 2018, sehingga dibutuhkan kesiapan untuk menghadapinya termasuk oleh para petani.
Tidak hanya permasalahan pasokan air baik itu untuk kebutuhan sehari-hari, pada musim kemarau petani juga dihadapkan pada sulitnya bercocok tanam terutama bagi mereka yang memiliki lahan tadah hujan.
Minimnya ketersediaan air di musim kemarau tersebut, menjadikan petani harus mengubah pola tanam dan memanfaatkan waktu mempersiapkan untuk musim tanam selanjutnya.
Menurut dosen Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Ir. Supartoto, M.Agr.Sc, musim kemarau merupakan waktu yang tepat bagi petani untuk memproses pupuk organik yang bersumber dari kotoran hewan ternak sapi dan kerbau.
Langkah tersebut, menurut Supartoto bagian dari sistem pertanian terpadu yakni yang melibatkan lebih dari satu komoditas seperti pertanian, peternakan, dan perikanan, sehingga ada saling keterkaitan input produksi antarkomoditas yang diusahakan.
Keterkaitan input produksi antarkomoditas tersebut seperti limbah ternak untuk pupuk tanaman dan limbah tanaman untuk pakan ternak, sehingga memiliki nilai lebih.
Bagi petani yang memiliki lahan pertanian yang sempit, sangat tepat memanfaatkan pupuk organik ditambah dengan pengembangan tanaman variatif, maka produksi pertanian akan bisa optimal.
Tidak hanya memberikan hasil yang optimal, tetapi dengan penerapan sistem tersebut juga akan mengurangi risiko gagal panen yang berujung pada meningkatnya sumber pendapatan petani.
Upaya memanfaatkan musim kemarau untuk mempersiapkan musim tanam yang akan datang dan cara cerdas menghadapi musim kemarau tersebut, tentu tidak akan berjalan optimal tanpa peran serta dari pemerintah dan stakeholder terkait.
Keterlibatan pemerintah dan stakeholder terkait sangat diharapkan dalam hal pendampingan dan memberikan fasilitas agar lebih banyak petani yang mendapatkan manfaat dari sistem pertanian terpadu tersebut, sehingga kesejahteraan petani meningkatkan dan mendukung perbaikan ekonomi masyarakat secara keseluruhan.
Tidak hanya permasalahan pasokan air baik itu untuk kebutuhan sehari-hari, pada musim kemarau petani juga dihadapkan pada sulitnya bercocok tanam terutama bagi mereka yang memiliki lahan tadah hujan.
Minimnya ketersediaan air di musim kemarau tersebut, menjadikan petani harus mengubah pola tanam dan memanfaatkan waktu mempersiapkan untuk musim tanam selanjutnya.
Menurut dosen Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Ir. Supartoto, M.Agr.Sc, musim kemarau merupakan waktu yang tepat bagi petani untuk memproses pupuk organik yang bersumber dari kotoran hewan ternak sapi dan kerbau.
Langkah tersebut, menurut Supartoto bagian dari sistem pertanian terpadu yakni yang melibatkan lebih dari satu komoditas seperti pertanian, peternakan, dan perikanan, sehingga ada saling keterkaitan input produksi antarkomoditas yang diusahakan.
Keterkaitan input produksi antarkomoditas tersebut seperti limbah ternak untuk pupuk tanaman dan limbah tanaman untuk pakan ternak, sehingga memiliki nilai lebih.
Bagi petani yang memiliki lahan pertanian yang sempit, sangat tepat memanfaatkan pupuk organik ditambah dengan pengembangan tanaman variatif, maka produksi pertanian akan bisa optimal.
Tidak hanya memberikan hasil yang optimal, tetapi dengan penerapan sistem tersebut juga akan mengurangi risiko gagal panen yang berujung pada meningkatnya sumber pendapatan petani.
Upaya memanfaatkan musim kemarau untuk mempersiapkan musim tanam yang akan datang dan cara cerdas menghadapi musim kemarau tersebut, tentu tidak akan berjalan optimal tanpa peran serta dari pemerintah dan stakeholder terkait.
Keterlibatan pemerintah dan stakeholder terkait sangat diharapkan dalam hal pendampingan dan memberikan fasilitas agar lebih banyak petani yang mendapatkan manfaat dari sistem pertanian terpadu tersebut, sehingga kesejahteraan petani meningkatkan dan mendukung perbaikan ekonomi masyarakat secara keseluruhan.