Jakarta, ANTARA JATENG - Tim peneliti di Centre for Innovation
Policy and Governance melihat pergeseran pola aktivitas para buzzer di
Indonesia ke arah politik sejak beberapa tahun belakangan.
"Tahun
2012, awal keterlibatan buzzer dalam peristiwa politik, Pemilihan
Gubernur Jakarta," kata salah satu peneliti CIPG, Rinaldi Camil, saat
pemaparan di Jakarta, Selasa malam.
Dalam studi
"Dibalik Fenomena Buzzer", mereka mencatat buzzer mulai digunakan oleh
perusahaan untuk kepentingan promosi pada 2009, bertepatan dengan
kehadiran media sosial Twitter di Indonesia.
CIPG
mendefinisikan buzzer sebagai individu atau akun yang memiliki
kemampuan amplifikasi dengan cara menarik perhatian dan atau membangun
percakapan dan bergerak dengan motif tertentu.
Mereka
mencatat ada dua motif yang menggerakkan seseorang atau akun untuk
melakukan aktivitas buzzing, yaitu komersial ditandai dengan imbalan
atas jasa dan sukarela karena ideologi atau rasa puas terhadap suatu
produk atau jasa.
Pegiat media sosial, Enda
Nasution, yang hadir dalam diskusi, namun bukan bagian dari tim penulis,
melihat pada 2009 terjadi ledakan penggunaan media sosial dan
penggunanya bisa lebih cepat mendapatkan informasi.
Contohnya,
kasus Prita Mulyasari dengan Rumah Sakit Omni Internasional
menggerakkan warganet mengumpulkan koin untuk Prita berkat jejaring
sosial.
Bagian pemasaran produk di perusahaan
menyadari kemudahan informasi viral melalui media sosial, namun, saat
itu, belum ada kebijakan di media sosial besar seperti Twitter dan
Facebook untuk iklan.
Tim pemasaran akhirnya memilih figur yang memiliki banyak pengikut di Twitter untuk menyebarkan produk mereka.
"Begitu masuk ke tahun politik, strategi yang sama dipakai untuk memoles persepsi masyarakat," kata Enda.
Tahun
2014, bertepatan dengan Pemilihan Presiden 2014, buzzer meluas ke
aktivitas kampanye di media sosial, hal yang sama juga terjadi pada
Pilkada DKI 2017.