Magelang, ANTARA JATENG - Umat Buddha bersama ratusan biksu menjalani tradisi pindapata di kawasan Pecinan, di sepanjang Jalan Pemuda Kota Magelang, Jawa Tengah, dalam rangkaian perayaan Trisuci Waisak 2017, Rabu pagi.
Para umat berdiri di sepanjang kanan dan kiri jalan utama di Kota Magelang itu, untuk memberikan sedekah, antara lain berupa uang dalam angpao dan amplop, serta makanan kepada para biksu.
Para biksu itu berasal dari beberapa dewan sangha Perwakilan Umat Buddha Indonesia. Mereka berjalan kaki dengan membawa wadah untuk mengumpulkan sedekah dari umat.
Sebelumnya, sekitar 100 biksu tersebut menjalani persembahyangan di dalam Kelenteng Liong Hook Bio yang berada di ujung jalan di kawasan Pecinan Kota Magelang.
Tampak hadir pada kesempatan itu, antara lain Direktur Urusan dan Pendidikan Agama Buddha Kementerian Agama Supriyadi, Ketua Dewan Pimpinan Daerah Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) Jawa Tengah David Hermanjaya, dan Ketua Yayasan Tri Bhakti, pengelola Kelenteng Liong Hok Bio Kota Magelang, Paul Candra Wesi Aji.
Sekitar pukul 08.00 WIB, para biksu dari Sangha Theravada, Mahayana, Tantrayana dan Mahanayikan itu, keluar dari kelenteng dan berjalan menyusuri trotoar Jalan Pemuda untuk melakukan pindapata.
Petugas kepolisian mengalihkan arus lalu lintas kendaraan umum yang hendak melewati kawasan Pecinan ke jalur lain, agar pelaksanaan pindapata aman dan lancar.
Umat Buddha bersama keluarga masing-masing berdiri di depan rumah tokonya untuk memberikan sedekah kepada para biksu yang melewati tempat mereka.
David Hermanjaya mengatakan tradisi pindapata sebagai kebiasaan umat Buddha melepaskan kepentingan duniawi dalam rangka merefleksikan nilai-nilai kebuddhaan yang ada pada setiap manusia.
"Umat Buddha berbagi melalui biksu sebagai tanda bakti dan cinta kasih kepada sesamanya. Umat Buddha diajarkan memberikan kebaikan untuk seluruh manusia dan makhluk," ujarnya.
Supriyadi mengatakan pindapata merupakan praktik umat Buddha untuk memberikan sokongan dan sumbangan kepada biksu. Biksu sebagai wadah syukur umat untuk menanam jasa.
"Oleh karena itu, umat dilatih untuk memberi, melepas. Tidak hanya menerima. Kalau memberi dengan ikhlas dengan tulus maka otomatis buahnya sesuai dengan karma kita. Berbuat baik pasti akan tumbuh kebaikan, berbuat jelek pasti akan berbuah ketidakbaikan," katanya.
Pengelola kelenteng, Paul Candra mengatakan tradisi pindapata bagi umat di kota setempat telah menjadi bagian dari agenda perayaan Waisak setiap tahun yang dipusatkan di Candi Borobudur Kabupaten Magelang.
Tradisi itu, mengadopsi keseharian masyarakat Thailand yang mayoritas pemeluk Buddha, di mana saat mereka bertemu di jalan-jalan dengan para biksu setiap pagi, kemudian memberikan sedekah untuk kepentingan hidup sehari-hari biksu tersebut.
"Dengan memberi sedekah kebajikan seperti kepada biksu, dipercaya akan mendapatkan pahala kebaikan dan keselamatan," katanya.
Puncak Trisuci Waisak 2017 jatuh pada Kamis (11/5) dengan ditandai pradaksina dan meditasi detik-detik Waisak pukul 04.42.09 WIB oleh umat Buddha dan para biksu di pelataran Candi Borobudur yang juga warisan budaya dunia tersebut.
Para umat berdiri di sepanjang kanan dan kiri jalan utama di Kota Magelang itu, untuk memberikan sedekah, antara lain berupa uang dalam angpao dan amplop, serta makanan kepada para biksu.
Para biksu itu berasal dari beberapa dewan sangha Perwakilan Umat Buddha Indonesia. Mereka berjalan kaki dengan membawa wadah untuk mengumpulkan sedekah dari umat.
Sebelumnya, sekitar 100 biksu tersebut menjalani persembahyangan di dalam Kelenteng Liong Hook Bio yang berada di ujung jalan di kawasan Pecinan Kota Magelang.
Tampak hadir pada kesempatan itu, antara lain Direktur Urusan dan Pendidikan Agama Buddha Kementerian Agama Supriyadi, Ketua Dewan Pimpinan Daerah Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) Jawa Tengah David Hermanjaya, dan Ketua Yayasan Tri Bhakti, pengelola Kelenteng Liong Hok Bio Kota Magelang, Paul Candra Wesi Aji.
Sekitar pukul 08.00 WIB, para biksu dari Sangha Theravada, Mahayana, Tantrayana dan Mahanayikan itu, keluar dari kelenteng dan berjalan menyusuri trotoar Jalan Pemuda untuk melakukan pindapata.
Petugas kepolisian mengalihkan arus lalu lintas kendaraan umum yang hendak melewati kawasan Pecinan ke jalur lain, agar pelaksanaan pindapata aman dan lancar.
Umat Buddha bersama keluarga masing-masing berdiri di depan rumah tokonya untuk memberikan sedekah kepada para biksu yang melewati tempat mereka.
David Hermanjaya mengatakan tradisi pindapata sebagai kebiasaan umat Buddha melepaskan kepentingan duniawi dalam rangka merefleksikan nilai-nilai kebuddhaan yang ada pada setiap manusia.
"Umat Buddha berbagi melalui biksu sebagai tanda bakti dan cinta kasih kepada sesamanya. Umat Buddha diajarkan memberikan kebaikan untuk seluruh manusia dan makhluk," ujarnya.
Supriyadi mengatakan pindapata merupakan praktik umat Buddha untuk memberikan sokongan dan sumbangan kepada biksu. Biksu sebagai wadah syukur umat untuk menanam jasa.
"Oleh karena itu, umat dilatih untuk memberi, melepas. Tidak hanya menerima. Kalau memberi dengan ikhlas dengan tulus maka otomatis buahnya sesuai dengan karma kita. Berbuat baik pasti akan tumbuh kebaikan, berbuat jelek pasti akan berbuah ketidakbaikan," katanya.
Pengelola kelenteng, Paul Candra mengatakan tradisi pindapata bagi umat di kota setempat telah menjadi bagian dari agenda perayaan Waisak setiap tahun yang dipusatkan di Candi Borobudur Kabupaten Magelang.
Tradisi itu, mengadopsi keseharian masyarakat Thailand yang mayoritas pemeluk Buddha, di mana saat mereka bertemu di jalan-jalan dengan para biksu setiap pagi, kemudian memberikan sedekah untuk kepentingan hidup sehari-hari biksu tersebut.
"Dengan memberi sedekah kebajikan seperti kepada biksu, dipercaya akan mendapatkan pahala kebaikan dan keselamatan," katanya.
Puncak Trisuci Waisak 2017 jatuh pada Kamis (11/5) dengan ditandai pradaksina dan meditasi detik-detik Waisak pukul 04.42.09 WIB oleh umat Buddha dan para biksu di pelataran Candi Borobudur yang juga warisan budaya dunia tersebut.