Konflik horisontal yang melibatkan massa antarkelompok atau organisasi kemasyarakatan (ormas) belakangan ini kian sering terjadi. Terakhir adalah perseteruan antara massa dari GP Anshor dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Makassar, Minggu (16/4/2017). Sebelumnya, Kamis (13/4) malam, ribuan orang dari beragam ormas mengepung lokasi peresmian DPW Front Pembela Islam di Kota Semarang. Mereka menolak kehadiran FPI.
Kendati dua peristiwa tersebut tidak sampai menimbulkan korban jiwa, sudah selayaknya cara-cara penyelesaian perbedaan politik, juga agama, dengan memobilisasi massa seperti itu, dihentikan. Hal ini berpotensi memicu konflik horisontal yang semakin meluas. Dalam kondisi apa pun, setiap ormas wajib membuka ruang komunikasi dan dialog, yang merupakan ruh demokrasi.
Cara pandang dalam menyikapi perbedaan seperti dikemukakan pemikir Islam Prof. Mukti Ali yang juga mantan Menteri Agama di era Orde Baru, masih relevan untuk dijadikan pijakan hingga hari ini. "Sepakat dalam ketidaksepakatan"
Sikap tersebut dibutuhkan untuk menghindari cara-cara menyelesaikan perbedaan dengan pendekatan represif yang dilakukan oleh kelompok yang memiliki cara pandang berbeda dalam menyikapi persoalan berbagai dimensi kehidupan, terutama politik dan agama yang belakangan ini cenderung semakin kaku dan menafikan "kebenaran" atas kelompok lain.
Kita mengapresiasi ormas atau kelompok-kelompok yang menegaskan komitmennya untuk menjaga Kesatuan Negara Republik Indonesia (NKRI). Memang seharusnya demikian. Dengan demikian, tidak ada opsi lain kecuali mengutamakan keutuhan bangsa ini dalam ideologi NKRI.
Negara sebesar Indonesia terlalu berharga untuk dirusak hanya gara-gara perbedaan cara pandang terhadap masa depan bangsa ini. Sebagai bangsa, kita sudah bersepakat mengutamakan penyelesaian secara hukum. Oleh karena itu jika ada ormas yang dalam praktiknya tidak sejalan dengan Pancasila dan Konstitusi, negara melalui perantinya harus segera membekukan izinnya.
Di sinilah negara dituntut untuk terus mengerjakan tugas berkelanjutan untuk menguatkan rasa kebangsaan, nasionalisme kepada semua elemen. Pembangunan watak kebangsaan (nationalism character building) tidak cukup hanya melalui pendidikan formal, lebih dari itu adalah teladan para negarawan, politikus, dan para tokoh.
Betapa buramnya ketika bangsa Indonesia menyaksikan baku hantam dalam forum terhormat di Dewan Perwakilan Daerah ketika di lembaga tinggi negara ini terjadi perebutan jabatan Ketua DPD.
Begitu banyak kearifan lokal bangsa Indonesia bisa digali untuk menjaga harmoni dalam keragaman kehidupan kita.
Perbedaan merupakan "sunatullah" dan kita cukup memeliharanya dengan menghargai dan memahami atas pilihan hidup "liyan".
Kendati dua peristiwa tersebut tidak sampai menimbulkan korban jiwa, sudah selayaknya cara-cara penyelesaian perbedaan politik, juga agama, dengan memobilisasi massa seperti itu, dihentikan. Hal ini berpotensi memicu konflik horisontal yang semakin meluas. Dalam kondisi apa pun, setiap ormas wajib membuka ruang komunikasi dan dialog, yang merupakan ruh demokrasi.
Cara pandang dalam menyikapi perbedaan seperti dikemukakan pemikir Islam Prof. Mukti Ali yang juga mantan Menteri Agama di era Orde Baru, masih relevan untuk dijadikan pijakan hingga hari ini. "Sepakat dalam ketidaksepakatan"
Sikap tersebut dibutuhkan untuk menghindari cara-cara menyelesaikan perbedaan dengan pendekatan represif yang dilakukan oleh kelompok yang memiliki cara pandang berbeda dalam menyikapi persoalan berbagai dimensi kehidupan, terutama politik dan agama yang belakangan ini cenderung semakin kaku dan menafikan "kebenaran" atas kelompok lain.
Kita mengapresiasi ormas atau kelompok-kelompok yang menegaskan komitmennya untuk menjaga Kesatuan Negara Republik Indonesia (NKRI). Memang seharusnya demikian. Dengan demikian, tidak ada opsi lain kecuali mengutamakan keutuhan bangsa ini dalam ideologi NKRI.
Negara sebesar Indonesia terlalu berharga untuk dirusak hanya gara-gara perbedaan cara pandang terhadap masa depan bangsa ini. Sebagai bangsa, kita sudah bersepakat mengutamakan penyelesaian secara hukum. Oleh karena itu jika ada ormas yang dalam praktiknya tidak sejalan dengan Pancasila dan Konstitusi, negara melalui perantinya harus segera membekukan izinnya.
Di sinilah negara dituntut untuk terus mengerjakan tugas berkelanjutan untuk menguatkan rasa kebangsaan, nasionalisme kepada semua elemen. Pembangunan watak kebangsaan (nationalism character building) tidak cukup hanya melalui pendidikan formal, lebih dari itu adalah teladan para negarawan, politikus, dan para tokoh.
Betapa buramnya ketika bangsa Indonesia menyaksikan baku hantam dalam forum terhormat di Dewan Perwakilan Daerah ketika di lembaga tinggi negara ini terjadi perebutan jabatan Ketua DPD.
Begitu banyak kearifan lokal bangsa Indonesia bisa digali untuk menjaga harmoni dalam keragaman kehidupan kita.
Perbedaan merupakan "sunatullah" dan kita cukup memeliharanya dengan menghargai dan memahami atas pilihan hidup "liyan".