Semarang (ANTARA) - Anak yang belajar dengan perut terisi memiliki peluang lebih besar untuk fokus, bertanya, dan bertumbuh. Premis sederhana ini sering luput dalam perbincangan tentang mutu pendidikan yang berhenti pada kurikulum, asesmen, atau sarana. Pengalaman kami di SD Negeri 1 Karangmulyo menunjukkan bahwa Program Makan Bergizi Gratis, disingkat MBG, tidak sekadar urusan dapur. Program ini menyentuh hulu pembelajaran: kecukupan gizi, kebiasaan sehat, serta ekosistem yang menguatkan kelas dan masyarakat sekaligus.
Sebelum program berjalan, tidak sedikit peserta didik datang tanpa sarapan atau hanya dengan jajanan seadanya. Mereka cepat lelah, sulit bertahan di jam pelajaran tengah hari, dan enggan terlibat dalam diskusi. MBG mengubah lanskap itu. Menu yang disajikan tidak hanya mengenyangkan, melainkan dirancang seimbang: sumber karbohidrat untuk energi, protein hewani dan nabati untuk pertumbuhan, sayur dan buah sebagai vitamin serta serat, juga lemak sehat untuk metabolisme.
Dampaknya terasa nyata di ruang kelas. Guru menyaksikan energi belajar yang lebih stabil. Anak lebih berani bertanya, lebih fokus saat mengerjakan tugas, dan lebih cepat pulih dari distraksi. Ini bukan keajaiban semalam, melainkan hasil pasokan energi yang konsisten serta kebiasaan baru yang dibentuk setiap hari.
Pelaksanaan MBG di sekolah kami dilakukan bersama Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Gubugsari. Kepala Dapur, Abdur Rozzaq, menegaskan komitmen yang sederhana namun penting, “Kami dari SPPG Gubugsari selalu terbuka terhadap masukan dari pihak sekolah maupun orang tua. Jika ada anak yang memiliki alergi atau pantangan makanan tertentu, kami siap menyesuaikan menu agar semua anak bisa menikmati layanan MBG dengan aman dan nyaman.”
Kalimat itu menandai hal yang sering terlupakan dalam program publik: fleksibilitas. Gizi yang baik tidak satu ukuran untuk semua. Setiap anak memiliki kebutuhan dan kondisi yang perlu dihormati. Komunikasi yang lancar antara sekolah, orang tua, dan penyedia layanan membuat penyesuaian dapat dilakukan tanpa drama.
Meja makan sekolah juga menjadi ruang pendidikan karakter. Anak belajar disiplin waktu, kebersihan diri, adab berbagi, dan tanggung jawab menghabiskan porsi secukupnya. Kebiasaan cuci tangan sebelum makan, antre dengan tertib, serta membersihkan peralatan setelah makan, semuanya adalah latihan kecil yang berulang. Jika ditekuni, kebiasaan kecil ini membentuk pola hidup sehat yang bertahan lama.
Di saat yang sama, rantai pasok yang pendek ikut menghidupkan kampung. Sayur diperoleh dari petani lokal, telur dan ayam dari peternak desa, beras dari gabungan kelompok tani sekitar. Bahan menjadi lebih segar, biaya logistik menurun, dan uang berputar di lingkungan sendiri. Sekolah dan SPPG menjadi jembatan yang menghubungkan kebutuhan harian dengan para pemasok sekitar, lalu manfaatnya kembali ke piring anak.
Keberatan yang sering terdengar biasanya berputar pada tiga hal. Pertama, biaya. Kita kerap melihat konsumsi gizi sebagai beban, padahal ia adalah investasi yang menekan ongkos jangka panjang. Anak yang cukup gizi cenderung lebih sehat, hadir lebih konsisten, dan menyerap pelajaran lebih baik.
Kedua, kualitas dan keamanan pangan. Jawabannya terletak pada standar operasional yang jelas, mulai dari pemilihan bahan, penyimpanan yang tepat, pengolahan higienis, hingga pencatatan sederhana. Standar ini tidak rumit, yang diperlukan konsistensi.
Ketiga, keberlanjutan. Program akan bertahan jika kolaborasi berjalan. Sekolah, SPPG, orang tua, dan pemasok lokal berbagi peran sesuai kapasitas. Ketika rantai pasok menguat dan dukungan masyarakat tumbuh, program tidak bergantung pada satu sumber daya saja.
Agar dampak MBG semakin terukur, pemangku kebijakan dapat menjadikan gizi sekolah sebagai indikator kinerja pendidikan daerah. Kehadiran, partisipasi kelas, dan indikator status gizi dapat dipantau berkala oleh sekolah, puskesmas, serta dinas terkait. Sistem belanja yang memprioritaskan pemasok lokal yang memenuhi standar keamanan pangan akan memperkuat ekonomi desa sekaligus menjaga kontinuitas pasokan.
Mekanisme pelaporan serta perbaikan cepat, terutama terkait alergi dan preferensi budaya makan, membuat program responsif. Inovasi menu yang ramah anak pun layak didorong. Penyajian yang menarik membuat makanan sehat bersaing dengan jajanan instan. Pendidikan gizi sebaiknya hadir lewat rasa yang enak, bukan hanya poster yang indah.
Program Makan Bergizi Gratis di SD Negeri 1 Karangmulyo memberi pelajaran penting. Mutu pendidikan tidak lahir dari lembar jawaban semata, melainkan dari ekosistem yang membuat anak siap belajar: tubuh yang sehat, kebiasaan baik, dan dukungan komunitas. Seperti diingatkan Bapak Abdur Rozzaq, “Makanan bukan hanya soal kenyang, tetapi soal kasih sayang dan tanggung jawab kita untuk menyiapkan generasi masa depan.”
Jika kita serius ingin mencetak generasi yang sehat, cerdas, dan berdaya, mulai dari hal yang paling dekat: piring makan di sekolah. Dari sana, kelas menjadi lebih hidup, kampung ikut bergerak, dan masa depan anak Indonesia memperoleh fondasi yang lebih kokoh.
*Kepala SD Negeri 1 Karangmulyo, Pegandon, Kendal

