Solo (ANTARA) - Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) berupaya mewujudkan kampus inklusif lewat webinar soal pencegahan perundungan mahasiswa yang diselenggarakan oleh Biro Kemahasiswaan bagian Student Mental Health and Wellbeing Support (SMHWS).
Ketua SMHWS UMS Partini di Solo, Jawa Tengah, Rabu mengatakan webinar yang bertajuk bertajuk Lebih dari Sekadar Bercanda: Memahami dan Mencegah Perundungan di Lingkungan Kampus diselenggarakan untuk menciptakan kampus yang inklusif dan sehat secara psikologis.
“Semoga webinar ini menjadi langkah awal untuk membangun kesadaran bersama, bahwa kampus adalah rumah belajar yang harus bebas dari segala bentuk bullying,” katanya.
Pemateri webinar Wiwien Dinar menyoroti fenomena perundungan dan cyberbullying yang seringkali bermula dari candaan. Ia mencontohkan bentuk-bentuk komentar yang merendahkan seperti “Sis, bajumu kok nggak ganti-ganti modelnya?” atau “Ih jangan deket-deket dia, dia bau badan”, sebagai bagian dari perundungan verbal yang kerap diabaikan.
Menurut dia, bullying terjadi karena adanya ketimpangan kekuatan antara pelaku dan korban.
“Perundungan bukan hanya soal fisik, tapi juga bisa berupa perkataan, gestur, bahkan sikap diam yang menyakiti,” jelasnya.
Wiwien juga mengingatkan bahwa dampak bullying sangat nyata, baik bagi pelaku maupun korban. Pelaku rentan terjebak dalam lingkar kekerasan, bahkan tindak kriminal di masa depan. Sedangkan korban bisa mengalami gangguan psikologis seperti depresi, kecemasan, menarik diri, dan merasa tidak berharga.
Ia mengutip pesan spiritual dari Al-Qur’an dan hadis sebagai landasan moral untuk menjauhi perilaku perundungan: “Berlapang-lapanglah dalam mencari ilmu, karena Allah akan memberikan kelapangan untukmu” (QS. Al-Mujadilah), serta pesan Nabi SAW tentang hak sesama Muslim untuk tidak menyakiti dengan perkataan, bersikap tawadhu, dan tidak menyimpan amarah lebih dari tiga hari.
Sementara itu, pemateri lain Yessy Elita mengangkat isu perundungan dari sudut pandang institusi pendidikan. Ia menyebut perundungan sebagai salah satu dari tiga dosa besar di perguruan tinggi, selain intoleransi dan kekerasan seksual.
“Banyak kasus bullying di kampus terjadi bukan karena pelaku tidak berpendidikan, justru sebaliknya, mereka memiliki intelektualitas tinggi tapi rendah empati,” ujar Yessy.
Ia menjelaskan bahwa relasi kuasa, normalisasi kekerasan verbal, dan lemahnya sistem pelaporan menjadi penyebab suburnya perundungan di dunia akademik.
“Kalau kampus tidak menanganinya secara serius, bukan hanya prestasi mahasiswa yang turun, tapi juga reputasi institusi,” katanya.

