Solo (ANTARA) - Pelaksana Harian (PLH) Kepala Sub-Direktorat Kontra Naratif Direktorat Pencegahan Dentasemen Khusus Antiteror Kepolisian Republik Indonesia (Densus 88) AKBP Mayndra Eka Wardhana mengatakan bahwa digital media menjadi sarana penyebaran narasi radikalisme, ekstremisme, dan terorisme dengan berbagai tujuan.
"Hal itu, mulai dari rekrutmen, propaganda, pemecahan masyarakat, serta dukungan terhadap paham terorisme," kata Mayndra Eka Wardhana selaku pembicara acara workshop regional oleh The Apex Chronicles, organisasi non-Pemerintah yang fokus pada edukasi publik terkait isu-isu keamanan nasional dan regional, yang digelar, di Hotel The Sunan Solo, Jawa Tegah, Rabu.
Pada acara workshop tersebut dengan mengundang pembicara dari otoritas Indonesia dan Malaysia juga digital media strategis untuk menyoroti apa yang sedang dihadapi di dunia digital kaitannya dengan radikalisme, ekstremisme dan terorisme.
Mayndra Eka Wardhana mengatakan identifikasi narasi-narasi semacam tersebut bisa dilakukan dengan memahami konteks narasi yang disebarkan, menganalisa apakah konten yang disebarkan memiliki potensi destruktif dan mengarah pada ajakan mengesampingkan Pancasila dan melanggar hukum yang berlaku di Indonesia.
Mengevaluasi informasi yang ditemukan apakah mengancam stabilitas nasional, mengedukasi diri dan orang lain tentang konten yang tergolong narasi radikalisme dan ekstrimisme, serta bertanya pada pihak yang kompeten untuk mengetahui pola penyebaran ideologi.
Menurut dia, cara untuk menghindari paparan dan dampak dari sebaran narasi radikalisme, ekstremisme, dan terorisme di ranah digital adalah mengurangi eksposur, mengedukasi diri, mempromosikan pemahaman moderasi dan dialog, bijaksana bermedia sosial di antaranya, menjaga privasi, saring sebelum berbagi dan melakukan kroscek kebenaran konten.
Sementara itu, Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Irfan Idris mengatakan bahwa hal-hal seperti terpaparnya seseorang oleh narasi-narasi radikalisme hanya bisa ditanggulangi dengan kerja sama berbagai pihak.
"Segenap masyarakat, seluruh lapisan bangsa dan generasi 'kids jaman now' bangkit bersama, maju serempak melawan narasi provokatif yang sebagian mengatasnamakan tafsiran keagamaan yang bertujuan untuk mengorbankan keragaman dan keberagaman yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Indonesia," kata Irfan Idris selaku pembicara lainnya.
Sementara itu, Asisten Direktur Utama Divisi Penanggulangan Terorisme (E8) Cabang Khusus Bukit Aman Malaysia, Normah Ishak yang turut bergabung dalam workshop secara online dan mengulas tentang pengalaman dan strategi Kepolisian Diraja Malaysia tentang mitigasi yang dilakukan oleh Kepolisian Malaysia (PDRM) dalam mengatasi dan mengkounter narasi radikalisme dan terorisme di dunia maya. Serta kerja sama yang terjalin antara penegak hukum di Malaysia dan Indonesia terkait masalah ini.
Berbagai tantangan yang dihadapi oleh Malaysia di dalam menangani dan mengambil tindakan terkait penyebaran narasi radikalisme di berbagai platform online dibahas secara mendalam oleh Dr Haezreena Begum Abdul Hamid dari Universiti Malaya. Serta menyoroti tentang bagaimana Malaysia dan Indonesia mengantisipasinya dengan tetap mempertimbangkan hak-hak asasi manusia.
Sementara menurut laporan Institute for Youth Research Malaysia (IYRES), menyebutkan bahwa 83 persen dari individu yang ditangkap oleh Kepolisian Malaysia (PDRM) terpapar ideologi radikalisme dan terorisme dari internet.
Baca juga: BNPT gandeng Pemkot Surakarta tangani radikal dan terorisme