Jakarta (ANTARA) - Pemerintah Korea Selatan mengembangkan dan menguji kecerdasan buatan (artificial inteligence /AI) dalam hal penanganan COVID-19, dengan membuat fitur pengenalan wajah atau facial recognition untuk melacak mobilitas pasien yang terpapar SARS-CoV-2.
Proyek itu dikembangkan di Kota Bucheon yang menjadi kota terpadat dan berada di pinggiran Ibu Kota Seoul seperti dikutip dari Reuters, Senin.
Sistem itu akan mulai diujicobakan pada Januari 2022, menurut informasi dari seorang pejabat publik yang enggan disebutkan namanya.
Pada dasarnya sistem itu akan menggunakan algoritma kecerdasaran buatan melakukan pengenalan wajah dalam rekaman yang dikumpulkan dari 10.820 kamera CCTV yang ada di Bucheon.
Nantinya teknologi itu dapat melacak pergerakan orang yang terinfeksi COVID-19, berkontak erat dengan siapa, hingga apakah yang bersangkutan menggunakan masker atau tidak.
Sebenarnya sistem pelacakan wajah dalam penanganan COVID-19 telah dilakukan oleh beberapa negara lainnya seperti di China, Rusia, India, Polandia, hingga Jepang.
Meski bukan barang baru, namun teknologi itu menjadi salah satu hal yang dikritisi oleh pihak oposisi Pemerintah Korea Selatan karena berpotensi melanggar ranah privasi penduduk.
"Benar-benar salah untuk memantau dan mengontrol publik melalui CCTV menggunakan uang pembayar pajak dan tanpa persetujuan dari publik," kata Park Dae Chul yang merupakan anggota Parlemen dari oposisi Pemerintah.
Meski demikian, kritik tersebut langsung ditepis oleh salah seorang pejabat di Bucheon memastikan target nonsubjek akan diberi filter mosaik sehingga dapat mengatasi masalah privasi yang dikhawatirkan.
"Tidak ada masalah privasi di sini karena sistem melacak pasien yang dikonfirmasi berdasarkan Undang-Undang Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Menular," kata pejabat itu kepada Reuters.
“Pelacak kontak tetap berpegang pada aturan itu sehingga tidak ada risiko tumpahan data atau pelanggaran privasi,” lanjutnya.
Aturan mengatakan pasien harus memberikan persetujuan mereka untuk pelacakan pengenalan wajah yang akan digunakan.
Jika mereka tidak setuju, sistem masih dapat melacak mereka menggunakan siluet dan pakaian mereka.
Sistem yang nantinya diterapkan di Bucheon itu diklaim dapat secara bersamaan melacak hingga sepuluh orang dalam lima hingga sepuluh menit.
Tentunya itu menghemat waktu dari pekerjaan yang biasanya dikerjakan manusia dengan memakan waktu sekitar setengah jam hingga satu jam untuk melacak satu orang.
Bucheon menerima 1,6 miliar won atau setara Rp19,4 miliar dari Kementerian Sains dan ICT dan menyuntikkan 500 juta won atau Rp 6 miliar dari anggaran kota untuk membangun sistem tersebut.
Badan Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Korea (KDCA) mengatakan penggunaan teknologi tersebut sah selama digunakan dalam bidang hukum pengendalian dan pencegahan penyakit.