Kontak erat peduli pandemi untuk "rem-gas" yang pas
Magelang (ANTARA) - Soal kapan rem diinjak dan gas ditancap sudah beberapa kali disampaikan Presiden Joko Widodo dalam kaitan dengan upaya menghadirkan keseimbangan antara pengendalian pandemi COVID-19 dan langkah membangkitkan geliat perekonomian.
Tujuannya, tentulah supaya tidak terus-menerus bertumbangan korban penularan virus corona jenis baru tersebut yang menerpa negeri ini, sebagaimana sekitar setengah tahun terakhir, tetapi juga kebutuhan hidup sehari-hari terpenuhi.
Baik dalam penanganan pasien, pemutaran roda perekonomian, maupun aktivitas masyarakat di berbagai sektor yang prioritas, protokol kesehatan mesti menjadi perhatian yang secara ketat diterapkan.
Baca juga: Hidup berkelindan seni di antara pandemi
Kampanye penerapan protokol seakan tak lelah dikumandangkan pemerintah dan berbagai pihak, supaya masyarakat dengan segala lapisan, elemen, dan domisili menyadari betul manfaatnya dalam mencegah dan mengatasi pandemi global virus, serta melanjutkan hidup di tengah pandemi.
"Berulang saya sampaikan gas dan rem oleh bupati, wali kota, gubernur agar manajemennya (penanganan pandemi COVID-19 dengan dampaknya, red.) dikendalikan dengan baik," kata Jokowi di Bandung, Jawa Barat, memasuki pertengahan bulan lalu.
Seabrek program pemerintah dengan aneka sebutan bantuan sosial diluncurkan untuk menyasar berbagai kalangan masyarakat terdampak pandemi. Bertriliun-triliun rupiah dana dialokasikan untuk program itu supaya warga tak terbenam dalam rintih susah yang keterlaluan karena pandemi.
Berbagai kesulitan dan kerumitan penyaluran bantuan agar tepat sasaran dan merata, menjadi persoalan tersendiri yang terus dicari jalan keluar.
Jurus injak rem dan tancap gas boleh jadi tak mudah ditempa secara saklek, sekadar berdasarkan perkembangan data-data penularan virus dan pertumbuhan ekonomi.
Yang terlihat barangkali dalam wujud penerapan sanksi terlihat secara sosial maupun denda terhadap pelanggar protokol kesehatan, penutupan dan pembukaan yang mulai ditempuh untuk tempat-tempat publik, perkantoran, pusat perbelanjaan, tempat pelayanan kesehatan, dan pusat keramaian masyarakat yang terdeteksi terjadi kasus penularan.
Hal demikian termasuk pembukaan kembali kegiatan belajar mengajar secara tatap muka yang sedemikian detail mesti dicermati dan dilakukan uji coba terlebih dahulu agar tidak timbul kluster baru.
Baca juga: Tradisi "Suran Tutup Ngisor" lereng Merapi untuk tolak bala pandemi
Lingkup masyarakat
Di lingkup masyarakat yang lebih kecil lagi, masih dijumpai kesan abai hanya karena soal pemakaian masker sebagai salah satu ajian mencegah penularan.
Akan tetapi, mulai bertumbuh juga kesadaran sebagian warga dan kelompok masyarakat lainnya untuk ikut serta melindungi diri dan sekitarnya dari paparan COVID-19.
Terlebih bagi warga desa, kampung, dan gunung, hal tentang kesadaran penerapan protokol kesehatan tak kalah rumitnya untuk dibangun.
Ihwal demikian boleh jadi sebagai bagian tentang betapa tak gampang jurus injak rem dan tancap gas di tengah pandemi itu dikerjakan.
Setelah penyampaikan pendapat tentang rencana pertemuan apakah tatap muka atau mau virtual, Ketua Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan Kevikepan Kedu Bambang Yos akhirnya memutuskan menggelar pertemuan secara virtual untuk menggerakkan anggotanya mengurus tugas pokok dan fungsi salah satu komisioner dalam struktur organisasi kegerejaan.
"Kelihatannya sementara ini lebih cenderung ke webinar, njih? (ya)," ucapnya.
Pertemuan yang diikuti sejumlah komisioner itu pun berlangsung pada Senin (7/9) malam untuk membuka kembali program-program tahunan dan merencanakan koordinasi dengan pihak lainnya dalam mewujudkan pelayanan kepada umat.
Begitu juga dengan lanjutan penyelenggaraan agenda tahunan Festival Lima Gunung yang tahun ini sebagai ke-19 kali diprakarsai secara mandiri kalangan seniman petani Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Penyelenggaraan festival tahun ini dikaitkan erat dengan persoalan kesertaan komunitas dalam memperkuat kesadaran warga, terutama di desa dan gunung, terhadap bahaya pandemi. Tema besar Festival Lima Gunung XIX/2020, "Donga Slamet, Waspada Virus Dunia".
Sejak pembukaan pada 9 Agustus lalu di Dusun Krandegan, Desa Sukomakmur, Kecamatan Kanjoran, Kabupaten Magelang di kawasan Gunung Sumbing hingga saat ini, mereka telah menggelar pementasan kesenian dan kegiatan kebudayaan hingga empat kali dalam suasana pandemi.
Putaran kedua di kediaman budayawan Emha Ainun Najib di Kadipira, Yogyakarta pada 12 Agustus, ketiga di Studio Mendut, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang pada 22 Agustus, dan keempat di Desa Tanjungrejo, Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati pada Minggu (6/9).
Acaranya dikemas dengan siasat mencegah kerumunan orang, sedangkan penyebaran poster di media sosial untuk lanjutan agenda festival tanpa menyebut tempat dan waktu, atau beberapa jam sebelum kegiatan mulai.
"Kita putuskan malam hari, supaya menghindari kerumunan. Tidak mengundang penonton," kata Brian Trinanda Kusuma Adi, seorang pegiat Komunitas Ki Ageng Qithmir Pati, salah satu jaringan Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang.
Seorang pegiat Komunitas Lima Gunung Singgih Aljawi melalui grup percakapan tertutup juga mengingatkan tentang kepatuhan protokol kesehatan dalam putaran keempat festival tersebut, sebagaimana tiga putaran sebelumnya.
Hal yang disampaikannya sebagai pikiran refleks untuk mengerem paparan rencana awal tuan rumah di Pati atas acara lanjutan Festival Lima Gunung XIX/2020 yang umumnya berupa pementasan kesenian dan sarasehan kebudayaan, sedangkan soal protokol kesehatan di tengah pandemi belum tercantum.
Brian juga mengingatkan bahwa festival di kampung halamannya itu bukan sekadar tontonan kesenian untuk publik, tetapi menekankan doa bersama, penghormatan kepada leluhur, dan menjalin silaturahim.
Hal utama lainnya, mengirim pesan edukatif tentang kesadaran masyarakat terhadap bahaya pandemi dan penerapan protokol kesehatan.
"Penekanannya bukan pada pentas dan bentuk acara. Bentuk acara bisa apa pun yang penting ikhlas dan bahagia. Sadar pandemi, tujuan hakiki acara," ucap Brian yang beberapa waktu lalu menyelesaikan tesis "Komunitas Lima Gunung: The Performance of Communitas" di Program Studi Agama dan Lintas Budaya Sekolah Pascasarjana UGM Yogyakarta.
Dalam lanjutan festival yang mempertemukan dua komunitas itu pun tersaji secara marem sejumlah acara dalam balutan protokol kesehatan di tengah pandemi, antara lain performa seni, pembacaan puisi, pentas wayang klithik, tarian soreng, pentas wayang serangga, musik selawatan, pidato kebudayaan, dan doa keselamatan.
Kedua pihak menyebut putaran keempat festival itu sebagai pertemuan "sedulur kidul" dan "sedulur lor", yang maksudnya silaturahim antara dua komunitas dari selatan (Magelang) dan utara (Pati).
Rombongan dari selatan dalam jumlah terbatas petinggi dan pegiat Komunitas Lima Gunung saat lawatan perjalanan festivalnya tahun ini ke utara, berziarah ke makam tokoh berpengaruh di Pati, Kiai Ahmad Mutamakkin dan punden Mbah Soreng.
Festival Lima Gunung XIX/2020 telah direncanakan hingga akhir tahun ini. Persiapan untuk setiap putaran acara dibicarakan secara rapat-rapat, pelaksanaan dibuat mendadak dan terkesan "rahasia" hingga waktu pelaksanaan, sedangkan gaung publikasi atas makna festival mengandalkan kanal-kanal media sosial melalui akun-akun pegiat dan jejaringnya dalam semangat kontak peduli antarmanusia di tengah pandemi.
Peduli
Kesadaran menguatkan kontak erat naluri peduli antarmanusia terhadap risiko penyebaran virus, mungkin juga makin meluas di masyarakat lainnya, dalam wujud aktivitas mereka menggunakan jurus injak rem dan tancap gas.
Kalau festival tahun ke-19 mereka masih berlangsung hingga putaran keempat tersebut, tentu tidak lepas dari operasional rem dan gas secara pas. Nuansa untuk membatalkan atau menunda setiap putaran acara festival dengan komunitasnya yang dirintis sekitar dua dasawarsa lalu oleh budayawan Magelang Sutanto Mendut itu, bukan tak pernah ada. Tentunya dengan alasan data kekinian dan informasi perkembangan pandemi.
Keselamatan dan kesehatan setiap orang diletakkan sebagai tujuan dan nilai terpenting yang hendak diwujudkan dengan melibatkan banyak orang dan pihak, termasuk dalam festival tersebut. Kian banyak orang menyadari bahaya pandemi, makin luas pula kepedulian mereka untuk terlibat mengatasinya.
Penulis Mark Manson dalam buku yang telah diterjemahkan menjadi berjudul "Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat" dan cetak berulang-ulang selama 2018-2019, mengemukakan tentang peran serta aktif manusia, baik secara suka maupun tidak suka, terhadap setiap peristiwa.
Soal kadar kepedulian, tentu bergantung setiap orang menafsirkan makna peristiwa, pemilihan nilai-nilai yang dihidupi, dan ukuran yang ditempakan untuk menilai setiap hal yang terjadi.
"Ini kembali pada kenyataan bahwa tidak ada yang namanya tidak peduli. Ini tidak mungkin. Kita semua pasti memedulikan sesuatu. Tidak peduli tentang apa pun tetap saja sebuah bentuk kepedulian tentang sesuatu," ucapnya.
Mungkin memang begitulah kepedulian yang diharapkan manusia abad ini. Pandemi menjadi jalan mereka mengejawantah naluri peduli terhadap penularan virus.
Untuk kelangsungan hidup dan catatan sejarah atas drama kehidupan manusia, mereka --bahkan yang masih mencengkeram anggapan pandemi sebagai rekayasa global-- baik secara sistemik maupun refleks, dibawa kepada ketepatan waktu dan ruang untuk menginjak rem dan menancap gas bagi jalan hidupnya agar terbebas dari virus dan bermacam dampaknya.
Kepedulian yang makin tumbuh mekar nampaknya membuat tak ada lagi insan merasa diri terbebas penularan ataupun nihil dari probabilitas menularkan virus kepada sesama.
Kewarasan siapa pun, kalau sudah menyangkut ancaman kemanusiaan dan kelangsungan hidup, niscaya berkontak erat dengan peduli.*
Baca juga: Tumpeng Festival Lima Gunung XIX simbol tangguh hadapi pandemi
Baca juga: Festival Lima Gunung meniti suasana warga di tengah pandemi
Tujuannya, tentulah supaya tidak terus-menerus bertumbangan korban penularan virus corona jenis baru tersebut yang menerpa negeri ini, sebagaimana sekitar setengah tahun terakhir, tetapi juga kebutuhan hidup sehari-hari terpenuhi.
Baik dalam penanganan pasien, pemutaran roda perekonomian, maupun aktivitas masyarakat di berbagai sektor yang prioritas, protokol kesehatan mesti menjadi perhatian yang secara ketat diterapkan.
Baca juga: Hidup berkelindan seni di antara pandemi
Kampanye penerapan protokol seakan tak lelah dikumandangkan pemerintah dan berbagai pihak, supaya masyarakat dengan segala lapisan, elemen, dan domisili menyadari betul manfaatnya dalam mencegah dan mengatasi pandemi global virus, serta melanjutkan hidup di tengah pandemi.
"Berulang saya sampaikan gas dan rem oleh bupati, wali kota, gubernur agar manajemennya (penanganan pandemi COVID-19 dengan dampaknya, red.) dikendalikan dengan baik," kata Jokowi di Bandung, Jawa Barat, memasuki pertengahan bulan lalu.
Seabrek program pemerintah dengan aneka sebutan bantuan sosial diluncurkan untuk menyasar berbagai kalangan masyarakat terdampak pandemi. Bertriliun-triliun rupiah dana dialokasikan untuk program itu supaya warga tak terbenam dalam rintih susah yang keterlaluan karena pandemi.
Berbagai kesulitan dan kerumitan penyaluran bantuan agar tepat sasaran dan merata, menjadi persoalan tersendiri yang terus dicari jalan keluar.
Jurus injak rem dan tancap gas boleh jadi tak mudah ditempa secara saklek, sekadar berdasarkan perkembangan data-data penularan virus dan pertumbuhan ekonomi.
Yang terlihat barangkali dalam wujud penerapan sanksi terlihat secara sosial maupun denda terhadap pelanggar protokol kesehatan, penutupan dan pembukaan yang mulai ditempuh untuk tempat-tempat publik, perkantoran, pusat perbelanjaan, tempat pelayanan kesehatan, dan pusat keramaian masyarakat yang terdeteksi terjadi kasus penularan.
Hal demikian termasuk pembukaan kembali kegiatan belajar mengajar secara tatap muka yang sedemikian detail mesti dicermati dan dilakukan uji coba terlebih dahulu agar tidak timbul kluster baru.
Baca juga: Tradisi "Suran Tutup Ngisor" lereng Merapi untuk tolak bala pandemi
Lingkup masyarakat
Di lingkup masyarakat yang lebih kecil lagi, masih dijumpai kesan abai hanya karena soal pemakaian masker sebagai salah satu ajian mencegah penularan.
Akan tetapi, mulai bertumbuh juga kesadaran sebagian warga dan kelompok masyarakat lainnya untuk ikut serta melindungi diri dan sekitarnya dari paparan COVID-19.
Terlebih bagi warga desa, kampung, dan gunung, hal tentang kesadaran penerapan protokol kesehatan tak kalah rumitnya untuk dibangun.
Ihwal demikian boleh jadi sebagai bagian tentang betapa tak gampang jurus injak rem dan tancap gas di tengah pandemi itu dikerjakan.
Setelah penyampaikan pendapat tentang rencana pertemuan apakah tatap muka atau mau virtual, Ketua Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan Kevikepan Kedu Bambang Yos akhirnya memutuskan menggelar pertemuan secara virtual untuk menggerakkan anggotanya mengurus tugas pokok dan fungsi salah satu komisioner dalam struktur organisasi kegerejaan.
"Kelihatannya sementara ini lebih cenderung ke webinar, njih? (ya)," ucapnya.
Pertemuan yang diikuti sejumlah komisioner itu pun berlangsung pada Senin (7/9) malam untuk membuka kembali program-program tahunan dan merencanakan koordinasi dengan pihak lainnya dalam mewujudkan pelayanan kepada umat.
Begitu juga dengan lanjutan penyelenggaraan agenda tahunan Festival Lima Gunung yang tahun ini sebagai ke-19 kali diprakarsai secara mandiri kalangan seniman petani Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Penyelenggaraan festival tahun ini dikaitkan erat dengan persoalan kesertaan komunitas dalam memperkuat kesadaran warga, terutama di desa dan gunung, terhadap bahaya pandemi. Tema besar Festival Lima Gunung XIX/2020, "Donga Slamet, Waspada Virus Dunia".
Sejak pembukaan pada 9 Agustus lalu di Dusun Krandegan, Desa Sukomakmur, Kecamatan Kanjoran, Kabupaten Magelang di kawasan Gunung Sumbing hingga saat ini, mereka telah menggelar pementasan kesenian dan kegiatan kebudayaan hingga empat kali dalam suasana pandemi.
Putaran kedua di kediaman budayawan Emha Ainun Najib di Kadipira, Yogyakarta pada 12 Agustus, ketiga di Studio Mendut, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang pada 22 Agustus, dan keempat di Desa Tanjungrejo, Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati pada Minggu (6/9).
Acaranya dikemas dengan siasat mencegah kerumunan orang, sedangkan penyebaran poster di media sosial untuk lanjutan agenda festival tanpa menyebut tempat dan waktu, atau beberapa jam sebelum kegiatan mulai.
"Kita putuskan malam hari, supaya menghindari kerumunan. Tidak mengundang penonton," kata Brian Trinanda Kusuma Adi, seorang pegiat Komunitas Ki Ageng Qithmir Pati, salah satu jaringan Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang.
Seorang pegiat Komunitas Lima Gunung Singgih Aljawi melalui grup percakapan tertutup juga mengingatkan tentang kepatuhan protokol kesehatan dalam putaran keempat festival tersebut, sebagaimana tiga putaran sebelumnya.
Hal yang disampaikannya sebagai pikiran refleks untuk mengerem paparan rencana awal tuan rumah di Pati atas acara lanjutan Festival Lima Gunung XIX/2020 yang umumnya berupa pementasan kesenian dan sarasehan kebudayaan, sedangkan soal protokol kesehatan di tengah pandemi belum tercantum.
Brian juga mengingatkan bahwa festival di kampung halamannya itu bukan sekadar tontonan kesenian untuk publik, tetapi menekankan doa bersama, penghormatan kepada leluhur, dan menjalin silaturahim.
Hal utama lainnya, mengirim pesan edukatif tentang kesadaran masyarakat terhadap bahaya pandemi dan penerapan protokol kesehatan.
"Penekanannya bukan pada pentas dan bentuk acara. Bentuk acara bisa apa pun yang penting ikhlas dan bahagia. Sadar pandemi, tujuan hakiki acara," ucap Brian yang beberapa waktu lalu menyelesaikan tesis "Komunitas Lima Gunung: The Performance of Communitas" di Program Studi Agama dan Lintas Budaya Sekolah Pascasarjana UGM Yogyakarta.
Dalam lanjutan festival yang mempertemukan dua komunitas itu pun tersaji secara marem sejumlah acara dalam balutan protokol kesehatan di tengah pandemi, antara lain performa seni, pembacaan puisi, pentas wayang klithik, tarian soreng, pentas wayang serangga, musik selawatan, pidato kebudayaan, dan doa keselamatan.
Kedua pihak menyebut putaran keempat festival itu sebagai pertemuan "sedulur kidul" dan "sedulur lor", yang maksudnya silaturahim antara dua komunitas dari selatan (Magelang) dan utara (Pati).
Rombongan dari selatan dalam jumlah terbatas petinggi dan pegiat Komunitas Lima Gunung saat lawatan perjalanan festivalnya tahun ini ke utara, berziarah ke makam tokoh berpengaruh di Pati, Kiai Ahmad Mutamakkin dan punden Mbah Soreng.
Festival Lima Gunung XIX/2020 telah direncanakan hingga akhir tahun ini. Persiapan untuk setiap putaran acara dibicarakan secara rapat-rapat, pelaksanaan dibuat mendadak dan terkesan "rahasia" hingga waktu pelaksanaan, sedangkan gaung publikasi atas makna festival mengandalkan kanal-kanal media sosial melalui akun-akun pegiat dan jejaringnya dalam semangat kontak peduli antarmanusia di tengah pandemi.
Peduli
Kesadaran menguatkan kontak erat naluri peduli antarmanusia terhadap risiko penyebaran virus, mungkin juga makin meluas di masyarakat lainnya, dalam wujud aktivitas mereka menggunakan jurus injak rem dan tancap gas.
Kalau festival tahun ke-19 mereka masih berlangsung hingga putaran keempat tersebut, tentu tidak lepas dari operasional rem dan gas secara pas. Nuansa untuk membatalkan atau menunda setiap putaran acara festival dengan komunitasnya yang dirintis sekitar dua dasawarsa lalu oleh budayawan Magelang Sutanto Mendut itu, bukan tak pernah ada. Tentunya dengan alasan data kekinian dan informasi perkembangan pandemi.
Keselamatan dan kesehatan setiap orang diletakkan sebagai tujuan dan nilai terpenting yang hendak diwujudkan dengan melibatkan banyak orang dan pihak, termasuk dalam festival tersebut. Kian banyak orang menyadari bahaya pandemi, makin luas pula kepedulian mereka untuk terlibat mengatasinya.
Penulis Mark Manson dalam buku yang telah diterjemahkan menjadi berjudul "Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat" dan cetak berulang-ulang selama 2018-2019, mengemukakan tentang peran serta aktif manusia, baik secara suka maupun tidak suka, terhadap setiap peristiwa.
Soal kadar kepedulian, tentu bergantung setiap orang menafsirkan makna peristiwa, pemilihan nilai-nilai yang dihidupi, dan ukuran yang ditempakan untuk menilai setiap hal yang terjadi.
"Ini kembali pada kenyataan bahwa tidak ada yang namanya tidak peduli. Ini tidak mungkin. Kita semua pasti memedulikan sesuatu. Tidak peduli tentang apa pun tetap saja sebuah bentuk kepedulian tentang sesuatu," ucapnya.
Mungkin memang begitulah kepedulian yang diharapkan manusia abad ini. Pandemi menjadi jalan mereka mengejawantah naluri peduli terhadap penularan virus.
Untuk kelangsungan hidup dan catatan sejarah atas drama kehidupan manusia, mereka --bahkan yang masih mencengkeram anggapan pandemi sebagai rekayasa global-- baik secara sistemik maupun refleks, dibawa kepada ketepatan waktu dan ruang untuk menginjak rem dan menancap gas bagi jalan hidupnya agar terbebas dari virus dan bermacam dampaknya.
Kepedulian yang makin tumbuh mekar nampaknya membuat tak ada lagi insan merasa diri terbebas penularan ataupun nihil dari probabilitas menularkan virus kepada sesama.
Kewarasan siapa pun, kalau sudah menyangkut ancaman kemanusiaan dan kelangsungan hidup, niscaya berkontak erat dengan peduli.*
Baca juga: Tumpeng Festival Lima Gunung XIX simbol tangguh hadapi pandemi
Baca juga: Festival Lima Gunung meniti suasana warga di tengah pandemi