Hidup berkelindan seni di antara pandemi
Magelang (ANTARA) - Penabuhan gamelan "Uyon-Uyon Candi" di makam pendiri Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor di kawasan Gunung Merapi, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Romo Yoso Sudarmo (1885-1990), sedang jeda acara pada malam itu.
Langit bersih tanpa awan menghias di atas kompleks padepokan yang berdiri pada 1937 itu. Terlihat cahaya bulan nyaris sempurna menuju purnama di kawasan itu. Puncak bulan purnama jatuh Rabu (2/9), di mana mereka menjalani tradisi budaya berupa perayaan tahun baru dalam kalender Jawa, Sura.
Tahun ini sebagai tradisi "Suran Tutup Ngisor" ke-85 mereka dengan rangkaiannya selama 1-3 September 2020. Tradisi tersebut dijalani keluarga padepokan setiap pertengahan Sura, bertepatan dengan bulan purnama.
Agenda "Suran", antara lain sajian "Uyon-Uyon Candi", Selasa (1/9) malam, dilanjutkan pentas wayang sakral "Lumbung Tugu Mas", Rabu (2/9) malam. Pementasan itu sebagai puncak pelaksanaan tradisi, di mana sebelumnya dilakukan pembacaan Surat Yasin, kenduri, pemasangan sesaji di berbagai tempat di kampung itu, tirakatan, persembahan panembrama, dan beksan "Kembar Mayang".
Pada Kamis (3/9) pagi, mereka melakukan kirab jatilan keliling kampung tiga kali sebagai salah satu simbol tolak bala. Tolak bala tahun ini secara khusus terkait dengan pandemi COVID-19. Ada juga pementasan wayang topeng.
Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, kali ini mereka tidak mengundang kelompok kesenian jejaringnya di berbagai tempat untuk ikut dalam pementasan, karena menyesuaikan dengan situasi pandemi dan mematuhi protokol kesehatan.
Gamelan "Uyon-Uyon Candi" di makam tersebut ditabuh mengiringi beberapa tembang Jawa. Suasana terasa khusyuk hingga Selasa (1/9) menjelang tengah malam. Tanpa penonton.
"Ini acara keluarga (Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor, red.)," ujar penerus kepemimpinan padepokan itu, Sitras Anjilin.
Persembahan musik gamelan, disebut dia, selain untuk menghormati leluhur, juga secara khusus bagian dari doa kepada Penguasa Jagat agar warga di mana pun, terbebas dari pandemi virus corona jenis baru yang telah selama enam bulan terakhir melanda dunia.
Padepokan seni budaya itu terletak di Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, sekitar enam kilometer barat daya dari puncak Gunung Merapi. Lokasinya tak jauh dari alur Sungai Senowo yang aliran airnya berhulu di Gunung Merapi.
Tatkala para penabuh, penembang, dan sesepuh keluarga padepokan mengisi jeda sajian gamelan dengan menyeruput teh hangat, menikmati camilan khas desa, serta santap malam bersama, Widyo Sumpeno, salah seorang cucu Romo Yoso, kepada ANTARA berujar tentang warisan nasihat berkesenian dari eyangnya.
Sambil berdiri di tempat agak gelap di depan makam Romo Yoso di kompleks padepokan itu, ia berujar tentang suasana hidup berkesenian dan tradisi budaya yang dijalani keluarga padepokan di tengah pandemi.
Disampaikannya kutipan warisan nasihat eyangnya tentang hakikat berkesenian bagi keluarga besar padepokan, di mana setiap hari berpenghidupan sebagai petani di kawasan Gunung Merapi.
"Krasa Mas. Seni ora kanggo urip, ning urip nganggo seni. (Dampak pandemi terasa bagi kesenian. Seni bukan untuk mencari penghidupan, tetapi hidup menggunakan seni, red.)," ucapnya.
Keluarga padepokan mendapatkan warisan tradisi wajib mementaskan kesenian empat kali dalam setahun, yakni saat Sura yang kemudian dinamai "Suran Tutup Ngisor", HUT RI, Idul Fitri, dan Maulud Nabi Muhammad SAW. Selama pandemi, mereka menggelar tradisi itu dengan menerapkan protokol kesehatan.
Kekuatan dasar kesenian padepokan itu berupa wayang orang. Namun, mereka juga melakukan berbagai penciptaan kesenian dan mengkreasi karya seni, serta mengembangkan ragam seni lainnya, seperti olah gerak, performa seni, teater, menari, musik, guritan, panembrama. Di antara mereka juga ada yang menjadi pengajar ekstrakurikuler kesenian di sejumlah sekolah di kawasan itu.
Di Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor, kegiatan olah seni tidak berhenti meskipun pandemi, terutama kewajiban menjalani tradisi mereka yang kental dalam jagat kesenian sebagai bagian dari kekayaan budaya lokal. Jaringan mereka ada di berbagai daerah, kota besar, dan bahkan luar negeri, termasuk kalangan akademisi.
Bahkan, Sitras menyebut tahun ini mendapatkan alokasi dana cukup besar, hingga lebih dari Rp1 miliar dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk melakukan berbagai kegiatan seni dan budaya.
"Dari seribuan usulan ke kementerian, kami ikut lolos. Dalam beberapa bulan, kami jalankan program itu, ada pementasan-pementasan dan workshop-workshop (lokakarya). Tentu saja kami terapkan protokol kesehatan," ujar dia.
Nyaris tidak nyaring terdengar dari kalangan padepokan tentang keluhan kegiatan berkesenian terasa mandek karena pandemi. Penghidupan utama sehari-hari mereka sebagai petani, sedangkan khazanah kesenian menjadi landasan kesadaran bahwa kehidupan manusia bersama lingkungan dan alam sebagai seni. Pandemi nampaknya juga mereka sadari sebagai bagian dari seni menjalani kehidupan.
Harga panenan aneka sayuran di kawasan itu yang saat ini sedang jatuh pun, barangkali mereka sikapi dengan kesadaran sebagai jalan seni hidup bertani yang mesti dihadapi.
Boleh jadi, mereka juga maklum ketika dari tempat lain tersaji kabar tentang kalangan seniman mendesak pemerintah untuk membuka kegiatan berkesenian di tengah pandemi supaya periuk tak tumbang.
Cermat
Pemerintah pun mesti cermat melihat data perkembangan penularan COVID-19 setiap hari untuk menjadi dasar pembukaan kembali kegiatan berkesenian, sebagaimana sektor-sektor kehidupan lainnya, terutama yang menyangkut perekonomian masyarakat.
Kalau sebagian kalangan seniman menempatkan dunia kesenian sebagai jalan penghidupan, maka roda kehidupan terasa perlambatannya karena pandemi. Pandemi mengakibatkan aktivitas masyarakat berkumpul dan berkerumun, termasuk untuk secara langsung hadir mengapresiasi dan menikmati karya seni, menjadi redup atau bahkan mandek. Hal itu persoalan vital yang tak mudah mereka atasi.
Meskipun demikian, marak pula berbagai aktivitas berkesenian dan berkarya seni harus ditranformasi dalam dunia digital untuk bisa dinikmati secara virtual, didukung berbagai perangkat, donasi, dan sokongan alokasi pendanaan dari pemerintah serta lembaga-lembaga berkompeten lainnya.
Hal demikian, sebagaimana Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo membuat acara "Panggung Kahanan" untuk memfasilitasi para seniman agar tetap berkarya dan menyuguhkan karya seninya secara live streaming kepada publik melalui kanal dunia maya.
Ada pula kalangan seniman yang melakukan pertunjukan dalam nuansa "mengamen" secara virtual, yang kalau dicermati tidak lepas dari sajian karya kreatif mereka yang tak mandek di tengah pandemi.
Para seniman, seperti disampaikan media daring Pemprov Jateng, diminta Ganjar tidak menyerah terhadap kondisi pandemi karena banyak cara kreatif untuk tetap eksis dengan suasana yang tidak seperti biasanya.
"Silakan pentas, tapi virtual. Saya saja menggelar pentas virtual dengan nama Panggung Kahanan, beberapa waktu lalu, itu sukses dan bisa mengumpulkan donasi Rp400 jutaan," kata dia.
Tentu saja kegundahan sebagian kalangan seniman yang merasa tidak bisa naik panggung karena pandemi, berbeda dengan para pewaris nasihat luhur Romo Yoso yang menjadikan seni sebagai penghayatan kehidupan sehari-hari untuk dihidupi terus-menerus menjadi tradisi berkesenian.
Jagat seni memang bisa untuk perangkat pencarian penghidupan. Namun, kesenian juga berhakikat kesadaran bahwa kehidupan manusia mesti disadari sebagai bagian jagat tersebut.
Kedua "genre" tersebut sama-sama berada di panggung pandemi global virus abad ini.
Langit bersih tanpa awan menghias di atas kompleks padepokan yang berdiri pada 1937 itu. Terlihat cahaya bulan nyaris sempurna menuju purnama di kawasan itu. Puncak bulan purnama jatuh Rabu (2/9), di mana mereka menjalani tradisi budaya berupa perayaan tahun baru dalam kalender Jawa, Sura.
Tahun ini sebagai tradisi "Suran Tutup Ngisor" ke-85 mereka dengan rangkaiannya selama 1-3 September 2020. Tradisi tersebut dijalani keluarga padepokan setiap pertengahan Sura, bertepatan dengan bulan purnama.
Agenda "Suran", antara lain sajian "Uyon-Uyon Candi", Selasa (1/9) malam, dilanjutkan pentas wayang sakral "Lumbung Tugu Mas", Rabu (2/9) malam. Pementasan itu sebagai puncak pelaksanaan tradisi, di mana sebelumnya dilakukan pembacaan Surat Yasin, kenduri, pemasangan sesaji di berbagai tempat di kampung itu, tirakatan, persembahan panembrama, dan beksan "Kembar Mayang".
Pada Kamis (3/9) pagi, mereka melakukan kirab jatilan keliling kampung tiga kali sebagai salah satu simbol tolak bala. Tolak bala tahun ini secara khusus terkait dengan pandemi COVID-19. Ada juga pementasan wayang topeng.
Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, kali ini mereka tidak mengundang kelompok kesenian jejaringnya di berbagai tempat untuk ikut dalam pementasan, karena menyesuaikan dengan situasi pandemi dan mematuhi protokol kesehatan.
Gamelan "Uyon-Uyon Candi" di makam tersebut ditabuh mengiringi beberapa tembang Jawa. Suasana terasa khusyuk hingga Selasa (1/9) menjelang tengah malam. Tanpa penonton.
"Ini acara keluarga (Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor, red.)," ujar penerus kepemimpinan padepokan itu, Sitras Anjilin.
Persembahan musik gamelan, disebut dia, selain untuk menghormati leluhur, juga secara khusus bagian dari doa kepada Penguasa Jagat agar warga di mana pun, terbebas dari pandemi virus corona jenis baru yang telah selama enam bulan terakhir melanda dunia.
Padepokan seni budaya itu terletak di Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, sekitar enam kilometer barat daya dari puncak Gunung Merapi. Lokasinya tak jauh dari alur Sungai Senowo yang aliran airnya berhulu di Gunung Merapi.
Tatkala para penabuh, penembang, dan sesepuh keluarga padepokan mengisi jeda sajian gamelan dengan menyeruput teh hangat, menikmati camilan khas desa, serta santap malam bersama, Widyo Sumpeno, salah seorang cucu Romo Yoso, kepada ANTARA berujar tentang warisan nasihat berkesenian dari eyangnya.
Sambil berdiri di tempat agak gelap di depan makam Romo Yoso di kompleks padepokan itu, ia berujar tentang suasana hidup berkesenian dan tradisi budaya yang dijalani keluarga padepokan di tengah pandemi.
Disampaikannya kutipan warisan nasihat eyangnya tentang hakikat berkesenian bagi keluarga besar padepokan, di mana setiap hari berpenghidupan sebagai petani di kawasan Gunung Merapi.
"Krasa Mas. Seni ora kanggo urip, ning urip nganggo seni. (Dampak pandemi terasa bagi kesenian. Seni bukan untuk mencari penghidupan, tetapi hidup menggunakan seni, red.)," ucapnya.
Keluarga padepokan mendapatkan warisan tradisi wajib mementaskan kesenian empat kali dalam setahun, yakni saat Sura yang kemudian dinamai "Suran Tutup Ngisor", HUT RI, Idul Fitri, dan Maulud Nabi Muhammad SAW. Selama pandemi, mereka menggelar tradisi itu dengan menerapkan protokol kesehatan.
Kekuatan dasar kesenian padepokan itu berupa wayang orang. Namun, mereka juga melakukan berbagai penciptaan kesenian dan mengkreasi karya seni, serta mengembangkan ragam seni lainnya, seperti olah gerak, performa seni, teater, menari, musik, guritan, panembrama. Di antara mereka juga ada yang menjadi pengajar ekstrakurikuler kesenian di sejumlah sekolah di kawasan itu.
Di Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor, kegiatan olah seni tidak berhenti meskipun pandemi, terutama kewajiban menjalani tradisi mereka yang kental dalam jagat kesenian sebagai bagian dari kekayaan budaya lokal. Jaringan mereka ada di berbagai daerah, kota besar, dan bahkan luar negeri, termasuk kalangan akademisi.
Bahkan, Sitras menyebut tahun ini mendapatkan alokasi dana cukup besar, hingga lebih dari Rp1 miliar dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk melakukan berbagai kegiatan seni dan budaya.
"Dari seribuan usulan ke kementerian, kami ikut lolos. Dalam beberapa bulan, kami jalankan program itu, ada pementasan-pementasan dan workshop-workshop (lokakarya). Tentu saja kami terapkan protokol kesehatan," ujar dia.
Nyaris tidak nyaring terdengar dari kalangan padepokan tentang keluhan kegiatan berkesenian terasa mandek karena pandemi. Penghidupan utama sehari-hari mereka sebagai petani, sedangkan khazanah kesenian menjadi landasan kesadaran bahwa kehidupan manusia bersama lingkungan dan alam sebagai seni. Pandemi nampaknya juga mereka sadari sebagai bagian dari seni menjalani kehidupan.
Harga panenan aneka sayuran di kawasan itu yang saat ini sedang jatuh pun, barangkali mereka sikapi dengan kesadaran sebagai jalan seni hidup bertani yang mesti dihadapi.
Boleh jadi, mereka juga maklum ketika dari tempat lain tersaji kabar tentang kalangan seniman mendesak pemerintah untuk membuka kegiatan berkesenian di tengah pandemi supaya periuk tak tumbang.
Cermat
Pemerintah pun mesti cermat melihat data perkembangan penularan COVID-19 setiap hari untuk menjadi dasar pembukaan kembali kegiatan berkesenian, sebagaimana sektor-sektor kehidupan lainnya, terutama yang menyangkut perekonomian masyarakat.
Kalau sebagian kalangan seniman menempatkan dunia kesenian sebagai jalan penghidupan, maka roda kehidupan terasa perlambatannya karena pandemi. Pandemi mengakibatkan aktivitas masyarakat berkumpul dan berkerumun, termasuk untuk secara langsung hadir mengapresiasi dan menikmati karya seni, menjadi redup atau bahkan mandek. Hal itu persoalan vital yang tak mudah mereka atasi.
Meskipun demikian, marak pula berbagai aktivitas berkesenian dan berkarya seni harus ditranformasi dalam dunia digital untuk bisa dinikmati secara virtual, didukung berbagai perangkat, donasi, dan sokongan alokasi pendanaan dari pemerintah serta lembaga-lembaga berkompeten lainnya.
Hal demikian, sebagaimana Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo membuat acara "Panggung Kahanan" untuk memfasilitasi para seniman agar tetap berkarya dan menyuguhkan karya seninya secara live streaming kepada publik melalui kanal dunia maya.
Ada pula kalangan seniman yang melakukan pertunjukan dalam nuansa "mengamen" secara virtual, yang kalau dicermati tidak lepas dari sajian karya kreatif mereka yang tak mandek di tengah pandemi.
Para seniman, seperti disampaikan media daring Pemprov Jateng, diminta Ganjar tidak menyerah terhadap kondisi pandemi karena banyak cara kreatif untuk tetap eksis dengan suasana yang tidak seperti biasanya.
"Silakan pentas, tapi virtual. Saya saja menggelar pentas virtual dengan nama Panggung Kahanan, beberapa waktu lalu, itu sukses dan bisa mengumpulkan donasi Rp400 jutaan," kata dia.
Tentu saja kegundahan sebagian kalangan seniman yang merasa tidak bisa naik panggung karena pandemi, berbeda dengan para pewaris nasihat luhur Romo Yoso yang menjadikan seni sebagai penghayatan kehidupan sehari-hari untuk dihidupi terus-menerus menjadi tradisi berkesenian.
Jagat seni memang bisa untuk perangkat pencarian penghidupan. Namun, kesenian juga berhakikat kesadaran bahwa kehidupan manusia mesti disadari sebagai bagian jagat tersebut.
Kedua "genre" tersebut sama-sama berada di panggung pandemi global virus abad ini.