Tumpeng Festival Lima Gunung XIX simbol tangguh hadapi pandemi
Ini (Festival Lima Gunung XIX/2020) adalah suatu nilai kehidupan yang membahagiakan karena dalam situasi sulit karena pandemi ini, tetapi kebudayaan, ritual, tradisi masyarakat tetap berjalan
Magelang, Jateng (ANTARA) - Sajian tumpeng nasi putih pada lanjutan pertunjukan Festival Lima Gunung(FLG) XIX sebagai simbol pentingnya menjaga ketangguhan sosial budaya masyarakat dalam menghadapi pandemi COVID-19, kata tokoh spiritual Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang K.H. Muhammad Yusuf Chudroli.
"Ini (Festival Lima Gunung XIX/2020) adalah suatu nilai kehidupan yang membahagiakan karena dalam situasi sulit karena pandemi ini, tetapi kebudayaan, ritual, tradisi masyarakat tetap berjalan," katanya mengawali pemotongan tumpeng nasi putih di tengah FLG XIX/2020 di Studio Mendut Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah, Sabtu (22/8) 2020.
Pemotongan tumpeng putih selain dilakukan oleh Gus Yusuf (K.H. Muhammad Yusuf Chudlori) juga dihadiri Ketua DPRD Kabupaten Magalang Saryan Adi Yanto, dan sejumlah tamu lainnya.
Tumpeng putih, tumpeng yang hanya nasi putih tanpa sayuran, lauk pauk, dan pelengkap lainnya sebagaimana tradisi tumpengan umumnya, adalah simbol seruan untuk setiap orang merefleksikan kehidupan pribadi dan sosial budayanya di tengah pandemi, di mana setiap orang harus mawas diri karena berpotensi menularkan virus atau berisiko tertular virus.
Baca juga: Festival Lima Gunung meniti suasana warga di tengah pandemi
"Dengan cara apapun, Festival Lima Gunung tetap jalan. Festival ini sudah menjadi tradisi, kalau gara-gara pandemi lalu tradisi tidak berjalan, kita tidak ingin pandemi, musibah berakhir, tradisi juga berakhir," ujar Gus Yusuf yang juga pemimpin Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo Kabupaten Magelang itu.
Ia mengemukakan pentingnya masyarakat secara bersama-sama menjaga tradisi kebudayaan.
Oleh karena saat ini situasi pandemi virus, kata dia, pelaksanaan tradisi budaya harus tetap mengutamakan penerapan protokol kesehatan. Tema festival tahun ini juga terkait dengan keterlibatan komunitas itu dalam kampanye penerapan protokol kesehatan kepada masyarakat guna mencegah penyebaran virus corona jenis baru penyebab COVID-19 itu.
FLG adalah agenda tahunan untuk kesenian dan kebudayaan yang dijalani para seniman petani yang tergabung dalam Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) di Kabupaten Magelang.
Dalam situasi pandemi COVID-19, komunitas seniman petani setempat yang dirintis budayawan Magelang Sutanto Mendut tetap menyelenggarakan festival itu secara mandiri, dengan tetap menerapkan protokol kesehatan, jumlah personel terbatas, dan mengedepakan penyelenggaraan acara secara virtual.
Festival tahun ini bertema besar "Donga Slamet Waspada Virus Dunia", dengan pembukaan pada Minggu (9/8) di kawasan Gunung Sumbing Dusun Krandegan, Desa Sukomakmur, Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang.
Baca juga: Komunitas Lima Gunung bersiasat festival di tengah pandemi
Sedangkan agenda kedua berlangsung di tempat budayawan Emha "Cak Nun" Ainun Najib di Yogyakarta pada Rabu (12/8).
Festival itu dilakukan dengan menerapkan protokol kesehatan, yang direncanakan oleh Komunitas Lima Gunung berlangsung hingga akhir tahun ini secara mandiri atau tanpa sponsor.
Lanjutan pementasan ketiga FLG XIX pada Sabtu ini berupa pertunjukan kolaborasi seni oleh penari dari Equador Cristina Duque dengan sajian performa gerak "Satu Darah" di Kali Pabelan Mati di belakang Studio Mendut dengan komposisi bunyi "Pilgrim to The East, Menuju Tanah Perdikan" dengan komposer Bambang Dwiatmoko dan Saung Suara Salatiga, serta topeng karya Khoirul "Iroel" Mutaqin (Komunitas Lima Gunung), dan kostum batik oleh Minami Kitabayashi (Jepang).
Selain itu, seniman Australia Brett Elliott berkolaborasi dengan penari Komunitas Lima Gunung Nabila Rifany menyuguhkan performa gerak topeng dan tarian api berjudul "Misteri" diiringi komposisi musik Jawa olahan seniman Brian Trinanda Kusuma Adi di tengah sesi diskusi tentang festival di berbagai negara.
Pimpinan Komunitas Pinggir Kali Kota Magelang Muhammad Nafi pada kesempatan diskusi di tengah kegiatan itu, mengemukakaan tentang festival sebagai wujud suatu perayaan dan sekaligus menggali spiritualitas kehidupan manusia sebagai kekuatan untuk menghadapi berbagai persoalan kehidupan.
"Ada spirit yang terkonstruksi menjadi nilai-nilai bersama, sebagaimana dalam komunitas ini (Komunitas Lima Gunung, red.), mereka menjalani festival tahunan dengan spirit independensi, kebersamaan. Semua punya peran yang berfungsi secara mekanis. Yang dibawa ke festival ini nilai-nilai dan kerja sama untuk dunia yang lebih baik," katanya.
Budayawan Sutanto Mendut mengemukakan Komunitas Lima Gunung menyelenggarakan festival dengan mendasarkan kepada ruang, waktu, dan lingkungan, serta kekuatan warga yang bersendikan kehidupan desa.
"Kita bisa lakukan pertunjukan di sungai, festival ini juga tanpa 'rundown' (jadwal) tetapi semua elemen bergerak. Bagi kami, festival di tengah pandemi ini juga membangun nalar baru dan karena pandemi malah menghadirkan banyak ragam inspirasi untuk melaksanakan festival hingga akhir tahun," katanya.
Baca juga: Di FLG, Komunitas Kebon Kliwon kampanye penghijauan
Baca juga: Gus Yusuf: FLG Ungkapkan Guyup Warga Desa
"Ini (Festival Lima Gunung XIX/2020) adalah suatu nilai kehidupan yang membahagiakan karena dalam situasi sulit karena pandemi ini, tetapi kebudayaan, ritual, tradisi masyarakat tetap berjalan," katanya mengawali pemotongan tumpeng nasi putih di tengah FLG XIX/2020 di Studio Mendut Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah, Sabtu (22/8) 2020.
Pemotongan tumpeng putih selain dilakukan oleh Gus Yusuf (K.H. Muhammad Yusuf Chudlori) juga dihadiri Ketua DPRD Kabupaten Magalang Saryan Adi Yanto, dan sejumlah tamu lainnya.
Tumpeng putih, tumpeng yang hanya nasi putih tanpa sayuran, lauk pauk, dan pelengkap lainnya sebagaimana tradisi tumpengan umumnya, adalah simbol seruan untuk setiap orang merefleksikan kehidupan pribadi dan sosial budayanya di tengah pandemi, di mana setiap orang harus mawas diri karena berpotensi menularkan virus atau berisiko tertular virus.
Baca juga: Festival Lima Gunung meniti suasana warga di tengah pandemi
"Dengan cara apapun, Festival Lima Gunung tetap jalan. Festival ini sudah menjadi tradisi, kalau gara-gara pandemi lalu tradisi tidak berjalan, kita tidak ingin pandemi, musibah berakhir, tradisi juga berakhir," ujar Gus Yusuf yang juga pemimpin Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo Kabupaten Magelang itu.
Ia mengemukakan pentingnya masyarakat secara bersama-sama menjaga tradisi kebudayaan.
Oleh karena saat ini situasi pandemi virus, kata dia, pelaksanaan tradisi budaya harus tetap mengutamakan penerapan protokol kesehatan. Tema festival tahun ini juga terkait dengan keterlibatan komunitas itu dalam kampanye penerapan protokol kesehatan kepada masyarakat guna mencegah penyebaran virus corona jenis baru penyebab COVID-19 itu.
FLG adalah agenda tahunan untuk kesenian dan kebudayaan yang dijalani para seniman petani yang tergabung dalam Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) di Kabupaten Magelang.
Dalam situasi pandemi COVID-19, komunitas seniman petani setempat yang dirintis budayawan Magelang Sutanto Mendut tetap menyelenggarakan festival itu secara mandiri, dengan tetap menerapkan protokol kesehatan, jumlah personel terbatas, dan mengedepakan penyelenggaraan acara secara virtual.
Festival tahun ini bertema besar "Donga Slamet Waspada Virus Dunia", dengan pembukaan pada Minggu (9/8) di kawasan Gunung Sumbing Dusun Krandegan, Desa Sukomakmur, Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang.
Baca juga: Komunitas Lima Gunung bersiasat festival di tengah pandemi
Sedangkan agenda kedua berlangsung di tempat budayawan Emha "Cak Nun" Ainun Najib di Yogyakarta pada Rabu (12/8).
Festival itu dilakukan dengan menerapkan protokol kesehatan, yang direncanakan oleh Komunitas Lima Gunung berlangsung hingga akhir tahun ini secara mandiri atau tanpa sponsor.
Lanjutan pementasan ketiga FLG XIX pada Sabtu ini berupa pertunjukan kolaborasi seni oleh penari dari Equador Cristina Duque dengan sajian performa gerak "Satu Darah" di Kali Pabelan Mati di belakang Studio Mendut dengan komposisi bunyi "Pilgrim to The East, Menuju Tanah Perdikan" dengan komposer Bambang Dwiatmoko dan Saung Suara Salatiga, serta topeng karya Khoirul "Iroel" Mutaqin (Komunitas Lima Gunung), dan kostum batik oleh Minami Kitabayashi (Jepang).
Selain itu, seniman Australia Brett Elliott berkolaborasi dengan penari Komunitas Lima Gunung Nabila Rifany menyuguhkan performa gerak topeng dan tarian api berjudul "Misteri" diiringi komposisi musik Jawa olahan seniman Brian Trinanda Kusuma Adi di tengah sesi diskusi tentang festival di berbagai negara.
Pimpinan Komunitas Pinggir Kali Kota Magelang Muhammad Nafi pada kesempatan diskusi di tengah kegiatan itu, mengemukakaan tentang festival sebagai wujud suatu perayaan dan sekaligus menggali spiritualitas kehidupan manusia sebagai kekuatan untuk menghadapi berbagai persoalan kehidupan.
"Ada spirit yang terkonstruksi menjadi nilai-nilai bersama, sebagaimana dalam komunitas ini (Komunitas Lima Gunung, red.), mereka menjalani festival tahunan dengan spirit independensi, kebersamaan. Semua punya peran yang berfungsi secara mekanis. Yang dibawa ke festival ini nilai-nilai dan kerja sama untuk dunia yang lebih baik," katanya.
Budayawan Sutanto Mendut mengemukakan Komunitas Lima Gunung menyelenggarakan festival dengan mendasarkan kepada ruang, waktu, dan lingkungan, serta kekuatan warga yang bersendikan kehidupan desa.
"Kita bisa lakukan pertunjukan di sungai, festival ini juga tanpa 'rundown' (jadwal) tetapi semua elemen bergerak. Bagi kami, festival di tengah pandemi ini juga membangun nalar baru dan karena pandemi malah menghadirkan banyak ragam inspirasi untuk melaksanakan festival hingga akhir tahun," katanya.
Baca juga: Di FLG, Komunitas Kebon Kliwon kampanye penghijauan
Baca juga: Gus Yusuf: FLG Ungkapkan Guyup Warga Desa