Gus Yusuf: FLG Ungkapkan Guyup Warga Desa
Magelang, ANTARA JATENG - Penyelenggaraan Festival Lima Gunung Kabupaten Magelang, Jateng, yang pada 2017 sebagai tahun ke-16 mengungkapkan keguyupan warga desa yang terus dijaga, kata pengasuh Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo KH Muhammad Yusuf Chudlori (Gus Yusuf).
"Kita semua `bungah` (bahagia, red.) dengan Festival Lima Gunung, setiap tahun diadakan. Ini wujud guyup rukun, wujud silaturahim warga," katanya di Magelang, Jumat sore.
Ia mengatakan hal itu saat pengajian bersama warga untuk meresmikan hasil pembangunan masjid Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, di kawasan Gunung Merbabu yang pada tahun ini sebagai tuan rumah Festival Lima Gunung.
Pengajian itu menjadi bagian dari festival yang secara mandiri diselenggarakan para seniman petani yang tergabung dalam Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Kabupaten Magelang. Festival tahun ini berlangsung pada 28-30 Juli 2017.
Semangat guyup rukun warga, ujarnya, sebagai pelajaran penting bagi kepentingan menjaga kehidupan bersama mereka pada masa-masa mendatang.
"Persatuan dan kesatuan itu sekarang `larang regane` (mahal harganya)," ujar Gus Yusuf yang juga pemimpin spiritual Komunitas Lima Gunung itu.
Ia menyatakan bersyukur karena hingga saat ini tradisi berkumpul warga desa masih kuat. Mereka mewarisi tradisi budaya berkumpul yang telah dimulai dan ditanamkan oleh para pendahulu atau nenek moyang bangsa.
"Alhamdulilah kita masih kumpul. Guyup rukun Indonesia karena ditopang tradisi dari orang tua kita, ada nyadran, kenduri, mitoni, syawalan, saparan. Itu isinya tradisi kumpul, memperlihatkan silaturahim," katanya.
Tradisi yang diwariskan nenek moyang, ujarnya, selalu ditandai dengan doa, sedekah, dan berkesenian yang juga menjadi kekuatan tolak balak atau membebaskan kehidupan masyarakat dari musibah.
Pada kesempatan itu, Gus Yusuf mengingatkan umat Islam, terutama yang mengikuti pengajian di Panggung Garuda Festival Lima Gunung XVI di halaman rumah warga setempat tersebut, untuk mengikuti ajaran Islam yang disampaikan para kiai di desa, imam langgar dan masjid, para guru mengaji di kampung.
"Kita tidak usah terpengaruh aneh-aneh, panutan kita kiai-kiai, imam langgar dan masjid, guru ngaji di kampung-kampung. Kiai-kiai di desa-desa, imam langgar dan masjid, mbah kaum, saya percaya doa mereka lebih mujarab karena mereka lebih istikhamah," ujarnya.
Ia mengajak masyarakat desa secara bersama-sama selalu menjaga keamanan dan kerukunan karena menjadi kekuatan penangkal terhadap paham-paham kekerasan.
"Kalau ada yang masukkan paham `gegeran`, kekerasan, tidak usah diikuti. Kita pakai Islam yang sudah jalan, tinggalan mbah-mbah, para wali. Islam yang menjadikan tenteram," katanya.
Sedikitnya 60 kelompok seniman dari kalangan Komunitas Lima Gunung dan jejaringnya dari sejumlah kota mengikuti Festival Lima Gunung XVI yang antara lain berupa pentas tarian tradisional dan kontemporer, musik, performa seni, pidato kebudayaan, dan kirab budaya.
Warga Gejayan menyiapkan sedikitnya 40 rumah mereka untuk menginap secara gratis kepada para tamu dari berbagai kota yang hendak mengikuti festival tersebut.
"Kita semua `bungah` (bahagia, red.) dengan Festival Lima Gunung, setiap tahun diadakan. Ini wujud guyup rukun, wujud silaturahim warga," katanya di Magelang, Jumat sore.
Ia mengatakan hal itu saat pengajian bersama warga untuk meresmikan hasil pembangunan masjid Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, di kawasan Gunung Merbabu yang pada tahun ini sebagai tuan rumah Festival Lima Gunung.
Pengajian itu menjadi bagian dari festival yang secara mandiri diselenggarakan para seniman petani yang tergabung dalam Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Kabupaten Magelang. Festival tahun ini berlangsung pada 28-30 Juli 2017.
Semangat guyup rukun warga, ujarnya, sebagai pelajaran penting bagi kepentingan menjaga kehidupan bersama mereka pada masa-masa mendatang.
"Persatuan dan kesatuan itu sekarang `larang regane` (mahal harganya)," ujar Gus Yusuf yang juga pemimpin spiritual Komunitas Lima Gunung itu.
Ia menyatakan bersyukur karena hingga saat ini tradisi berkumpul warga desa masih kuat. Mereka mewarisi tradisi budaya berkumpul yang telah dimulai dan ditanamkan oleh para pendahulu atau nenek moyang bangsa.
"Alhamdulilah kita masih kumpul. Guyup rukun Indonesia karena ditopang tradisi dari orang tua kita, ada nyadran, kenduri, mitoni, syawalan, saparan. Itu isinya tradisi kumpul, memperlihatkan silaturahim," katanya.
Tradisi yang diwariskan nenek moyang, ujarnya, selalu ditandai dengan doa, sedekah, dan berkesenian yang juga menjadi kekuatan tolak balak atau membebaskan kehidupan masyarakat dari musibah.
Pada kesempatan itu, Gus Yusuf mengingatkan umat Islam, terutama yang mengikuti pengajian di Panggung Garuda Festival Lima Gunung XVI di halaman rumah warga setempat tersebut, untuk mengikuti ajaran Islam yang disampaikan para kiai di desa, imam langgar dan masjid, para guru mengaji di kampung.
"Kita tidak usah terpengaruh aneh-aneh, panutan kita kiai-kiai, imam langgar dan masjid, guru ngaji di kampung-kampung. Kiai-kiai di desa-desa, imam langgar dan masjid, mbah kaum, saya percaya doa mereka lebih mujarab karena mereka lebih istikhamah," ujarnya.
Ia mengajak masyarakat desa secara bersama-sama selalu menjaga keamanan dan kerukunan karena menjadi kekuatan penangkal terhadap paham-paham kekerasan.
"Kalau ada yang masukkan paham `gegeran`, kekerasan, tidak usah diikuti. Kita pakai Islam yang sudah jalan, tinggalan mbah-mbah, para wali. Islam yang menjadikan tenteram," katanya.
Sedikitnya 60 kelompok seniman dari kalangan Komunitas Lima Gunung dan jejaringnya dari sejumlah kota mengikuti Festival Lima Gunung XVI yang antara lain berupa pentas tarian tradisional dan kontemporer, musik, performa seni, pidato kebudayaan, dan kirab budaya.
Warga Gejayan menyiapkan sedikitnya 40 rumah mereka untuk menginap secara gratis kepada para tamu dari berbagai kota yang hendak mengikuti festival tersebut.