Jakarta (ANTARA) - Sekretaris Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) DPR Sukamta menilai harga rokok di Indonesia terlalu murah sehingga bisa dijangkau masyarakat miskin yang biaya kesehatannya ditanggung negara melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
"Seharusnya harga rokok di Indonesia dinaikkan sampai 700 persen. Jadi orang miskin dilarang merokok karena sakitnya ditanggung negara," kata Sukamta di Jakarta, Kamis.
Harga rokok terendah saat ini sekitar Rp10.000/bungkus isi 12 batang, sedangkan harga rokok merek terkenal seperti Sampoerna Mild dan Marlboro menyentuh Rp25.000/bungkus. Harga rokok segmen menengah dalam kisaran Rp15.000-18.000/bungkus.
Baca juga: Blokir iklan rokok dibarengi kampanye hidup sehat
Baca juga: Lima kawasan di Solo ini bebas asap rokok total
Sukamta mengatakan orang-orang yang sudah kecanduan merokok dan mampu membeli rokok yang mahal, silakan tetap merokok asal menanggung sendiri biaya pengobatan akibat penyakit karena rokok.
Yang penting, dampak buruk akibat konsumsi rokok tidak membebani negara karena pemasukan dari cukai tembakau tidak sebanding dengan biaya kesehatan yang harus dikeluarkan negara.
"Selama ini negara menoleransi rokok karena berharap pemasukan dari cukai tembakau. Di era JKN saat ini, negara semakin mudah menghitung biaya pengobatan penyakit akibat rokok dan memang tidak sebanding dengan cukai yang diterima," tuturnya.
Belum lagi bila bicara aspek peluang produktivitas yang hilang karena seseorang sakit akibat rokok di usia produktif. Sukamta mengatakan nilai peluang kehilangan produktivitas lebih besar daripada biaya pengobatan yang harus ditanggung.
Menurut Sukamta, permasalahan rokok bukan lagi persoalan kesehatan masyarakat. Isu tembakau telah bergeser menjadi persoalan bisnis dan politik.
"Ada politisi di Indonesia yang mendapat dukungan dari industri tembakau. Itu menjadi salah satu persoalan pengendalian tembakau di Indonesia," katanya.