Magelang (ANTARA) - Nyadran, tradisi budaya masyarakat Jawa sebelum bulan Ramadhan. Mereka berziarah ke pemakaman leluhur dan keluarganya selama bulan Ruwah ini.
Suasana masyarakat menjalani nyadran terasa kental di kampung dan dusun. Apalagi di masyarakat yang tinggal di kawasan gunung-gunung. Nyadran menjadi salah satu wajah autentik desa.
Setiap dusun memiliki kalender desa masing-masing untuk masyarakatnya bersama-sama menjalani tradisi itu. Berdasarkan kalender desa itu, mereka pergi ke pemakaman dusun yang biasanya tak jauh-jauh dari pemukiman warga.
Dengan membawa "ubarampe" (perlengkapan), warga menuju pemakaman. Bahkan, anggota mereka yang merantau pun ada yang pulang ke kampung halamannya untuk nyadran.
"Ubarampe" utama dalam tradisi itu, selain berupa bunga tabur juga kenduri yang isinya, antara lain ingkung, nasi tumpeng, dan lauk-pauk. Setiap keluarga membawa "ubarampe" itu dalam tenong. Dalam tradisi itu, mereka berdoa bersama-sama di pemakaman dengan dipimpin ulama setempat.
Selain untuk mendoakan leluhur desa dan keluarga yang telah berpulang, tradisi itu sesungguhnya juga peristiwa batiniah setiap manusia untuk mengingat bahwa dirinya kelak juga berpulang, kembali ke tanah.
Tradisi ini mungkin boleh dikatakan sebagai suatu peristiwa retret warga untuk bersiap memasuki masa puasa selama bulan suci Ramadhan. Melalui nyadran, mereka kembali ke kesadaran tentang asal muasal kehidupannya.
Setelah gelombang hiruk pikuk pesta demokrasi yang sempat membelah komunitas warga karena perbedaan pilihan politik, tradisi nyadran juga diharapkan bisa mendinginkan panasnya suhu perpolitikan selama ini.
Dalam khusyuk doa dan keheningan pemakaman dusun, mereka bersama-sama melepaskan ketegangan karena perbedaan pilihan politik. Mereka bersama-sama kembali menganyam tanggung jawab merawat dan meruwat kehidupan, baik dalam bertetangga, bersaudara, serta bersanak kadang.
Sepertinya, nyadran tahun ini beroleh momentum tepat pascapemilu, karena secara kultural tradisi tersebut mendinginkan suasana dan mengembalikan kebersamaan masyarakat.
Setelah Ruwah dengan tradisi nyadrannya, mereka memasuki Ramadhan. Masyarakat menjalani pembersihan diri melalui matiraga dan takzimnya doa-doa, untuk kembali kepada jiwa-raga yang bening. Fitri.