Semarang (Antaranews Jateng) - Pusat data jangan diumbar ke luar negeri karena ada potensi bangsa ini dijajah oleh asing, kata Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi CISSReC Doktor Pratama Persadha.
Pratama yang juga pakar keamanan siber melalui surat elektroniknya kepada Antara di Semarang, Sabtu, menjelaskan bahwa potensi tersebut benar-benar akan menjadi kenyataan apabila server atau pusat data ini bebas dibangun di luar negeri.
Pernyataan Pratama itu merespons pernyataan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara terkait dengan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.
Dalam Pasal 17 dalam PP tersebut menyebutkan soal penempatan data harus di Indonesia. Sementara itu, kata Pratama, Menkominfo menyatakan penempatan pusat data atau server tidak perlu di Indonesia karena tidak efisien.
"Bila pasal tentang kewajiban membangun pusat data di Tanah Air direvisi, lalu instrumen apa yang melindungi warga negara dan juga data negara di luar negeri?" kata Pratama.
Pratama lantas mencontohkan peresmian peladen (server) milik Telkom di Singapura pada tahun 2016 oleh Menteri BUMN Rini Suwandi. Hal ini sangat disesalkan sebab secara hukum jelas bahwa pusat data yang dibangun di luar negeri harus ikuti aturan main di negara tersebut.
"Belum lagi, masalah pengelolaan yang jelas negara tempat lokasi server sangat diuntungkan karena punya akses fisik langsung, jelas ini sangat berisiko," kata Pratama.
Rencana merevisi Pasal 17 PP No. 82/2012, menurut dia, menunjukkan pihak terkait masih enggan membangun infrastruktur siber di dalam negeri. Padahal, pembangunan peladen dengan level dan teknologi terkini sangat diharapkan bisa direalisasikan di dalam negeri.
"Efeknya akan mengerek partisipasi masyarakat dalam pembangunan ketahanan siber di Tanah Air," kata Pratama yang didampingi Manajer Hubungan Masyarakat Communication and Information System Security Research Center (CISSReC) Ibnu Dwi Cahyo.
Terkoneksi Lewat Internet
Ia mengungkapkan bahwa masyarakat makin terkonekasi satu sama lain lewat internet. Begitu pula, Pemerintah mencanangkan e-Government. Hal ini artinya banyak lalu lintas data penting dan disimpan di peladen.
"Bayangkan data-data penting itu lari ke luar negeri, jelas berbahaya. Apalagi, pusat data juga terkait erat dengan perlindungan data pribadi," kata pria asal Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah ini.
Pratama mencontohkan Uni Eropa sudah mengesahkan General Data Protection Regulation (GDPR) untuk melindungi data warganya di luar negeri.
"Uni Eropa dan Amerika Serikat bergerak cepat mengamankan data serta mendorong membangun server di negaranya, kita malah melonggarkan," kata Pratama.
Bila ingin meningkatkan ekonomi digital, menurut dia, seharusnya juga infrastruktur internet diperkuat saja. Hal itu juga akan menyerap tenaga kerja lokal relatif cukup banyak.
Sebenarnya, kata Pratama, kedaulatan informasi tidak hanya menyangkut posisi geografis server, tetapi juga bahwa informasi yang di dalamnya bisa diakses.
"Percuma mewajibkan Facebook atau Google menempatkan server di sini, tetapi tetap informasi yang berada di dalamnya tidak bisa kita akses," katanya.
Seharusnya terdapat klasifikasi tentang informasi yang berada di dalam server. Jika informasi yang berada di server merupakan informasi yang tingkat kerahasiaan (confidentiality) tinggi, wajib berada di Indonesia.