Semarang (ANTARA) - Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu menjadikan Vita Azahra, putri pasangan suami istri tunanetra yang tertolak Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) SMA 2024 jalur afirmasi sebagai anak asuhnya.
Perempuan yang akrab disapa Ita itu mendatangi kediaman Vita, disambut oleh kedua orang tuanya, yakni Warsito (39) dan Uminiya (42) di rumah kontrakan Jalan Gondang Raya 17, Kelurahan Tembalang, Kecamatan Tembalang, Kota Semarang, Jawa Tengah, Jumat.
Di rumah sewa keluarga kecil yang sempit itu, Ita memastikan pendidikan Vita Azahra ditanggung pemerintah, baik Provinsi Jawa Tengah maupun Kota Semarang.
"Saya mewakili Pemerintah Kota Semarang dan pribadi mengangkat Vita menjadi anak asuh saya lewat program Gerbang Harapan," katanya.
Lewat program itu, Ita kini telah menjadi orang tua asuh dari dua anak, satunya lagi anak perempuan dari Papua yang masih duduk di bangku sekolah dasar.
Program Gerbang Harapan (Gerakan Bersama Orang Tua Asuh untuk Pengembangan Hari Masa Depan) merupakan program untuk menekan angka putus sekolah.
Caranya, masyarakat Kota Semarang yang berkecukupan diajak untuk menjadi orang tua asuh bagi anak kurang mampu.
Sementara ini, Gerbang Harapan berfokus pada pemenuhan kebutuhan penunjang sekolah seperti seragam, buku-buku, hingga alat tulis siswa-siswi dan uang saku.
Meski demikian, Ita menjelaskan bahwa pembiayaan sekolah remaja putri yang sudah ditanggung Pemerintah Provinsi Jawa Tengah itu juga menjadi perhatiannya.
Pemprov Jawa Tengah telah mendaftarkan Vita dan menanggung seluruh biaya di SMA Mardisiswa Semarang, namun Ita mengatakan tetap akan menyokong pembiayaan selama siswi itu sekolah.
Pemerintah Kota Semarang akan berkomunikasi dengan Penjabat Gubernur Jateng Nana Sudjana mengenai pembiayaan uang gedung, hingga sumbangan pembinaan pendidikan (SPP).
"Nanti kami sinergi, dan kolaborasi mungkin kalau Pemprov Jateng soal SPP, kami nanti uang bulanannya, tetapi kalau Pemprov bilang diambil alih Kota Semarang, maka kami akan ambil alih," katanya.
Ke depan, Ita akan melakukan komunikasi intens terkait upaya menekan angka putus sekolah dengan Pemprov Jateng.
"Mungkin di luar sana masih ada Vita-Vita lainnya yang harus ditangani dengan kolaborasi," katanya.
Sebelumnya, seorang calon siswi bernama Vita Azahra di Kota Semarang terancam tak bisa sekolah lewat jalur afirmasi lantaran terkendala Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) Kementerian Sosial.
Kedua orang tuanya, Warsito (39) dan Uminiya (42) hanya bekerja sebagai tukang pijat di rumah kontrakan kecil di Jalan Gondang Raya, Kecamatan Tembalang.
Dengan kondisi keluarganya, Vita seharusnya masuk kategori P1 (miskin ekstrem), tetapi pada DTKS Kementerian Sosial tercatat sebagai P4 (rentan miskin).
Sedangkan kriteria yang masuk dalam sistem PPDB 2024 pada jalur afirmasi hanya tiga yaitu, P1 (miskin ekstrem), P2 (sangat miskin), dan P3 (miskin) sehingga membuat Vita gagal mendaftar PPDB SMA/SMK Jateng.
Baca juga: Pemkot Semarang jamin pendidikan anak pasutri tunanetra tertolak PPDB
Perempuan yang akrab disapa Ita itu mendatangi kediaman Vita, disambut oleh kedua orang tuanya, yakni Warsito (39) dan Uminiya (42) di rumah kontrakan Jalan Gondang Raya 17, Kelurahan Tembalang, Kecamatan Tembalang, Kota Semarang, Jawa Tengah, Jumat.
Di rumah sewa keluarga kecil yang sempit itu, Ita memastikan pendidikan Vita Azahra ditanggung pemerintah, baik Provinsi Jawa Tengah maupun Kota Semarang.
"Saya mewakili Pemerintah Kota Semarang dan pribadi mengangkat Vita menjadi anak asuh saya lewat program Gerbang Harapan," katanya.
Lewat program itu, Ita kini telah menjadi orang tua asuh dari dua anak, satunya lagi anak perempuan dari Papua yang masih duduk di bangku sekolah dasar.
Program Gerbang Harapan (Gerakan Bersama Orang Tua Asuh untuk Pengembangan Hari Masa Depan) merupakan program untuk menekan angka putus sekolah.
Caranya, masyarakat Kota Semarang yang berkecukupan diajak untuk menjadi orang tua asuh bagi anak kurang mampu.
Sementara ini, Gerbang Harapan berfokus pada pemenuhan kebutuhan penunjang sekolah seperti seragam, buku-buku, hingga alat tulis siswa-siswi dan uang saku.
Meski demikian, Ita menjelaskan bahwa pembiayaan sekolah remaja putri yang sudah ditanggung Pemerintah Provinsi Jawa Tengah itu juga menjadi perhatiannya.
Pemprov Jawa Tengah telah mendaftarkan Vita dan menanggung seluruh biaya di SMA Mardisiswa Semarang, namun Ita mengatakan tetap akan menyokong pembiayaan selama siswi itu sekolah.
Pemerintah Kota Semarang akan berkomunikasi dengan Penjabat Gubernur Jateng Nana Sudjana mengenai pembiayaan uang gedung, hingga sumbangan pembinaan pendidikan (SPP).
"Nanti kami sinergi, dan kolaborasi mungkin kalau Pemprov Jateng soal SPP, kami nanti uang bulanannya, tetapi kalau Pemprov bilang diambil alih Kota Semarang, maka kami akan ambil alih," katanya.
Ke depan, Ita akan melakukan komunikasi intens terkait upaya menekan angka putus sekolah dengan Pemprov Jateng.
"Mungkin di luar sana masih ada Vita-Vita lainnya yang harus ditangani dengan kolaborasi," katanya.
Sebelumnya, seorang calon siswi bernama Vita Azahra di Kota Semarang terancam tak bisa sekolah lewat jalur afirmasi lantaran terkendala Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) Kementerian Sosial.
Kedua orang tuanya, Warsito (39) dan Uminiya (42) hanya bekerja sebagai tukang pijat di rumah kontrakan kecil di Jalan Gondang Raya, Kecamatan Tembalang.
Dengan kondisi keluarganya, Vita seharusnya masuk kategori P1 (miskin ekstrem), tetapi pada DTKS Kementerian Sosial tercatat sebagai P4 (rentan miskin).
Sedangkan kriteria yang masuk dalam sistem PPDB 2024 pada jalur afirmasi hanya tiga yaitu, P1 (miskin ekstrem), P2 (sangat miskin), dan P3 (miskin) sehingga membuat Vita gagal mendaftar PPDB SMA/SMK Jateng.
Baca juga: Pemkot Semarang jamin pendidikan anak pasutri tunanetra tertolak PPDB