Semarang (ANTARA) - Peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) ke-28 tahun 2021, BKKBN bertekad wujudkan keluarga berkualitas dan hal tersebut sesuai dengan tema Harganas tahun ini yakni Keluarga Keren, Cegah Stunting.
Kegiatan yang dihadiri kepala daerah baik gubernur, wali kota/bupati, kepala dinas, dan para pengelola Program Pembangunan Keluarga, Kependudukan, dan Keluarga Berencana (Bangga Kencana) di seluruh Indonesia secara virtual, Senin (21/6) tersebut dimaksudkan untuk mensinergikan gerak dan langkah keluarga untuk mencegah stunting.
"Sesuai dengan amanat Presiden RI Bapak Joko Widodo kepada BKKBN sebagai Ketua Pelaksana Percepatan dan Penurunan Stunting di
Indonesia, dihadapkan pada permasalahan data hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, menunjukkan penurunan prevalensi stunting Balita di tingkat nasional hanya sebesar 6,4 persen selama periode 5 tahun, yaitu dari 37,2 persen (2013) menjadi 30,8 persen (2018)," kata Kepala BKKBN Hasto Wardoyo.
Sedangkan untuk balita normal, lanjut Hasto, terjadi peningkatan dari 48,6 persen (2013) menjadi 57,8 persen (2018) dan Indonesia tercatat sebagai salah satu dari 17 negara yang mengalami beban ganda gizi, baik kelebihan maupun kekurangan gizi.
"Di kawasan Asia Tenggara, prevalensi stunting di Indonesia merupakan tertinggi kedua, setelah Kamboja. Stunting atau sering disebut kerdil atau pendek adalah kondisi gagal tumbuh pada anak berusia di bawah lima tahun (balita) akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang terutama pada periode 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) yaitu dari janin hingga anak berusia 23 bulan," katanya.
Ia menjelaskan anak tergolong stunting apabila panjang atau tinggi badannya berada di bawah minus dua standar deviasi panjang atau tinggi anak seumurnya, balita/baduta (bayi di bawah usia dua tahun) yang mengalami stunting akan memiliki tingkat kecerdasan tidak maksimal,
menjadikan anak lebih rentan terhadap penyakit dan di masa depan dapat berisiko pada menurunnya tingkat produktivitas.
"Pada akhirnya secara luas stunting akan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan, dan memperlebar ketimpangan. Pengalaman dan bukti internasional menunjukkan stunting dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan menurunkan produktivitas pasar kerja, sehingga mengakibatkan hilangnya 11 persen GDP (Gross Domestic Products) serta mengurangi pendapatan pekerja dewasa hingga 20 persen," katanya.
Selain itu, tambahnya, stunting juga dapat berkontribusi pada melebarnya kesenjangan/inequality, sehingga mengurangi 10 persen dari total
pendapatan seumur hidup dan juga menyebabkan kemiskinan antar-generasi dan dalam pencegahan stunting perlu dititikberatkan pada penanganan penyebab masalah gizi yang langsung maupun tidak langsung.
Penyebab langsung mencakup masalah kurangnya asupan gizi dan penyakit infeksi, sementara penyebab tidak langsung mencakup ketahanan pangan (akses pangan bergizi), lingkungan sosial (pemberian makanan bayi dan anak, kebersihan, pendidikan, dan tempat kerja), lingkungan
kesehatan (akses pelayanan preventif dan kuratif), dan lingkungan pemukiman (akses air bersih, air minum, dan sarana sanitasi).
Keempat faktor tidak langsung tersebut mempengaruhi asupan gizi dan status kesehatan ibu dan anak, intervensi terhadap
keempat faktor penyebab tidak langsung diharapkan dapat mencegah masalah gizi.
Dalam penanganan stunting, tegas Hasto, keluarga merupakan komponen utama yang sangat berperan dalam pencegahan maupun penanggulangannya, karena masalah gizi, sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup keluarga, yaitu praktik pengasuhan yang kurang baik, termasuk kurangnya pengetahuan ibu mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan, serta setelah ibu melahirkan dan masih kurangnya akses rumah tangga/keluarga untuk mengkonsumsi makanan bergizi.
"Melalui keluarga diharapkan dapat mewujudkan SDM unggul menuju Indonesia maju. Ini tugas kita bersama dan saya mengajak seluruh masyarakat saling bahu membahu, hidup saling bergotong-royong dalam mengatasi permasalahan yang ada. Kita harus percaya dan yakin bisa mengatasi permasalahan stunting dan pencegahan pandemi COVID-19 secara bersama-sama," tutup Hasto.
Kegiatan yang dihadiri kepala daerah baik gubernur, wali kota/bupati, kepala dinas, dan para pengelola Program Pembangunan Keluarga, Kependudukan, dan Keluarga Berencana (Bangga Kencana) di seluruh Indonesia secara virtual, Senin (21/6) tersebut dimaksudkan untuk mensinergikan gerak dan langkah keluarga untuk mencegah stunting.
"Sesuai dengan amanat Presiden RI Bapak Joko Widodo kepada BKKBN sebagai Ketua Pelaksana Percepatan dan Penurunan Stunting di
Indonesia, dihadapkan pada permasalahan data hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, menunjukkan penurunan prevalensi stunting Balita di tingkat nasional hanya sebesar 6,4 persen selama periode 5 tahun, yaitu dari 37,2 persen (2013) menjadi 30,8 persen (2018)," kata Kepala BKKBN Hasto Wardoyo.
Sedangkan untuk balita normal, lanjut Hasto, terjadi peningkatan dari 48,6 persen (2013) menjadi 57,8 persen (2018) dan Indonesia tercatat sebagai salah satu dari 17 negara yang mengalami beban ganda gizi, baik kelebihan maupun kekurangan gizi.
"Di kawasan Asia Tenggara, prevalensi stunting di Indonesia merupakan tertinggi kedua, setelah Kamboja. Stunting atau sering disebut kerdil atau pendek adalah kondisi gagal tumbuh pada anak berusia di bawah lima tahun (balita) akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang terutama pada periode 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) yaitu dari janin hingga anak berusia 23 bulan," katanya.
Ia menjelaskan anak tergolong stunting apabila panjang atau tinggi badannya berada di bawah minus dua standar deviasi panjang atau tinggi anak seumurnya, balita/baduta (bayi di bawah usia dua tahun) yang mengalami stunting akan memiliki tingkat kecerdasan tidak maksimal,
menjadikan anak lebih rentan terhadap penyakit dan di masa depan dapat berisiko pada menurunnya tingkat produktivitas.
"Pada akhirnya secara luas stunting akan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan, dan memperlebar ketimpangan. Pengalaman dan bukti internasional menunjukkan stunting dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan menurunkan produktivitas pasar kerja, sehingga mengakibatkan hilangnya 11 persen GDP (Gross Domestic Products) serta mengurangi pendapatan pekerja dewasa hingga 20 persen," katanya.
Selain itu, tambahnya, stunting juga dapat berkontribusi pada melebarnya kesenjangan/inequality, sehingga mengurangi 10 persen dari total
pendapatan seumur hidup dan juga menyebabkan kemiskinan antar-generasi dan dalam pencegahan stunting perlu dititikberatkan pada penanganan penyebab masalah gizi yang langsung maupun tidak langsung.
Penyebab langsung mencakup masalah kurangnya asupan gizi dan penyakit infeksi, sementara penyebab tidak langsung mencakup ketahanan pangan (akses pangan bergizi), lingkungan sosial (pemberian makanan bayi dan anak, kebersihan, pendidikan, dan tempat kerja), lingkungan
kesehatan (akses pelayanan preventif dan kuratif), dan lingkungan pemukiman (akses air bersih, air minum, dan sarana sanitasi).
Keempat faktor tidak langsung tersebut mempengaruhi asupan gizi dan status kesehatan ibu dan anak, intervensi terhadap
keempat faktor penyebab tidak langsung diharapkan dapat mencegah masalah gizi.
Dalam penanganan stunting, tegas Hasto, keluarga merupakan komponen utama yang sangat berperan dalam pencegahan maupun penanggulangannya, karena masalah gizi, sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup keluarga, yaitu praktik pengasuhan yang kurang baik, termasuk kurangnya pengetahuan ibu mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan, serta setelah ibu melahirkan dan masih kurangnya akses rumah tangga/keluarga untuk mengkonsumsi makanan bergizi.
"Melalui keluarga diharapkan dapat mewujudkan SDM unggul menuju Indonesia maju. Ini tugas kita bersama dan saya mengajak seluruh masyarakat saling bahu membahu, hidup saling bergotong-royong dalam mengatasi permasalahan yang ada. Kita harus percaya dan yakin bisa mengatasi permasalahan stunting dan pencegahan pandemi COVID-19 secara bersama-sama," tutup Hasto.