Semarang (ANTARA) -
Dalam uji sahih yang berlangsung secara daring dan luring, di Semarang, Senin, Sekretaris Umum DPN Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) Budi Kristiawan menyoroti poin yang dipersoalkan dalam draf yang dibahas di antaranya tentang masa jabatan perangkat desa yang disamakan dengan jabatan kepala desa.
"Padahal aturan UU di atasnya mengatur jika masa jabatan perangkat desa dibolehkan sampai batas usia 60 tahun atau mengundurkan diri," katanya.
Baca juga: Muqowam: Perlu pemahaman utuh UU Desa untuk hindari benturan regulasi
Menurut dia, hal itu menyalahi aturan di atasnya serta ada aturan yang ambigu seperti badan permusyawarahan desa yang selama ini sudah dilaksanakan perangkat desa dan kades ketika ada masalah soal warga desa.
"Kita perlu penguatan dan dukungan agar tidak ada intervensi atau bertabrakan dengan kecamatan atau pemkab," ujarnya.
Ia mengatakan pihaknya telah mengajukan Daftar Invertaris Masalah (DIM) kepada DPD RI, namun tetap saja dalam draf rancangan ini masih ada sehingga disayangkan karena tidak memperhatikan aspirasi DPN PPDI.
"Kami telah menyampaikan agar tuntutan diakomodasi, setidaknya ada enam poin di antaranya peningkatan kesejahteraan perangkat desa minimal setara gaji PNS golongan 2A karena selama ini digaji sebesar UMK daerah masing-masing," kata Budi.
Akademisi dari Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga Umbu Rauta menyebutkan ada beberapa poin dalam draf RUU Perubahan Kedua UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yakni mengenai pimpinan perangkat desa yang dianggap kurang tepat karena sudah ada seketaris desa dan kepala desa.
Kemudian soal masa jabatan perangkat desa yang disamakan dengan kades, yakni setiap enam tahun sekali diganti, kata dia.
Ia menilai hal itu kurang efektif dan mengurangi marwah dari struktur desa, apalagi harus dilakukan penguatan kelembagaan desa dan kewenangan perangkat desa.
Salah satu yang harus dipahami bersama, lanjut dia, adalah titik temu dalam pembahasan RUU Perubahan UU Desa yakni keberagaman lebih dari 77 ribu desa se-Indonesia.
"Dalam pembahasannya Komite I DPD RI harus mendengarkan banyak masukan. Salah satu contoh soal pemilihan kepala desa yang tidak harus melibatkan semua warga, namun hanya dengan tokoh masyarakat desa yang harus dimatangkan," ujarnya.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Komite I DPD RI Abdul Kholik mengatakan bahwa semua masukan dari banyak pihak akan dirumuskan pada pembahasan selanjutnya.
Adapun pokok perubahan dalam draf yang dibahas di antaranya soal kewenangan desa, kelembagaan desa, perangkat desa, keuangan desa, peraturan desa, pemilihan kades, binwas desa oleh pemerintah, pengembangan digitalisasi desa, serta pembentukan Badan Perdamaian Desa (BPD).
Ia mengakui dalam draf ini ada beberapa poin draf yang dipersoalkan, yakni selain soal masa pengabdian perangkat desa, ada pula soal majelis hakim perdamaian desa yang diinisiasi untuk dibentuk desa.
"Tujuannya agar tidak semua persoalan di desa diselesaikan lewat jalur hukum melainkan bisa dengan musyawarah," kata pria yang juga menjabat Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR RI itu.
Baca juga: DPD Soroti 3 Hal Implementasi UU Desa
Baca juga: Muqowam ingatkan penggunaan dana desa sesuai UU
Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) menggelar uji sahih Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan UU Desa Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dengan mengundang akademisi dan perwakilan asosiasi desa di Kantor DPD RI Provinsi Jateng.
Dalam uji sahih yang berlangsung secara daring dan luring, di Semarang, Senin, Sekretaris Umum DPN Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) Budi Kristiawan menyoroti poin yang dipersoalkan dalam draf yang dibahas di antaranya tentang masa jabatan perangkat desa yang disamakan dengan jabatan kepala desa.
"Padahal aturan UU di atasnya mengatur jika masa jabatan perangkat desa dibolehkan sampai batas usia 60 tahun atau mengundurkan diri," katanya.
Baca juga: Muqowam: Perlu pemahaman utuh UU Desa untuk hindari benturan regulasi
Menurut dia, hal itu menyalahi aturan di atasnya serta ada aturan yang ambigu seperti badan permusyawarahan desa yang selama ini sudah dilaksanakan perangkat desa dan kades ketika ada masalah soal warga desa.
"Kita perlu penguatan dan dukungan agar tidak ada intervensi atau bertabrakan dengan kecamatan atau pemkab," ujarnya.
Ia mengatakan pihaknya telah mengajukan Daftar Invertaris Masalah (DIM) kepada DPD RI, namun tetap saja dalam draf rancangan ini masih ada sehingga disayangkan karena tidak memperhatikan aspirasi DPN PPDI.
"Kami telah menyampaikan agar tuntutan diakomodasi, setidaknya ada enam poin di antaranya peningkatan kesejahteraan perangkat desa minimal setara gaji PNS golongan 2A karena selama ini digaji sebesar UMK daerah masing-masing," kata Budi.
Akademisi dari Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga Umbu Rauta menyebutkan ada beberapa poin dalam draf RUU Perubahan Kedua UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yakni mengenai pimpinan perangkat desa yang dianggap kurang tepat karena sudah ada seketaris desa dan kepala desa.
Kemudian soal masa jabatan perangkat desa yang disamakan dengan kades, yakni setiap enam tahun sekali diganti, kata dia.
Ia menilai hal itu kurang efektif dan mengurangi marwah dari struktur desa, apalagi harus dilakukan penguatan kelembagaan desa dan kewenangan perangkat desa.
Salah satu yang harus dipahami bersama, lanjut dia, adalah titik temu dalam pembahasan RUU Perubahan UU Desa yakni keberagaman lebih dari 77 ribu desa se-Indonesia.
"Dalam pembahasannya Komite I DPD RI harus mendengarkan banyak masukan. Salah satu contoh soal pemilihan kepala desa yang tidak harus melibatkan semua warga, namun hanya dengan tokoh masyarakat desa yang harus dimatangkan," ujarnya.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Komite I DPD RI Abdul Kholik mengatakan bahwa semua masukan dari banyak pihak akan dirumuskan pada pembahasan selanjutnya.
Adapun pokok perubahan dalam draf yang dibahas di antaranya soal kewenangan desa, kelembagaan desa, perangkat desa, keuangan desa, peraturan desa, pemilihan kades, binwas desa oleh pemerintah, pengembangan digitalisasi desa, serta pembentukan Badan Perdamaian Desa (BPD).
Ia mengakui dalam draf ini ada beberapa poin draf yang dipersoalkan, yakni selain soal masa pengabdian perangkat desa, ada pula soal majelis hakim perdamaian desa yang diinisiasi untuk dibentuk desa.
"Tujuannya agar tidak semua persoalan di desa diselesaikan lewat jalur hukum melainkan bisa dengan musyawarah," kata pria yang juga menjabat Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR RI itu.
Baca juga: DPD Soroti 3 Hal Implementasi UU Desa
Baca juga: Muqowam ingatkan penggunaan dana desa sesuai UU